BUKU: ZAKAT & KEMISKINAN

⊆ 17.39 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 1 komentar »

Bagian 1

Kemiskinan

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia pula yang menyempitkan (rezeki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman

(Al Quran surah 30 Ar Rum –Bangsa Romawi-- ayat 37

PELUANG dan ANCAMAN KEMISKINAN

Di banyak kesempatan, sering saya ditanya: “Apa kriteria seseorang dikatakan miskin?” Bagi anda, konyol atau keterlaluankah pertanyaan itu. Memang ada beberapa penafsiran. Pertama, pertanyaan itu memang serius. Faktanya makin hari kemiskinan bukannya berkurang malahan bertambah-tambah. Di manapun baik di kota maupun di desa-desa, mudah sekali dijumpai orang miskin. Ibaratnya di depan di belakang, di samping kanan dan kiri serta di atas dan bawah, ada orang miskin. Bahkan di kota-kota besar, di samping rumah-rumah mewah atau di perkantoran elit, orang-orang miskin membangun rumah-rumah dari kardus, seng dan triplex yang menempel kontras dengan kemewahan. Atau dalam perusahaan, bandingkan gaji tertinggi dengan terendah, bisa 50 : 1. Di kita sudah jadi kelaziman presdir dapat gaji di atas Rp 50 juta per bulan, sedang gaji office boy tak sampai Rp 1 juta per bulan. Maka sadar atau tidak, kemiskinan sesungguhnya telah terstruktur melalui kebijakan perusahaan.

Penafsiran kedua, pertanyaan itu cuma gurauan. Anda lihat, bukankah masyarakat juga sudah jenuh melihat kemiskinan yang makin meruyak di mana-mana. Bantuan sudah diberikan tapi toh kemiskinan tak juga hilang. Jadi masih pantaskah mereka dibilang miskin. Jawabnya bisa ya, bisa juga tidak. Masih pantas dikatakan miskin karena memang lapangan kerja makin langka. Saat ini memang tampaknya sulit sekali untuk bisa bekerja. Jikapun ada pekerjaan, ternyata kualifikasi yang dibutuhkan sukar dimasuki oleh angkatan kerja baru. Sementara antara lulusan sekolah dan lapangan kerja, ibarat antara deret ukur dengan deret hitung. Bahkan lulusan universitas pun ternyata belum siap pakai. Coba simak dan hitung, berapa banyak rekan-rekan sekolah dulu yang sekarang bisa anda katakan sukses.

Di sisi lain, agaknya sulit juga mereka dikatakan miskin. Sebab bisa jadi lulusan sekolah yang tak punya pekerjaan, ternyata masih mengenakan pakaian yang baik. Bahkan mungkin tetangga anda yang katanya menganggur, nyatanya masih mengendarai mobil mentereng. Mungkin karena mereka memang masih ditunjang orang tuanya. Barangkali juga mereka punya warisan, yang bunga depositonya bisa membiayai hidup sehari-hari. Ada juga yang memang pantas dikatakan miskin. Seberapapun dibantu, tetap saja kondisinya tak berubah. Bisa jadi tak berubah karena bantuan modal tak bisa mendongkrak usaha karena kondisi sulit. Atau setujukah anda, bila sikap mental seseorang juga berperan penting untuk berubah.

Umar bin Khattab ra:

Berilah pendidikan kepada anak-anakmu

karena mereka dicipta pada kondisi zaman yang berbeda dengan zamanmu

dan pada masa yang berbeda dengan masamu

Sungguh ini bukan hanya potret buram, melainkan amat berbahaya. Bagi yang masih ditunjang orang tua, mereka termasuk pengangguran semu. Seolah-olah mereka tak punya persoalan dengan kemiskinan. Namun begitu orang tua bermasalah, pensiun atau tiba-tiba meninggalkan dunia fana, kemiskinan segera menampakkan wajah aslinya untuk segera mencabik-cabik. Apakah anda juga yakin bahwa deposito merupakan cara abadi menghasilkan uang? Anda pasti setuju bahwa deposito amat tergantung pada kondisi ekonomi politik. Berapa banyak orang hancur karena nilai kurs rupiah jatuh tahun 1998. Sementara hanya berapa gelintir orang yang malah untung saat krisis moneter itu.

Text Box: Dampak tabungan atau deposito: • Hanya untuk kepentingan pribadi • Tak terjadi redistribusi asset • Uang hanya berputar di antara orang yang itu-itu juga • Entrepreneurship tidak terlatih • Sikap pasif dengan hanya menunggu bunga atau bagi hasil • Tak paham kemana redistribusi asset • Bank yang makin profesional dan paham ekonomi bisnis • Namun bank juga sering terjebak pada bisnis non-riel • Tabungan senilai 85 gram emas terkena zakat. Artinya dilarang menabung berlebih-lebihan.

...Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih

Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi dan mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”

(Al Quran surah 9 At Taubah –Pengampunan— ayat 34 – 35)

Yang jadi soal siapapun yang ditunjang orang tua dengan deposito problemnya tak beda. Keduanya mengabaikan masa-masa produktif. Saat masih muda dan enerjik, kesempatan menempa diri dalam bekerja dan mengembangkan peluang ini disia-siakan. Saat awal kerja usai sekolah, diri tak dibiasakan menerima imbalan yang hanya cukup untuk diri sendiri. Memang seringkali uang saku kuliah bulanan lebih besar ketimbang gaji awal bekerja. Namun apakah tidak ngeri, tiba-tiba kini tersadar ternyata sudah sekian tahun hidup dalam tunjangan orang tua. Bersamaan dengan bertambahnya usia, kebutuhan pun bertambah. Saat lulus kuliah dan baru lulus dulu, mungkin masih bujangan. Tapi akhirnya yang bujang pun menikah. Usai menikah, kebutuhan punya rumah sendiri masih bisa ditahan. Namun bagaimana mencegah kebutuhan anak yang mulai sekolah. Sementara kebutuhan makin besar, bekerja cari nafkah tak juga dimulai. Dalam usia yang tak lagi muda, bagaimana mungkin bisa menerima upah kecil yang harusnya diterima 10 atau 15 tahun yang lalu saat mulai bekerja.

