Tak Ada Alasan Menolak

⊆ 17.17 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

“Mas, sesungguhnya saya ingin mempromosikan anda untuk bergabung di tim Kuntoro”, kata seseorang di ujung telepon. “Namun anda ini kan biasa independen, apa mau berada di tim bentukan SBY”, tambahnya ragu. Waktu pun berjalan cepat, tiba-tiba saya sudah berjumpa dengan orang yang di ujung telepon itu. Tampaknya dia amat berharap agar saya mau bergabung. ”Ada point penting saat meresmikan BRR (Bapel Rehabilitasi dan Rekonstruksi), Kuntoro Mangkudisubroto mengatakan: “Kita bukan membangun phisik Aceh, namun membangun kembali suatu kehidupan”, ujarnya menirukan kata-kata Kuntoro.

Kendati terkesan klise, bagi saya statement Kuntoro tetap mengejutkan. Ternyata masih tersisa, pejabat yang ingin membangun bangsanya sungguh-sungguh. Semua ingin membangun. Tapi kerap waktu membuktikan, pembangunan itu cuma buat keluarga dan kelompok. Tentang Kuntoro, saya memang tak banyak tahu. Saya bukan pengamat politik. Saya pun tak pernah tertarik korek-korek cari kesalahan orang lain. Sebab saya juga tak suka jika kesalahan dan kekeliruan saya dipublikasikan kemana-mana. Alhamdulillah puji syukur bagi Allah swt karena masih menutupi aib-aib saya.

Cukup banyak yang bilang, lingkungan Kuntoro termasuk resik. Siapa tak kenal Mar’ie Muhammad dan Erryriana Harjapamekas, dua nama yang krediblitasnya terbangun karena dikenal resik. Ini contoh di antara sebagian teman-teman dekat Kuntoro. Memang seperti Rasulullah saw katakan: “Untuk melihat seseorang, lihat siapa teman-temannya”. Lingkungan ini tentu memberi harapan. Setidaknya garansi akan ada harapan untuk berubah. Jikapun akhirnya menyimpang, jangan lupa, siapa sanggup ubah tradisi korup yang sudah mendarah daging di Indonesia. Jadi? Yah itulah, setidaknya pernah ada harapan.

Juga jangan salah, saya tak anggap diri saya bersih. Apa sih reputasi yang saya miliki. Cuma ngurusi Dompet Dhuafa Republika (DD), lembaga nirlaba lokal, kecil dan kegiatannya untuk kalangan fakir miskin. Belum pernah saya terlibat dalam kegiatan orang-orang besar, dengan dana besar dan lebih-lebih yang sifatnya kenegaraan. Saat di DD, clean and good corporate memang ditradisikan. Karena kondisi kejujuran dan keamanahan ditegakkan dan uangnya sedikit, sulit bagi teman-teman untuk bisa korupsi uang. Korupsi waktu, mungkin banyak terjadi. Saya memang undur dari DD, tepat di hari jadi DD yang ke 10 tahun 2003. Saya yakin, saya tak bawa uang sepeserpun. Wallahu’alam. Sekitar tahun 1995, para pendiri DD menandatangi pernyataan yang isinya tidak ada hak waris kepemilikan kepada isteri, anak dan keturunan.

Citra DD yang bisa survive ternyata mendulang simpatik. Bagi beberapa pihak, kemunduran saya juga jadi catatan tersendiri. Catatan ini jelas beragam. Barangkali ada yang terkejut dan bertanya-tanya. Mungkin ada yang senang dan amat mendukung. Yang sedih tapi menghargai keputusan itu juga cukup banyak. Yang pasti regenerasi adalah sunatullah. Dalam panggung pertunjukan ada postulat penting yang tak boleh diremehkan. Turun dan naik panggung suatu hal biasa. Sehebat apapun seorang bintang, mustahil ia bisa kemas agar panggung tetap berkiblat padanya. Karena itu percayalah, pasti ada juga yang tidak suka atas kesuksesan bintang dimanapun. Pandai-pandailah seorang pemain untuk tahu kapan saatnya turun panggung. Turun panggung tak berarti layar pun ditutup. Biarkan layar tetap terkembang. Dorong pemain lain naik panggung, menggoresi layar dengan cerita sesuai karakter dan zamannya.

