BMT Center (Bagian 1)

⊆ 17.20 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

POSISI

Jumlah BMT (Baitul Maal wat Tamwil) kini telah mencapai ribuan. Untuk menghitung secara akurat lembaga keuangan mikro ini, insya Allah sulit dilakukan. Ada beberapa alasan yang jadi penyebab. Pertama tak sedikit BMT berdiri di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Segment market BMT yang lapisan bawah, memaksa BMT harus siap beroperasi di tempat yang kadang ada kadang tidak alias tergusur. Tempat terbaik lapisan bawah, itulah di wilayah terpencil, di sudut kumuh atau di tempat yang tidak business like. Kedua banyak juga BMT yang sudah tutup kantor. Karena tutup siapa peduli untuk melapor keberadaan mereka. Di samping jika harus melapor, kemana mereka musti melayangkan surat bangkrutnya. Ketiga ada BMT amatiran. Kadang-kadang ada tempo-tempo lenyap. Kadang ikut dalam pertemuan BMT, eh di pertemuan simpan pinjam konvensional juga nongol. Keempat ada juga BMT “jejadian”. Artinya ada beberapa pihak seperti rentenir, mencoba menyesuaikan kiprahnya sesuai syariah. Soal pas atau tidak, itu masalah lain. Yang pasti BMT jelmaan rentenir ini mustahil mau menyambung silaturahim dengan BMT aseli.

Pertumbuhan BMT memang tak dapat dicegah. Dan memang untuk apa dicegah. Berarti ambruknya banyak BMT juga tak dapat dicegah. Sementara jika ada BMT yang berpraktek seperti rentenir juga sulit dideteksi. Untuk mencegah praktek seperti ini juga sulit dilakukan. Standarisasi BMT memang belum terformulasi dengan layak. Banyak pihak yang mencoba menerapkan standar BMT. Namun kebanyakan selalu terjebak dalam jargon dan yel-yel tanpa ujung pangkal. Maunya profesional, ternyata dalam tiap pertemuan hanya bicara tentang daftar harapan, tantangan dan kendala. Lantas pertemuan pun diakhiri dengan deklarasi. Isi deklarasi tak lebih dari amar maruf, sekadar anjuran untuk bersatu, memperbaiki diri dan memerangi ketidakadilan. Setelah deklarasi, sedikit yang sungguh-sungguh mau ber-nahi mungkar.

Nahi mungkar utama, dari sekian ribu BMT di Indonesia adakah meski cuma satu BMT yang mau mengkoreksi tentang konsep kesyariahannya? Dalam buku Bank Islam yang Tidak Islami, Zaim Saidi, menegaskan bahwa praktek lembaga keuangan syariah tidak sesuai dengan prinsip syariah. Pernyataan Zaim sudah terbukukan. Yang meresahkan tentu bukan hanya buku tersebut, melainkan tak ada satupun respon dari para praktisi. Baik dari perbankan umum syariah, BPR Syariah, BMT dan anggota pengawas syariah. Jika Zaim yang memang keliru, wajib bagi yang paham harus menunjukkan kesalahan isi buku itu. Sebaliknya tak ada satupun tanggapan, apakah jadi tanda bahwa indikasi Zaim mendekati kebenaran.

Lepas dari subtansi konsep, BMT telah mengangkat wajah umat Islam. Artinya secara kelembagaan, umat pun mampu merealisasikan tuntutan profesional dalam sebuah sistem. Sebelum BMT lahir, bicara lembaga keuangan kecil selalu diskusi tentang KSP (Kelompok Simpan Pinjam) yang dibentuk LSM atau NGO. Sudah sejak tahun 70-an KSP ini berkiprah. Jadi jangan tanya jatuh bangun dan asam garam kedewasaan mereka. Namun BMT yang muncul di pertengahan 90-an, kini sudah ribuan jumlahnya merebak di hampir seluruh Indonesia. Saat ini BMT bukan lagi tandingan KSP. Beberapa BMT papan atas, assetnya sudah di atas Rp 20-an miliar. Ini angka fantastik. Dari sekadar KSP, sebagian BMT menyamai BPR dan bisa jadi bakal melebihi BPR.