Dalam kondisi seperti itu, pikiran pun berputar bagaimana caranya mencari uang memenuhi kebutuhan yang sudah terlanjur besar? Cara terbaik, memang dengan berbisnis. Menurut anda, usaha apa yang bisa langsung meraup untung besar? Bukankah segala usaha dimulai dari skala kecil, keuntungan kecil dan resiko juga kecil. Jika orang tua pengusaha, pendidikan terbaik adalah dengan menerjunkan anaknya berlatih di usaha itu. Anda setuju bukan. Meski awalnya dulu, ada juga yang memberontak sambil menggerutu, itu memasung kebebasan. Yang seperti ini mungkin tak paham di awal-awal dulu, orang tua sebenarnya tengah menyiapkan anak-anaknya. Tentu saja itu merupakan latihan. Bila tiba-tiba ingin punya bisnis yang langsung besar, itu namanya ingkar proses. Mereka tak sadar bahwa etos kerja harus dipupuk sejak dini. Maka sulit bukan tanpa pernah latihan, kini harus menyulap bisnis hingga sukses dalam usia yang tak lagi muda.

Kenyataannya memang usaha yang dikerjakan ternyata tak juga berkembang. Mimpi meraup laba besar tinggal mimpi. Sedang kebutuhan perut dan anak-anak tak bisa dicegah. Lalu apa yang harus diperbuat? Bukankah bom sosial mulai tersulut, yang betul-betul bakal meledak di kemudian hari. Ngeri membayangkan apa yang bakal terjadi kelak. Inilah kemiskinan semu, yang malu-malu menampakkan diri. Selalu tertutup karena tunjangan orang tua dan deposito. Namun sesungguhnya itulah bahaya laten, yang akan menghancurkan kekuatan masyarakat dan keutuhan bangsa. Awalnya mereka tak pantas dikatakan miskin. Tunjangan dan deposito mengatasi kemiskinan itu. Namun akhirnya mereka akan terlantar dan jadi miskin karena tunjangan dan deposito punya

keterbatasan.

Tabungan terbaik adalah investasi produktif.

Beberapa manfaat investasi produktif langsung:

  • Berkah karena tak menahan uang tetap diam tak bergerak
  • Mental entrepreneurship terus dipupuk
  • Anggota keluargapun terdidik dalam mengembangkan entrepreneurship
  • Terjadi redistribusi asset secara riel
  • Terjadi perputaran ekonomi di sektor riel
  • Tercipta lapangan kerja

Pertanyaan kriteria miskin di atas, pun bisa bersifat sinis. Inilah penafsiran ketiga. Kesinisan ini dipicu oleh tingkah laku orang-orang miskin itu sendiri. Saat pagi-pagi anda berbenah menyiapkan diri untuk kerja, si miskin juga berkemas. Saat anda berangkat ke kantor, ke parbrik, ke lapangan atau ke sawah, orang-orang miskin terjun ke jalan atau ke tempat keramaian. Saat anda mulai bekerja, orang-orang miskin malah sudah lebih gesit. Saat anda berangkat kerja, mereka telah beroperasi dengan meminta-minta. Saat anda bekerja di kantor, mereka juga tetap aktif mencari sedekahan. Saat anda istirahat makan siang di warung di balik tembok kantor, mereka juga datang meminta. Saat anda pulang kerja, mereka tetap mencegat sembari menengadahkan tangan mohon belas kasih. Saat anda rekreasi dengan keluarga, itu juga jadi kesempatan mereka untuk dapat sedekah lebih.

Rasulullah saw:

Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap nasi atau satu dua biji kurma,

tapi orang miskin itu ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah,

dan mereka itu tidak pergi minta-minta kepada orang lain

(Bukhari Muslim)

KEMISKINAN sebagai PROFESI

Meminta-minta memang punya dua keunggulan yaitu efisien dan efektif. Bukankah azas efisien dan efektif yang diterapkan, merupakan inti kiat memenangkan persaingan. Mereka yang miskin tentu tak paham, bahwa cara meminta yang mereka lakukan ternyata memenuhi standar manajemen profesional. Efisien karena tidak memerlukan modal apapun. Semakin modalnya kurang, semakin efektif mendapat uang. Maaf, orang yang tak punya kaki dan tangan, cenderung lebih efektif mendapatkan uang ketimbang yang masih punya satu tangan dan satu kaki. Sesungguhnya zakat memang ditujukan untuk kalangan fakir seperti ini. Bagi yang masih lengkap tangan dan kaki, cukup bertepuk tangan dan menyanyi lagu apa saja. Semakin menyedihkan dan menyayat, semakin besar peluang mendapat sedekah.

Dalam hal semangat, mereka yang meminta-minta terbukti tak kalah etos kerjanya dengan anda. Dari pagi hingga malam, mereka bekerja dengan meminta-minta. Padahal di jalan-jalan itu ada juga kelompok lain yang bekerja menyapu jalan. Bahkan ada yang Soeharto, presiden masa Orde Baru, katakan sebagai Laskar Mandiri. Laskar ini tak pasrah pada nasib, memunguti apapun yang masih bisa didaur ulang. Ketiga pihak itu yaitu tukang sapu, peminta-minta dan pemulung memiliki kondisi yang sama. Semua sama-sama miskin, sama-sama terjun menyusuri jalan dan sama-sama cari nafkah. Mereka juga punya isteri, punya anak dan sama-sama tengah membina keluarga. Namun karena berbeda dalam metode dan cara mencari uang, proses dan hasilnyalah yang akan berbeda. Hasil ini bukan hanya semata banyaknya uang yang diperoleh. Yang tak kalah pentingnya adalah lahir sebuah sikap mental yang berbeda karakternya.

Orang miskin yang menyapu jalan dan Laskar Mandiri, sesungguhnyalah mereka fuqara walmasakin. Mereka tidak eksploitasi kemiskinan sebagai modal kerja. Mereka cegah dirinya agar tak hina. Dengan bekerja menyapu, mereka tengah megeksplorasi diri. Mereka bina mental untuk tetap berupaya mencari rezeki. Proses how to survive ini akan berpengaruh pada pembinaan mental keluarga. Bila sang bapak yang menyapu jalan tersebut paham tentang harkat sebuah pekerjaan, ia larang keluarganya meminta-minta. Meski sang bapak paham dan telah tenggelam selama bertahun-tahun bahwa pekerjaan menyapu jalan memang tidak pernah bisa jadi landasan keluarga untuk hidup layak.