Kemunduran saya menarik pihak untuk mendorong ke BRR. Dalam diskusi terungkap bahwa BRR butuh:

  1. Orang jujur dan amanah

Jujur dan amanah berbeda. Orang jujur belum tentu amanah. Tapi orang yang amanah sudah pasti jujur. Artinya siapapun bisa jujur karena di kantong belum ada uang. Tetapi begitu kantong sudah terisi, belum tentu orang bisa bertahan jujur. Maka yang bisa menahan diri saat kantong berisi, dia lah orang yang amanah. Kejujurannya telah terbukti.

  1. Komitmen dan konsistensi

Saya ditawari untuk bergabung di tim ekonomi. Yang diurus apalagi jika bukan usaha kecil dan menengah. Ini sebuah pekerjaan yang banyak orang menghindar. Kenapa? Karena hanya mengurusi orang-orang kecil. Tanpa panggilan hati, pekerjaan seperti ini bakal segera ditinggal. Jikapun tak ditinggal, pekerjaan ini ditangani setengah hati. Maka dibutuhkan komitmen dan konsistensi.

  1. Punya pengalaman dan cakap

Memang tak semua orang mahfum bahwa perjalanan DD merupakan kisah yang babak belur. Bagi pengamat dan yang mahfum, balada DD tentu amat menarik. DD sebuah contoh lembaga lokal yang bisa bertahan, beringsut dan berjingkat di antara belantara NGO. Malah DD telah menjelma menjadi inspiring institution, menginspirasi lahirnya banyak lembaga. Ini memang jadi catatan tersendiri.

  1. Terbukti mampu melaksanakan program

Saya katakan kesuksesan itu relatif, bisa jadi juga tergantung pada sudut pandang. Tapi pandangan ini dipatahkan. Yang jelas kata tim yang mengajak saya, DD sudah membuktikan selama 10 tahun. Yang tadinya lembaga tak jelas, kini bergerak dan telah berkembang. Meski saya katakan relatif, toh program-program DD terus bergerak dan jumlah donatur pun semakin bertambah.

Di samping alasan itu, tim rekruiting amat tertarik pada kemunduran saya di DD. Tanpa adanya indikasi korupsi, kata mereka, lembaga telah diserahkan pada generasi berikut dengan smooth. Sikap seperti ini jadi cita-cita BRR. Sebab masa kerja BRR memang telah dipatok, selama-lamanya maksimal tujuh tahun. Setelah tujuh tahun, seluruh kerja BRR diserahkan pada masyarakat Aceh. Jadi BRR memang baru punya cita-cita. Sedang DD telah melakukannya. “Jadi tak ada alasan anda untuk menolak bergabung di BRR. Ahlan wasahlan”, kata tim rekruiting BRR.

Saya tertegun. Terbata-bata saya ajukan kesulitan yang saya bayangkan. Bisa-bisa saja saya full di Aceh. Tapi saya menawar, bolehkah saya pulang ke Jakarta setiap dua minggu. Saya minta izin dua hari, untuk mengurus usaha yang tengah dibangun. Setelah 10 tahun di DD, saya harus mulai kehidupan dari nol lagi. Jika bergabung dengan BRR selama tujuh tahun di Aceh, haruskah saya mulai hidup dari nol lagi? Saya tak mau terlambat memulai usaha. Semakin usia bertambah, harusnya usaha juga makin dewasa. Jangan terbalik, usia makin uzur sedang usaha baru dilahirkan. Dalam usia yang tak lagi produktif, tentu sulit memulai usaha baru. Fase awal usaha baru, tentu harus ditopang oleh kekuatan yang masih enerjik.