Istilah KSP kini sudah mulai memudar. Diganti micro finance yang dirancang berbagai lembaga besar dunia. Konsep, sistem dan training sosialisasi serta penyiapan SDM untuk micro finance demikian berkembang. Hampir-hampir tak ada satupun NGO yang tak punya program micro finance. Sementara BMT di-back up lembaga lokal yang cenderung setengah hati. Awalnya lembaga penginisiator ini begitu semangat. Namun berangsur padam melihat problem dan kendala yang membentang. Apa boleh buat, sembari mencari induk semang, BMT harus menyelesaikan problemnya sendiri di lapangan. Jika lembaga micro finance makin canggih, sebaliknya BMT terus terjebak dalam kondisi darurat. Bila lembaga micro finance bisa jadi lembaga pressure, sebaliknya untuk tampil PD masih jadi kendala BMT. Padahal dari sisi konsep, BMT step ahead. Dari sisi praktek, secara kultur BMT langsung akrab dengan masyarakat. Hanya metode dan back office yang masih jadi sebagian problem.

Tantangan besar BMT sekarang datang dari bank umum. Tiba-tiba saja melalui Danamon Simpan Pinjam (DSP), Bank Danamon turun mengambil pasar kredit yang Rp 25 ribuan. Bayangkan bank kelas kakap yang kini dimiliki konglomerat Singapura, juga mengambil sisa-sisa kue yang tercecer dan yang berjatuhan di sudut-sudut becek dan kumuh di pasar tradisional. Bank ini tidak salah. Namanya pengusaha, apapun akan diusahakan jadi uang. Yang keliru adalah kebijakan negara. Mengapa negara tidak tanggap bahwa rakyatnya yang jelata dan tak punya kekuatan, dibiarkan digebuk habis-habisan oleh bank besar yang sudah go public. Mengapa BI sebagai regulator dan wasit, membiarkan asuhannya yang besar dan kuat mencabik-cabik siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Inilah yang dinamakan “Negara yang Mematikan Rakyatnya”.

Dari sisi politik, BMT juga harus pandai menyiasahi diri agar tak tertuding sektarian ekstrim. Bagi kalangan luar, muslim yang ingin menerapkan prinsip syariah dianggap berbahaya. Bagi mereka itu bukan hak, melainkan sekarang ini mengarah jadi teroris. Maka di awal kebangkitan koran Republika, seorang pensiunan jenderal yang sudah gaek mengatakan: “RepublikA dengan A besar adalah Republik Agama. Perhatikan disitu ada Dompet Dhuafa, dan Dompet Dhuafa mengembangkan BMT-BMT. Waspadai pergerakannya di masa datang”.

SILATURAHIM

Dengan segala persoalannya, BMT toh tetap berkembang. Ada yang pesat serta pasti lebih banyak yang tersendat. Yang pesat mampu menoreh asset di sekitar Rp 30-an miliar, sedang yang tersendat masih di angka kurang lebih Rp 100 juta meski telah berusia hampir 10 tahun. Ada BMT yang butuh pengembangan SDM tahapan advance, namun ada juga BMT yang masih butuh pendampingan. Ada direktur BMT yang sudah bercita-cita jadi Menteri Koperasi dan UKM, tapi tak sedikit di antara direktur sama sekali tak punya jiwa leadership. Itulah faktanya. Lembaga grass-root yang sebagian tumbuh dengan tidak menghiraukan berbagai persyaratan. Proses alaminya benar-benar diserahkan pada keramahan alam. Yang pasti dalam tahap awal kelahiran, bagaimana caranya BMT harus bisa eksis. Setelah itu babak perbaikan diri dilakukan bersamaan dengan berjalannya waktu. Maka jika ada dari lembaga grass-root ini tumbuh baik, berarti SDM-nya sungguh-sungguh teruji. Tinggal bagaimana menempatkan agar lebih bermanfaat.