Rasulullah saw:

Berangkatlah kamu pagi-pagi, kemudian pulang memikul kayu api di punggungmu

Lalu kamu bersedekah dengan itu tanpa meminta-minta kepada orang banyak

Itu lebih baik bagimu daripada meminta-minta kepada orang banyak

biar diberi ataupun tidak

Sesungguhnya tangan yang memberi lebih mulia daripada tangan yang menerima

Dan dahulukanlah memberi kepada orang yang menjadi tanggunganmu

(Muslim)

Kepala keluarga yang menyapu jalan, telah mempraktekkan pesan Rasulullah saw. Ia nafkahi keluarga dengan bekerja membersihkan jalan. Itu adalah hasil keringatnya, bukan meminta-minta. Sementara orang miskin yang meminta-minta, menjadikan kemiskinan sebagai sumber nafkah. Dari hasil mengemis ini, penghasilan mereka memang berkali lipat ketimbang rekan-rekannya yang menyapu jalan. Di kota-kota besar terutama di Jakarta, penghasilan dari meminta-minta ini bisa mencapai ratusan ribu rupiah per hari. Jika minimal seratus ribu rupiah per hari, maka penghasilan peminta-minta mencapai Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta per bulan. Berapa gaji anda? Bukankah ini penghasilan pegawai swasta yang memiliki jabatan setara kepala bagian. Itu semua diperoleh tanpa bersusah payah sekolah, tanpa perlu magang atau melalui jenjang pelatihan dan pengalaman sekian tahun bekerja. Hanya dengan memasang “wajah penghabisan”, mencari rezeki menjadi mudah bagi kalangan peminta-minta.

Kemiskinan gaya baru memang telah berkembang, yang menjadikan kemiskinan sebagai profesi. Definisi kemiskinan tak lagi menjelaskan status sosial, melainkan telah jadi sumber mencari rezeki. Itulah fuqara walmasakin yang telah berubah jadi fuqara masa kini. Jumlah fuqara masa kini makin hari bertambah-tambah. Yang dikoordinir maupun yang terjun tanpa koordinasi meruyak di mana-mana. Seperti di berbagai perempatan jalan, mereka tiba-tiba hadir berkelompok. Yang tidak dikoordinir, mengerahkan anak-anaknya meminta-minta. Sementara para orang tuanya memantau dari tepi jalan atau sudut-sudut tembok yang sulit dilihat pengguna jalan. Sebuah fenomena baru, mengemis jadi profesi. Di kota-kota besar mereka tinggal sekadarnya. Tapi di kampung, siapa sangka di antara mereka, ada yang memiliki rumah, kerbau dan sawah.

Nabi Muhammad saw:

Siapa yang meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk harta kekayaan, berarti dia meminta bara api

Baik yang diterimanya sedikit ataupun banyak

(Muslim)

Juga seperti yang banyak dikatakan orang, pengemis yang dikoordinir, harus mengganti baju serta menggendong bayi sewaan. Dengan mencubitnya, bayi pun menangis. Dengan harapan iba pengguna jalan terpantik untuk segera merogoh kocek. Sering anda langsung memberi. Tapi terkadang anda tak peduli. Anak-anak jalanan pun jumlahnya tidak berkurang-kurang. Anak-anak yang terjun ke jalan karena problem kemiskinan di rumah, seolah mendapat dukungan dengan penyediaan fasilitas seperti rumah singgah. Penanganan ini memacu teman-teman yang lain untuk bersama-sama menjadi anak jalanan. Sedang di jalan-jalan tempat ibadah, sering dikunjungi para pengemis. Setiap hari Jumat, sekitar pukul 10 pagi pengemis sudah berdatangan memenuhi jalan menuju masjid. Demikian juga dengan berbagai klenteng. Di tiap hari libur atau saat perayaan Imlek, pengemis pun banyak mencari rezeki dari belas kasihan pengunjung. Namun yang menarik, mengapa sedikit sekali pengemis berkeliaran di berbagai gereja di hari libur Ahad.

Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati,

padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya),

jika kamu orang-orang yang beriman

(Al Quran surah 3 Ali Imran –Keluarga Ali-- ayat 139)

JENIS KEMISKINAN

Kemiskinan tak hanya menjelaskan tentang kondisi ekonomi seseorang. Kemiskinan juga bisa menggambarkan kondisi lain di luar persoalan ekonomi. Ada kemiskinan lain yang inti soalnya terletak pada kekurangan seseorang pada satu atau beberapa hal. Kekurangan ini bisa kita telusuri melalui istilah dhuafa yang berasal dari kata dha’if, artinya lemah, tidak berdaya, kekurangan. Konotasi arti katanya mengarah pada kelemahan dan kemiskinan. Dalam menafsirkan konteks maknanya, kata dha’if dapat menjelaskan sekurang-kurang pada tiga hal:

  1. Miskin Jiwa
  2. Miskin Ilmu
  3. Miskin Harta

Miskin Jiwa

Kemiskinan jiwa diakibatkan oleh kelemahan aqidah. Sebelum Islam datang, zaman itu dikatakan zaman jahiliyah (kegelapan). Kegelapan ini ditandai dengan:

  • Penyembahan pada berhala, pohon, api dan matahari (politeisme) yang membuat jiwa menjadi liar tanpa terkontrol.
  • Perilaku sosial destruktif yang suka berperang, saling menindas, merasa paling hebat, mengumbar hawa nafsu serta tingkat kesombongan yang gengsi yang amat tinggi seperti terlihat dengan adanya kalangan budak dan majikan.

Kemiskinan jiwa sering juga dikatakan dengan kemiskinan moral atau kemiskinan hati. Kemiskinan ini cenderung diakibatkan oleh minimnya pribadi yang bersangkutan hidup dalam kondisi saling menolong. Kehidupan yang dijalaninya lebih didominasi oleh kehidupan masing-masing, lebih mementingkan diri pribadi sendiri. Segala sesuatu cenderung dihitung berdasarkan untung rugi. Jika seseorang melakukan sesuatu, imbalannya dihitung berdasarkan materi. Di daerah perkotaan, sekadar menunjuki jalan pun misalnya, ada uang rokok. Pengaturan mobil keluar masuk di gang-gang, sebagian sudah dilakukan terorginisir dengan sistem tiga shift. Shift pertama dari jam 06.00 – 10.00. Shift kedua pukul 10.00 – 14.00. Shift ketiga pukul 14.00 – 16.00.