Dengan berat hati, akhirnya tim dan deputi ekonomi BRR mengizinkan. 1 Juni 2005, babak baru di Aceh pun dimulai. Dalam membakar semangat teman-teman, sering saya katakan bahwa DD merupakan shadow state. DD hidup dari zakat masyarakat. Sedang pemerintah hidup dari pajak masyarakat. Core activity DD adalah mencoba mengatasi kemiskinan masyarakat. Sementara pemerintah bertugas membangun kesejahteraan bagi bangsa. Amil sebagai pegawai DD dijamin hak-haknya. Pegawai pemerintah pun sesungguhnya telah dijamin hak-haknya. Perbedaannya terletak pada dua hal. Pertama skala kelembagaan, bahwa DD adalah lembaga kecil, sementara pemerintah adalah lembaga raksasa. Kedua pemahaman jati diri lembaga bahwa amil harus paham substansi DD sebagai lembaga nirlaba yang punya peran, fungsi dan tugas-tugasnya. Sementara berapa banyak dari pegawai pemerintah yang sadar pemerintah merupakan lembaga nirlaba? Sudahkan esensi organisasi pemerintah sebagai lembaga nirlaba disosialisasikan pada jajaran pegawai pemerintah.

Karena itu tak bosan-bosan saya bangkitkan kesadaran, bahwa amil harus paham posisi. Bekerja di DD, perannya seperti negarawan. Syarat sebagai negarawan sebenarnya jelas. Kriterianya tak sulit digagas. Namun implementasinya bukan perkara mudah. Negarawan harus paham kedudukannya, kepentingan bangsa di atas segalanya. Tak bisa kompromi dengan beragam kepentingan, baik pribadi atau kelompok, kepentingan sesaat atau hanya jangka pendek. Apapun yang dilakukan konteksnya tetap mengarah pada kebangsaan. Kata-kata ini memang seolah-olah begitu heroik. Tetapi siapa suruh kerja di DD. Karena DD lembaga nirlaba, didanai dengan ZIS masyarakat, maka khidmatnya kembali kepada masyarakat.

Sejak 1 juni 2005 saya sudah di Aceh. Gugahan shadow state dan negarawan kini bukan wacana yang selalu saya dengung-dengungkan. Aceh merupakan satu wilayah independen. Propinsi yang punya otonomi khusus dengan kesyariahan sebagai kearifan lokalnya. Dalam konteks BRR, Aceh seolah the other state. Presidennya bukan lagi SBY, melainkan Kuntoro. Ini bukan hendak berpolitik-politikan. Tetapi permintaan BRR setingkat menteri dengan dana khusus serta status independennya, menempatkan BRR dan Aceh jadi amat menarik disimak.

Aceh memang baru lepas dari Tsunami. Tapi ternyata tak serta merta semua soal lenyap dibetot Tsunami. Justru Tsunami di Desember 2004 itu, mewarisi banyak soal. Tsunami menjadikan Aceh bagai rumah yang sebagian ambruk. Merehab rumah yang setengah ambruk, jauh lebih sulit ketimbang membangun rumah yang habis sama sekali. Sementara di reruntuhan rumah, masih ada kehidupan dengan segala problem traumatiknya. Belum lagi soal ini bisa ditemui jawabnya, soal GAM masih jadi batu sandungan. Sulit membangun kehidupan dalam kondisi yang tak jelas keamanannya. Soal kependudukan, status tanah dan lenyapnya berbagai asset, merupakan persoalan prioritas yang harus disikapi secara jernih. Kredit bank misalnya, haruskah segera di-write off atau tetap dijadikan sebagai utang. Jika yang berutang wafat terkena Tsunami, kemana bank harus menyelesaikannya. Sedang tanah-tanah yang tak lagi jelas batas-batasnya, juga harus segera ditindaki agar tak jadi bom waktu di kemudian hari. Tak bisa tentunya membangun sesuatu di atas tanah yang tak jelas status hukumnya.