Pada 15 Juni 2005, Dompet Dhuafa (DD) mengumpulkan sejumlah BMT yang berasset di atas Rp 3 miliaran. Hadir sekitar 70-an BMT yang ditinjau dari sisi asset merupakan para raksasa BMT. Para pengelolanya bukan lagi anak-anak lugu seperti saat pertama mengenal konsep BMT di awal training dulu. Kini mereka merupakan macan-macan yang siap menerkam. Meski tampilan tenang, mereka tak bisa diam jika soal keuangan mikro dikupas. Ini adalah potensi besar. Apakah akan disinerjikan jadi kekuatan yang bakal mem-back up perkembangan small medium entreprises? Atau hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat, kepentingan bisnis jangka pendek dan kepentingan politis.

Di Indonesia ada beberapa lembaga pengayom dan pendorong BMT. Pertama lembaga yang melahirkan BMT Bina Insan Kamil sebagai BMT pertama di Indonesia. Entah apakah lembaga ini masih eksis hingga hari ini. Kedua adalah DD yang menggelar diklat pertama BMT di September 1994. Ketiga adalah Pinbuk yang telah mensosialisasi BMT ke hampir seluruh Indonesia. Keempat PNM kini juga telah menyisipkan BMT jadi salah satu core business-nya. Kelima BMM (Baitul Maal Muamalat) juga mengambil BMT jadi salah satu bidikan utama. Di luar lembaga-lembaga ini, barangkali masih ada yang lain yang belum terdeteksi.

Biasanya masing-masing BMT hadir dalam acara yang digelar jejaringnya. Jika pun ada pertemuan lintas BMT, hanya dilakukan secara sporadis di arus bawah. Karena pertemuan arus bawah, keputusan apapun yang dibuat kerap tak bisa jadi sebuah kebijakan besar. Maka pertemuan di 15 Juni 2005 itu jadi penting. Karena diselenggarakan oleh DD, lembaga yang punya reputasi panjang untuk mendorong kemandirian berbagai asset lembaga masyarakat. Untuk meyakinkan perlunya kebersamaan, sebelumnya pejabat teras DD harus sowan kepada pihak terkait.

Ditinjau dari sisi silaturahim, pertemuan itu baik-baik saja. Namun kultur Melayu punya logikanya sendiri. Silturahim itu sering jadi tak produktif. Keterpisahan dan konsentrasi, selalu tertuduh ingin kerja sendirian dan tak mau bekerja sama. Padahal agar bisa profesional, manajemen menuntut fokus dan eksplorasi bidang yang digeluti habis-habisan. Mustahil BRI, BNI, BCA, BII dan Danamon bekerja dalam satu payung. Mereka konsen untuk melahirkan lembaga keuangan sesuai dengan keunikannya. Jangan ingkar sunnah dengan menyatukan keragaman. Biarkan bunga mekar dengan warna warninya masing-masing di taman. Ada yang merah, kuning dan putih. Sudah terbukti taman yang didominasi karena dipaksa harus berwarna kuning semua, telah memangkas kekuatan keragaman itu. Keragaman ini amat dibutuhkan mengingat Indonesia terdiri dari berbagai suku, adat dan kepercayaan.

FORUM

Dalam diskusi terbatas, tujuan digagasnya BMT Centre, tak lain untuk melahirkan BMT yang punya keunikan khusus. Keunikan ini bisa didisain sesuai keinginan thinktank di belakangnya. Karena di belakang BMT Centre adalah DD, lumrah wajar dan amat manusiawi, BMT yang lahir itu harus mengusung visi DD. Jika tak demikian, ini jelas kegagalan manajemen. Berarti antara konsep, kebijakan dan implementasi harus jelas, terarah dan terukur. Harus ada keberanian untuk bersikap. Berkali-kali saya kutip pendapat Anwar Ibrahim, mantan timbalan PM Malaysia: Memimpin adalah keberanian bertindak dengan tidak menghiraukan selera publik. Asal pegang prinsip-prinsip dasar.