Di perkotaan masing-masing pribadi telah sibuk dengan urusannya. Karena kesibukannya, sering kali hubungan personal menjadi amat terbatas. Untuk berkunjung atau menjalin silaturahim pun, tiap individu harus paham kapan saat terbaik. Dengan tiba-tiba muncul tanpa ada pemberitahuan atau janji, bisa jadi akan diterima dalam suasana yang kurang kondusif. Misalnya bisa diterima dalam waktu amat terbatas. Atau juga bisa diterima di tempat yang tidak memungkinkan bercakap lama-lama, misalnya di depan WC atau di gudang belakang kantor. Ini merupakan cara penolakan yang halus.

Miskinnya jiwa atau moral, juga bisa diakibatkan oleh minimnya sentuhan agama. Sedari kecil, keluarga tidak menjadikan pendidikan agama menjadi nomor satu. Semua dikonsentrasikan untuk pendidikan umum atau keduniawian saja. Tanpa sentuhan agama, jiwa menjadi kering. Tak ada tausyiah, tak ada pembangkitan kesadaran untuk menemukan jati diri yang bisa membedakan antara hak dan kewajiban, tak mengenal Allah SWT, asing dengan sikap dan perilaku Rasulullah SAW hingga jiwa sulit menerima akan anjuran-anjuran yang diajarkan Islam. Barangkali menjadi relevan mengapa zakat yang menjadi satu tiang Rukun Islam, kedudukannya tidak dianggap sebagai sebuah kewajiban.

Tanpa sentuhan agama ini, secara hakiki manusia yang lahir tak berbeda dengan mahluk lainnya. Sosoknya saja merupakan manusia. Tetapi cara berpikir, sikap, tindakan dan tabiatnya tak beda dengan binatang. Bahkan Al Quran menyebut bahwa manusia sering terjerumus hingga menjadi lebih rendah dari binatang. Sebagai contoh bandingkan dalam hal makanan. Binatang akan memakan apa yang sudah menjadi makanannya. Dalam kondisi lapar akut pun, jarang sekali ada binatang yang makan bukan sesuatu yang bukan makannya. Harimau misalnya sulit sekali untuk bisa makan nasi dengan tahu dan tempe. Sementara jika binatang makan, mereka segera berhenti setelah dirasa cukup. Tak ada binatang yang tubuhnya over weight karena kelebihan makan. Gajah atau kuda nil memang dikodratkan bertubuh raksasa. Jadi bukan karena mereka rakus, melainkan karena tubuhnya butuh porsi makan yang besar.

Bagi anda yang bertubuh gemuk, keresahan bisa muncul tiap saat. Bagi yang kurus, anda terbebas dari problem kegemukan. Di beberapa kaca mobil belakang, sering tertulis: Cara Aman Menurunkan Berat Badan 10 – 15 kg”. Hubungi telpon... Ini anjuran diet, yang menempatkan kegemukan sebagai peluang bisnis. Anjuran diet itu, minimal melibatkan dua pihak: pengguna dan penyedia jasa. Bila anda penyedia jasanya, jelas itu bisnis. Bagi pengguna, tujuannya untuk hidup sehat serta tampil lebih cantik dan bugar. Makanan penggantinya adalah makanan yang full gizi. Makanan pengganti ini tetap akan membuat tubuh fit sepanjang hari. Jadi diet itu hanya mengurangi kuantitas jumlah makanan, tanpa mengurangi kualitas gizinya. Maka tanpa sentuhan agama, segala sesuatu tetap akan dihitung berdasarkan untung rugi.

Sedang anjuran Islam, penuh dengan keberkahan. Satu kebajikan yang dianjurkan, akan melahirkan kebajikan lainnya. Diet di Islam, sangat dianjurkan dengan mengurangi makan atau melalui puasa. Dengan puasa bukan hanya kuantitas makanan yang dikurangi, melainkan juga kualitas gizinya. Dengan puasa, mental seseorang tengah ditempa. Ia dilatih menderita lapar, seperti kelaparan yang selalu dialami oleh banyak kalangan fakir miskin. Puasa melatih seseorang untuk mengendalikan nafsu, bukan hanya dalam hal makanan. Melainkan juga dalam banyak segi, seperti menahan diri dari kebohongan atau menahan diri dari membicarakan kejelekan orang lain. Bahkan syahwat yang halal pun dilarang saat sedang berpuasa.

Salah satu inti tujuan puasa tak lain adalah membentuk karakter manusia agar memahami penderitaan orang lain. Dengan memahami kesulitan orang lain, diharap terjadi hubungan yang tidak egoistis. Kehidupan pun akan berjalan dalam kondisi yang tidak nafsi-nafsi. Masyarakat yang tidak egoistis, akan memancar sikap penuh kasih yang saling memberi dan menolong. Dengan kondisi saling membantu, harmoni sosial pun terjalin. Keresahan sosial dan kecemburuan akibat jurang kaya miskin dapat terhapuskan. Sebab tak ada sikap sombong dan mementingkan diri sendiri dari orang-orang kaya. Dengan harmoni sosial yang terwujud, si miskin akan bisa menerima kekurangannya dengan wajar tanpa ada kecemburuan dan dendam pada orang-orang kaya.

Kenapa kamu tidak tolong menolong?

Al Quran surah 37 Ash-Shaffat (Yang Bersaf-saf) ayat 25

Itu keberkahan dari ajaran puasa. Yang jika diamalkan sesuai dengan esensinya maka dihasilkan suatu kebajikan yang tidak pernah dapat kita bayangkan sebelumnya. Dari sekadar melatih lapar, ternyata maknanya dapat mendukung terciptanya harmoni sosial di masyarakat. Dalam hal kepedulian ini, Islam malah telah menggariskan dengan kewajiban berzakat bagi muslim yang mampu. Jadi berbeda dengan anjuran puasa yang salah satu maknanya dapat membangkitkan kepedulian kepada sesama umat manusia. Zakat ditegaskan sebagai kewajiban, yang tujuannya adalah untuk menciptakan harmoni sosial. Zakat jadi lambang kepedulian, suka atau tidak serta ikhlas ataupun tidak. Ada cara yang tersamar tujuannya seperti puasa. Ada juga cara yang tegas dan lugas hingga diwajibakan adanya zakat.