Itu soal internal Aceh. Soal eksternalnya, sejak Tsunami melabrak, sebagian besar NGO dunia hadir ke Serambi Makkah ini. Data di bulan April 2005, tersisa sekitar 150-an NGO. Sebelum bulan April tentu lebih banyak lagi. NGO ini telah bekerja sejak Januari 2005. Kendati dinyatakan tidak, tapi realitanya tetap terjadi perebutan lahan garap. Di samping terjadi pula program yang overlap antara satu NGO dengan lainnya. Dalam kondisi begini, semua hal bisa-bisa jadi masalah. Padahal banyaknya NGO yang hadir, merupakan sesuatu yang amat bermanfaat. Tinggal bagaimana mengatur siasah agar kehadiran mereka jadi potensi yang bisa mendongkrak Aceh. Yang harus dicegah dan diarahkan, adanya kepentingan dan agenda khusus dari beragam misi yang hadir di Aceh. Jika tidak kearifan lokal ini akan berderak berbenturan dengan misi yang tidak bertanggung jawab. Hati-hati sebab pasti ada pihak yang menjadikan Tsunami sebagai momentum untuk menyebarkan misinya di Aceh.

Sementara BRR sendiri, baru hadir sekitar empat bulanan setelah Tsunami. Dengan posisi serba telat, kiprah BRR telah mendulang berbagai pertanyaan. Pertama sebagai wakil resmi negara, BRR harus mengajak Pemda Aceh untuk bisa menerima BRR dengan lapang dada. Kedua BRR yang lahir belakangan, dituntut untuk lebih sigap melampaui NGO yang punya reputasi dunia. Dengan segala kesulitannya, BRR harus bisa memposisikan diri agar tak terjebak seperti mengajari bebek berenang terhadap NGO. Ketiga BRR harus paham dengan kultur dan watak masyarakat Aceh, yang sebagaiannya merasa dikibuli pemerintah pusat. Karena itu bantuan yang bakal diberikan BRR, jangan sampai hanya dijadikan hadiah tanpa bisa merubah etos kerja masyarakat.

Keempat di tubuh BRR sendiri perlu diwaspadai. BRR punya misi besar, menyelamatkan Aceh. Soalnya adalah mau tak mau misi ini menempatkan BRR bagai kapal induk. Sementara sebagai kapal induk, tidak otomatis memecahkannya dengan merekrut sebanyak-banyak orang. Bagaimana caranya dengan SDM yang minimal, kapal induk bisa digerakkan. Di antara orang yang hadir di BRR, tentu punya latar yang berbeda. Pertanyaannya, sudahkah di antara orang yang memperkuat BRR ini telah saling ber-ta’aruf? Sudahkah orang-orang BRR paham akan visi yang diemban. Jangan-jangan kelak seperti pegawai pemerintahan, tak paham jati diri negara, tak paham visi bangsa dan tak mengerti posisi. Jangan-jangan karena langsung asyik bekerja, kapal induk ini tak diselami apa isi kandungan sesungguhnya. Jika belum paham, asyik bekerja ini sebenarnya untuk apa dan untuk siapa. Bisa jadi di lapangan akan terjadi benturan, dan ternyata sama-sama kaget karena sama-sama berasal dari BRR.

Dan persoalan besar yang dihadapi BRR, kelak apa yang sudah dilakukan BRR harus diserahkan pada masyarakat Aceh. Jika BRR sukses, pemindahan wewenang dan tanggung jawab itu harus diantisipasi agar berjalan baik. Jika BRR gagal, inilah bencana yang tak kalah tragisnya dengan Tsunami. Ya Allah mudahkan, ringankan dan lancarkan. Jangan Engkau beri cobaan dan beban yang berat sebagaimana telah Engkau coba umat-umat terdahulu.Lindungai pula kami dari godaan khianat. Serta jauhkan kami dari golongan orang-orang yang bukan ahlinya. Amin. Bismillah ...

(Banda Aceh, 3 Juni 2005)


0 Responses to Tak Ada Alasan Menolak

= Leave a Reply