Leadership dan manajemen seolah tak lagi bertepi. Ini adalah seni. Bagaimana bisa mengarahkan segala sumber daya untuk meraih tujuan. Jangan sampai terjebak oleh permainan lawan. Jika didikte lawan, berarti gaya permainan kita kalah. Artinya pastikan, apakah kita sudah punya konsep utuh dan tujuan yang jelas. Jikapun sudah ada, bagaimana dengan kebijakan dan implementasinya. Jika kita lemah, sehebat apapun konsep bakal berakhir sia-sia. Berarti persoalannya kembali kepada diri sendiri. Apa yang sesungguhnya sedang digagas. Sering kita terhenyak dan baru tersadar setelah panggung usai. Dalam keheningan panggung yang tak ada lagi penonton, kita baru mengevaluasi apa yang telah terjadi di panggung tadi. Ada haru. Ada bangga. Terkadang ada senyum melihat tingkah laku pemain yang akrab dengan penonton. Tapi kerap juga ada penyesalan, karena lakon yang dimainkan tak sesuai dengan naskah yang digurat.

BMT Centre digagas adalah untuk bicara 10 dan 20 tahun ke depan. Kita boleh tiada, namun visi ke depan harus dilanjutkan oleh generasi mendatang. Biarkan kita tidak menikmati hasil, karena visi memang bicara tentang warisan bagi generasi mendatang. Kita rindu oleh keberanian mempertahankan pendapat. Kita rindu akan terobosan yang visioner, mampu menjawab apa yang dibutuhkan hari-hari esok. Kita rindu sesuatu yang bisa berkembang dan dimiliki generasi mendatang. Maka tanamkan investasi yang namanya profesionalitas sebagai landasan pijak yang kokoh. Dengan profesional, generasi mendatang akan lebih mudah untuk melanjutkan cita-cita besar BMT.

Lembaga manapun sepakat, semua pasti ingin profesional. Namun tak semua lembaga dewasa untuk melihat ternyata ada yang lebih maju karena lebih profesional. Tak usah paksa BMT yang tak cocok dengan gaya BMT Centre. Sebab siapapun punya hak untuk menentukan kiprah sesuai dengan minat, bakat dan gayanya. Biarkan BMT tumbuh dengan pola keunikannya. Sudah jadi sunnatullah yang lemah meminta bantuan. Namun ada yang tak pernah disadari, bahwa kesuksesan diraih dengan kerja keras. Bukan mengharap bantuan. Ingat, kita sering menunggu bantuan. Ternyata yang diharap-harap tak juga kunjung datang. Maka jangan silau nama besar dan jangan pula silau lembaga besar. Karena hari ini, detik ini tergantung pada sikap kita. Kita berbuat kebaikan di detik ini, akan melahirkan kebaikan di detik berikutnya. Siapa yang berharap bantuan di detik ini, cenderung berharap bantuan di detik berikutnya.

BMT Centre dihadiri oleh pentolan-pentolan besar. Mereka telah tumbuh dengan karakter masing-masing. Lantas apakah karakter ini akan disatukan? Jangan. Biarkan mereka tumbuh bahkan dorong agar karakter itu lebih kuat dan kokoh. Yang penting arahkan karakter tersebut untuk membangun kehidupan. Itulah sinerjitas. Maka BMT Centre yang dihadiri oleh lintas pentolan, memang telah jadi sebuah forum. Di forum segala curhat harus ditampung. Di forum semua pihak harus menjaga diri. Artinya menjaga keujuban agar tak menimbulkan guncangan pada anggota yang lain. Forum BMT Centre yang dihadiri oleh BMT dengan asset di atas Rp 3 miliaran, pun telah jadi pembatas. BMT berasset di bawah itu, dengan sendirinya harus pahamlah. Itu bukan wilayah mereka.

Banda Aceh

25 Juni 2005


0 Responses to BMT Center (Bagian 1)

= Leave a Reply