Itulah ajaran Islam. Konsepnya sempurna. Metode penerapannya juga sempurna. Dalam hal tauhid keimanan, Islam tidak pernah dan tidak akan kompromi. Tapi dalam menuju pada ridha Allah, ada jalan yang tahapannya sesuai tingkat kemampuan masing-masing. Islam tak pernah memberatkan umatnya. Selalu ada jalan apapun situasi dan kondisinya. Selalu ada cara pemecahannya apapun problemnya. Orang yang sakit parahpun, boleh shalat hanya dengan memberi isyarat saat ruku dan sujud. Orang yang tak mampu puasa karena uzur, boleh menggantinya dengan fidyah. Orang miskin yang tak punya apa-apa, dibebaskan dari dua Rukun Islam, yakni kewajiban berzakat dan pergi haji.

Itulah Islam, agama yang selalu memberikan jalan keluar. Agama samawi terakhir ini mengajarkan manusia tentang adanya hari pembalasan. Setelah mati tiap orang kelak dibangkitkan, sesuai dengan niatnya saat mati. Tiap orang akan dituntut pertanggungjawabannya sesuai dengan amalnya. Ajaran inilah yang meremukan ego manusia. Yang pada saat bersamaan, sekaligus mendorong jiwa menjadi kaya akan moralitas. Peka pada kesulitan, pada penderitaan dan pada ketidakberdayaan sekitarnya. Sebaliknya tanpa sentuhan Islam, manusia tak paham akan dirinya. Manusia tak paham tentang jati diri AllahSWT. Manusia hanya tenggelam dalam ego masing-masing. Jiwa jadi kering. Yang azas pertolonganpun didasarkan pada perhitungan untung rugi. Jiwa yang kering sama sekali tak akan melahirkan kebaikan. Jiwa yang kosong, juga akan menihilkan moralitas. Tanpa moral, manusia jadi berbahaya bagi manusia yang lain dan kehidupan. Tak ada belas kasih. Tak ada kepedulian dan kepekaan nurani. Itulah dampak dari kemiskinan jiwa.

Dan disempurkan bagi tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan

(Al Quran surah 39 Az Zumar –Rombongan— ayat 70)

Katakanlah, adakah sama antara orang-orang yang berilmu

dan orang-orang yang tidak berilmu?

(Al Quran Surah 59 Az Zumar –Rombongan-- ayat 9)

------EDIT SINI & GRS BAWAH GMN ILANGINNYA:

Miskin Ilmu

Ada pendapat lama yang mengatakan: Ilmu tanpa agama adalah buta. Agama tanpa ilmu adalah pincang. Pameo lama ini sesungguhnya keliru. Sebab kata-kata ilmu tanpa agama, lugas sekali menegaskan bahwa agama bukanlah ilmu. Islam sebagai agama, bersumber pada Al Quran dan Al Hadits. Quran berisi ajaran sebagai sebuah konsep yang sempurnamanhaj atau sistem. Sedang Hadits merupakan petunjuk penerapan sebagai metodenya. Sebagai sebuah ajaran yang sempurna, Islam mengajarkan adanya Allah SWT sebagai Maha Ilmu sumber dari segala sumber ilmu. Untuk memahami Quran, ada ilmunya. Untuk memahami hadits, juga ada ilmunya. Maka untuk memahami kedalaman ilmu yang dikandung Islam, mutlak harus dicapai dengan ilmu sesuai dengan kemampuannya. Itulah kesempurnaan Islam, tak pernah memberatkan umatnya. Tiap orang berbeda kapasitas dan kapabilitasnya.

Siapapun yang memegang teguh Quran dan Hadits, akan selamat dan bahagia dunia akhiratnya. Kebahagiaan di dunia adalah ilmu dan amal. Kebahagiaan di akhirat adalah surga. Untuk menuju ke sana dibutuhkan ilmu dan amal perbuatan. Untuk menggapai ilmu, diperlukan suatu perjuangan. Untuk menerapkan ilmu itu, juga dibutuhkan kegigihan perjuangan. Semua itu adalah jihad. Quran berisi ayat kauliyah. Yang sejak pertama dilahirkan hingga yaumil akhir, tetap akan terdiri dari 30 juz. Tidak akan pernah berlebih dan tak akan pernah berkurang. Namun dari Quran ini diperoleh pengetahuan, bahwa di samping ayat kauliyah itu masih terdapat ayat kauniyah yang tidak tercatat. Ayat kauniyah itu terjelma dalam bentuk apapun di alam semesta dan hari nanti. Ayat kauniyah ini dapat dilihat, dirasakan, dipikirkan dan dibayangkan. Baik menyangkut diri manusia baik jasmani maupun rohani. Mahluk-mahluk lain ciptaan Allah SWT. Flora dan fauna sebagai lingkungan hidup. Dan masih banyak lagi kehidupan dan segala sesuatu yang tak belum mampu dikuak misterinya oleh manusia. Maka tidak akan cukup lautan jadi tinta, dan kayu dijadikan penanya untuk menuliskan tentang Allah SWT. Ilmu Allah tidak terbatas.

Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhan-ku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhan-ku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”

(Al Quran surah 18 Al Kahfi –Gua- ayat 109)

Ilmu terbagi atas ilmu yang fardhu ain dan fardhu kifayah. Ajaran Islam mutlak merupakan fardhu ain, yang harus dipelajari tiap muslim. Tujuannya untuk keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat setiap muslim. Yang termasuk dalam fardhu kifayah adalah semisal ilmu kedokteran. Tiap orang tidak mutlak mempelajari ilmu kedokteran, lebih-lebih hingga menjadi dokter. Tiap orang dibolehkan memilih satu atau dua ilmu fardhu kifayah, sesuai dengan minat dan kesanggupannya. Maka di masyarakat, harus ada sebagian yang mempelajari. Tujuan ilmu kedokteran, untuk mengurus kesehatan masyarakat. Demikian juga dengan ilmu matemtaika. Tujuannya agar terjadi perhitungan yang akurat, hingga seluruh transaksi dapat dipertanggungjawabkan.

Ada dua tujuan dipelajarinya suatu ilmu. Pertama untuk kemaslahatan manusia. Kedua untuk perkembangan ilmu itu sendiri. Dalam hal fardhu kifayah, siapa yang tak berpendidikan identik tak berilmu. Lepaslah dunianya. Jika yang tak berpendidikan harus hidup, mereka hanya mengandalkan tenaga. Jadi kuli angkut atau tukang cuci contohnya. Jika mereka punya sedikit ketrampilan, ilmunya yang sederhana berkembang sesuai perkembangan waktu. Karena pengalaman akhirnya dari asisten tukang jadi tukang batu. Jika ketrampilan itu matang, jadilah mereka sebagai ahli bangunan. Jika aspek manajerial pun tumbuh, jadilah mereka mandor. Jika sisi bisnis mulai diketahui, mereka akan membuat perusahaan. Dimiliki sendiri yang dimulai dengan kecil-kecilan. Semua itu bisa mereka peroleh dengan tahapan perkembangan ilmu dan sikon kejiwaan. Semakin ke atas, semakin sedikit yang bisa menggapai puncak. Ibarat naik gunung, hanya beberapa saja yang bisa mencapai puncak dari sekian pendaki

...dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit

(Al Quran surah Al Isra –Perjalanan Malam Hari-- ayat 85)

Dalam hal fardhu ain, ilmu Islam yang dipelajari harus juga dipraktekkan. Jika Islam yang dipelajari tidak diamalkan, ilmu itu tidak akan memberi manfaat banyak bagi dirinya. Ia hanya akan jadi pengetahuan. Tapi saat diwacanakan, ajaran Islam itu tetap bermanfaat karena akan memberi pengetahuan pada masyarakat. Bila Islam sungguh-sungguh jadi way of life, insya Allah keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat bisa dicapai. Sebagai way of life tiap muslim akan hidup sesuai dengan tuntunan Islam. Ambil contoh seorang dokter. Apa ciri dokter muslim? Inti ciri terletak pada taqwanya sebagai muslim. Kebetulan saja profesinya sebagai dokter. Ciri dokter yang taqwa, di antaranya tarif tidak pukul rata pada tiap pasien. Bahkan dokter taqwa tak sampai hati membebankan tarif pada pasien yang tak mampu bayar. Sebab siapa sih yang mau sakit. Ciri lain misalnya, dalam memberi resep bukan dirujuk pada obat produk perusahaan farmasi yang telah mengkontraknya. Dokter yang taqwa, sungguh-sungguh akan melihat dampak obat pada pasien. Dengan atau tidak menjelaskan dampak pada pasien, tanggung jawabnya akan menuntun ia tidak sembarangan memberi obat.

Demikian juga sarjana hukum yang jadi pengacara atau hakim. Islam yang telah jadi way of life, menuntun cara berpikirnya, sikap dan tingkah lakunya. Pengacara dan hakim yang taqwa, mustahil bisa dibeli dengan uang. Ajaran Islam akan menuntun mereka untuk tak memenangkan klien kaya raya yang bersalah. Dirinya pun akan digugat dan dituntut Islam jika memvonis salah klien yang benar. Pembelaan dan putusan pada tiap klien, didasarkan pada azas keadilan dan kebenaran. Adil dan benar menurut tuntunan Islam. Jika pengacara dan hakim yang paham hukum telah mempermainkan keadilan, rusaklah kehidupan bermasyarakat. Begitu juga dengan sikap pedagang. Pedagang yang taqwa pasti jujur. Mutahil dirinya akan menipu pembeli dengan segala sumpah. Dia terjaga untuk tidak menyukat timbangan. Pedagang taqwa juga tak sampai hati mengoplos minyak. Bahkan tak mungkin tega menjadikan moment bencana alam sebagai sarana untuk mengambil laba sebesar-besarnya.

Sembilan dari sepuluh sahabat Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga adalah

SAUDAGAR

Sungguh amat banyak dokter, pengacara, hakim serta saudagar yang muslim. Namun berapa yang sungguh-sungguh taqwa menjadikan Islam sebagai way of life? Ketaqwaan mereka sebagai muslim, bukan dilihat saat mereka diam, mengangguk-angguk seolah begitu santun dan patuh di masjid dan pengajian. Shalat berjamaah di masjid, tak bisa jadi ukuran mutlak taqwa tidaknya seseorang. Ini ibadah ritual. Pengajian juga demikian. Santunnya jamaah yang mendengar, tak mutlak mengindikasikan bahwa yang mengangguk-angguk merupakan jamaah amat taqwa. Ini hanya bagian dari dakwah normatif. Taqwa tidaknya seorang dokter, amat ditentukan pada saat berhubungan dengan pasien. Bagi pengacara dan hakim, taqwanya ditentukan waktu memproses klien dan penentuan perkara. Untuk paham ketaqwaan pedagang, lihatlah di pasar.

Keempat pihak tersebut, dokter, pengacara, hakim dan pedagang merupakan contoh baik. Jika mereka jadikan Islam sebagai landasan way of life, sesungguhnyalah mereka juga ustadz. Karena tak berlatar pendidikan formal keagamaan, jangan tuntut mereka berdakwah seperti guru-guru agama. Namun kembangkan metode baru dakwah, melengkapi dakwah normatif yang telah disyiarkan oleh para ustadz. Biarkan dokter berdakwah dengan ilmu kedokterannya. Kondisikan pengacara dan hakim berdakwah dengan putusan perkara yang adil dan benar. Buktikan pula bahwa di pasar pun masih ada pedagang yang jujur. Serta tak bisakah akuntan menyusun laporan keuangan dengan benar. Jangan mengakali penyusunan laporan. Apa yang dipublikasikan berbeda dengan laporan untuk pemilik.

Sesungguhnya Kami telah datangkan kitab kepada mereka,

Kami jelaskan dengan pengetahuan

(Al Quran surah 7 Al A’raaf –Tempat Tertinggi— ayat 52)

Dari sekian banyak paham yang mengajarkan ilmu, hanya tiga yang merupakan agama samawi yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Meski berasal dari satu Tuhan, ketiga pemeluk agama samawi ini sulit hidup berdampingan. Yahudi dengan konsep Zionismenya, terus berjuang dengan segala cara untuk bisa diakui sebagai bangsa yang sah. Umat Nasharah dengan strategi dakwahnya ke seluruh dunia, menimbulkan berbagai guncangan. Sedang umat Islam, sebagian besar terjebak dalam kemiskinan. Bahkan kini dihadapi tudingan terorisme. Masing-masing pendukung agama samawi ini memiliki argumen sebagai pembenar dan pengesah tindakan mereka. Tetapi ditilik dari segi obyektivitas, ada beberapa hal yang dapat menjelaskan kedudukan Yahudi, Kristen dan Islam.

Pertama dilihat dari tahapan turunnya agama samawi ini, Islam turun untuk terakhir kali. Setelah Islam tak ada lagi agama samawi yang diturunkan Allah SWT. Secara logika, tahapan akhir merupakan penyempurna. Dalam ilmu dan teknologi, misalnya, temuan teknologi terkini jelas memiliki posisi sebagai penyempurna dari berbagai penemuan sebelumnya. Kedua ditinjau dari konsep baku, Al Quran merupakan kitab yang tidak pernah berubah satu huruf pun sejak diturunkan hingga kini. Jika esok ada perubahan, penghafal-penghafal Quran akan segera membenahi dan mengembalikan kepada jalurnya. Ketiga belum pernah terdengar kabar bahwa ada satupun orang yang hafal kitab Yahudi dan Injil. Tetapi orang yang hafal Al Quran, jumlahnya tak terhitung. Untuk mendatanya secara akurat, dibutuhkan suatu metode yang bisa langsung mendeteksi hafidz Quran yang wafat dan hafidz yang baru. Misalnya hampir seluruh imam masjid di Timur Tengah merupakan orang yang hafal Quran. Hafal Al Quran merupakan persyaratan mutlak untuk bisa jadi imam di sana.

Keempat orang yang baru masuk Islam, kebanyakan berlatar pendidikan yang baik. Mereka memeluk Islam bukan karena terpaksa, seperti kesulitan dalam ekonomi misalnya. Mereka masuk Islam karena tekanan mental, karena jiwa selalu kosong dan asing serta tak pernah bisa memahami arti hidup yang sesungguhnya. Dalam Islam semua itu dijelaskan. Islam membolehkan pertanyaan apapun juga. Tanpa ditutup-tutupi, tanpa sekat dan tanpa perantara. Islam akan menjawab seluruh pertanyaan manusia. Kelima ajaran Islam ternyata memiliki banyak faedah. Bahkan karena tidak diduga manusia, manfaat yang berlebih itu seolah jadi keajaiban. Puasa Ramadhan misalnya tak dijumpai dalam agama manapun. Manfaat menahan nafsu dalam berpuasa, ternyata menghancurkan ego manusia yang selalu jadi bibit kerusakan sosial. Bahkan puasa itu, ternyata merupakan satu cara sempurna dalam menyehatkan tubuh. Ilmu kedokteran pun mewajibakan pasiennya untuk puasa sebelum operasi besar. Dengan puasa, metabolisme tubuh dalam kondisi stabil. Suatu kondisi yang dibutuhkan agar operasi dapat berjalan baik tanpa gangguan dari pasien.

Keenam hanya Islam yang punya fondasi Rukun Islam dan Rukun Iman. Dua rukun yang tidak dijumpai di agama manapun dan kepercayaan apapun. Sebagai pemeluk Islam, seseorang harus menjalankan Rukun Islam sebagai tuntutan menjadi muslim. Jika mereka tak dapat mampu menunaikan zakat dan haji, Islam pun tetap mengakui mereka yang punya keterbatasan materi sebagai muslim. Sebagai pemeluk Islam, mereka pun harus mempercayai mutlak Rukun Iman. Jika tak percaya sedikitpun, maka iman mereka sebagai mukmin diragukan. Bila ditanyakan pada agama dan kepercayaan lain, bisakah mereka menjawab dua pertanyaan itu: Apa fondasi rukun agama yang mereka harus jalankan. Dan percaya pada siapa? Jika sulit menjawab pertanyaan ini, sesungguhnya iman seperti apa yang tengah dicari.

Ketujuh ditilik dari keilmuan, Allah SWT membagi Islam dalam 2 bagian utama: Kitab Al Quran sebagai konsep utuh. Dan Nabi Muhammad SAW merupakan contoh bagaimana membumikan Al Quran dalam kehidupan sehari-hari. Inilah Islam, ajaran yang memang tak salah dikatakan sebagai ajaran sempurna. Al Quran dan Al Hadits, keduanya bermuara pada Allah SWT. Ijma para ulama, juga bersumber pada Al Quran dan Al Hadits, yang akhirnya juga bermuara pada Allah SWT. Ijtihad yang dilakukan, pun harus bersumber dan bermuara pada Allah SWT. Maka sumber dari segala sumber ilmu adalah Allah SWT.

Bahkan (Al Quran) itu adalah bukti-bukti yang jelas

di dalam dada mereka yang diberi pengetahuan

(Al Quran surah Al ‘Ankabut ayat 49)

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda:

Manusia itu ibarat barang logam seperti logam emas dan perak.

Orang yang baik pada zaman jahiliyah, menjadi baik pula pada masa Islam

apabila mereka itu berpaham (berilmu)

(Bukhari Muslim)

Miskin Harta

Saya yang tak punya cita-cita jadi PNS, akhirnya pernah merasakan karena ditawari jadi peneliti. Barangkali peneliti memang beda kondisinya, begitu pikiran saat itu. Tak sampai satu bulan usai S1, saya kuak babak baru sebagai peneliti arkelogi di tahun 1985. Sebagai PNS golongan III A, gaji tak sampai Rp 100.000 / bulan. Hanya tiap dua bulan, ada penelitian ke lapangan yang rata-rata butuh waktu 15 hari. Untuk penelitian lapangan ini, disediakan lump sum dengan honor Rp 55.000 / hari. Lump sum digunakan untuk biaya akomodasi, konsumsi, tranpor lokal dan uang saku. Belakangan saya baru sadar, di situ ada manajemen lump sum. Bendahara lapangan yang ditunjuk memang harus cakap. Agar usai penelitian ada uang saku yang dibawa untuk keluarga. Dengan 15 hari penelitian, uang yang dibawa bisa mencapai sekian ratus ribu rupiah>

Dalam proses pemenuhan kebutuhan PNS ini, negara melakukan dua kesalahan struktural. Pertama, gaji kecil merupakan kebijakan agar PNS siap jadi miskin. Kedua dengan lump sum, PNS disilakan menyiasati projek guna cari tambahan penghasilan. Ini merupakan latihan agar PNS bisa bertahan hidup. Atau syukur-syukur bisa keluar dari kemiskinan. Dua hal inilah –gaji kecil dan lump sum— yang oleh sebagian masyarakat diyakini sebagai salah satu cikal bakal bibit korupsi di Indonesia. Kegiatan proyek ini merangsang adanya mark up. Caranya menambah hari dan jumlah tenaga. Saat mencairkan dana, juga sudah terjadi penyunatan. Istilahnya TST (Tau Sama Tau). Cara ini mendewasakan diri untuk cari tambahan penghasilan, menyiasati apapun yang bisa di-obyekan. Karena telah berjalan berpuluh tahun, akhirnya korupsi di Indonesia telah melembaga, terencana dan sistematis. Merambah seluruh kehidupan dan merebak ke segala penjuru tanah air. Ibarat mahluk hidup, korupsi itu telah berkembang biak jadi species dan genus tersendiri. Tak lagi perlu diajari how to corrupt-nya.

Text Box: Di pertengahan akhir tahun 90-an, ada kisah terpenggal yang tragis dari kampus IPB Bogor. Menurut Jamil Azzaini, Vice President  Dompet Dhuafa, ada seorang mahasiswi baru IPB yang tidak keluar-keluar kamar saat awal perkuliahan. Beberapa hari ditunggu tak juga muncul. Kecurigaan makin menjadi-jadi bersamaan dengan bau menyengat muncul dari kamarnya. Dengan bantuan pihak keamanan, akhirnya pintu kamar dibuka. Ternyata tubuh mahasiswi itu sudah terbujur kaku. Yang mengejutkan, hasil forensik menyatakan bahwa dia mati karena kelaparan. Bogor bukanlah kota miskin. Di samping tetangga Jakarta, sumber ekonomi Bogor meruah-ruah. Penduduk Bogor juga bukan tergolong masyarakat yang kikir. Lantas, mengapa mahasiswi itu harus wafat menahan lapar?   Menurut teman-teman sesama mahasiswa barunya, dia berasal dari keluarga miskin. Dunia kampus yang begitu megah, bisa jadi memukul dirinya yang teramat miskin. Hingga untuk meminta bantuan kepada teman barunya ia tak sanggup. Barangkali ia begitu malu, meminta bantuan hanya untuk sekadar makan di kampus yang megah. Bayangkan berapa lama ia harus menderita menahan lapar?Saat jadi peneliti itu, ada seorang rekan sebut saja namanya Maralus Marawe. Karena beberapa pertimbangan, tak etis menyebut nama aslinya. Bagi saya ia amat istimewa. Dengan gaji sekitar Rp 100.000 itu, Maralus harus berakrobat. Agar hemat, anak isterinya ditinggal di Flores di tanah tumpah darahnya. Entah bagaimana caranya ia bisa mengunjungi anak isterinya. Tiap berangkat kerja, ia bagi perjalanannya jadi dua babak yakni babak olah raga dan rekreasi. Babak olah raga, dari rumah ke stasiun Depok, ia tempuh dengan jalan kaki. Dari Depok ke stasiun Pasar Minggu, ia tempuh dengan menikmati kereta api. Ini babak rekreasi, katanya. Dari stasiun Pasar Minggu ke kantor yang jaraknya 2 km-an, kakinya berolah raga lagi. Saat pulang ke rumah, babak olah raga dan rekreasi ini diulangi persis. Makan siang di kantor, ia bekali dari rumah. Sungguh terkadang lauknya hanya dicampuri garam. Kuahnya, cukup dibaluri air teh. Ini dikerjakan bertahun-tahun hingga detik-detik terakhir saya keluar dari PNS tahun 1990. Kini sudah tahun 2005. Entah, apakah sekarang Maralus masih bertahan dengan cara how to survive-nya itu.

Rasulullah saw:

Orang miskin itu bukanlah yang diberikan kepadanya sebiji atau dua biji kurma atau sesuap dua suap nasi, tapi orang miskin itu adalah orang yang menjaga kehormatannya

Maralus merupakan satu contoh, bagaimana seseorang menyiasati hidup karena penghasilan yang kurang. Mahasiswi IPB malah mengenaskan karena kelaparan. Tentu masih banyak cerita yang menyesakkan dari para keluarga miskin yang lain. Ada anak keluarga miskin yang tak tahan, akhirnya harus bertindak kriminal. Entah dia jadi maling, penjambret atau merampok bersama teman-temannya. Malah bisa jadi dia terjebak jadi satu mata rantai dari sindikat pengedaran narkotik dan obat-obat terlarang. Itu buat yang laki-laki. Buat anak-anak yang perempuan, cara mempertahankan hidup juga tak kalah getir. Bagi anak-anak perempuan ini, cara termudah adalah menjajakan diri. Dunia pelacuran menjanjikan banyak untuk keluar dari kesulitan hidup.

Kemiskinan harta memang diukur dari ketiadaan materi untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Kemiskinan ini muncul sebagai akibat dari berbagai sebab. Dari rangkaian penyebab itu, secara ringkas dapat dikelompokkan dalam dua faktor yang berbeda, yakni persoalan internal dan eksternal. Dari segi internal, kemiskinan ini akibat dirinya tak bisa memanfaatkan potensi. Bisa karena dia tak berpendidikan, tak punya ketrampilan, tak punya modal atau tak berani ambil resiko. Yang pasti sebagian besar orang-orang miskin sama sekali tak punya akses untuk bisa lepas dari kesulitan hidup. Secara eksternal, bisa jadi kemiskinan tercipta karena persoalan luar menghadang dia untuk bisa mandiri. Mungkin karena persaingan, karena terbatasnya sumber daya, atau mungkin juga karena adanya kecurangan di pihak lain.

Bagi kebanyakan orang, kemiskinan hanya diukur dari ketiadaan uang. Hingga dalam mengukur tingkat kemiskinan seseorang, BPS (Biro Pusat Statistik) pun menggariskan pada KFM (Kebutuhan Fisik Minimum). Standar KFM itu berbeda untuk ukuran kota besar, kota kecil dan pedesaan. Sebagai sebuah alat, KFM telah menjelaskan kondisi kemiskinan. Tetapi sebaiknya jangan gunakan standar KFM sebagai satu-satunya alat pengesah. Kelemahan mendasar KFM terletak pada tolok ukur uang, yang berlaku di seluruh pelosok negeri. Seorang yang tak punya uang, mutlak dianggap keluarga miskin. Coba simak kehidupan di desa. Keluarga yang hidup di desa, tak selalu mengandalkan uang. Beras dan sayuran melimpah di desa. Bila hendak makan ikan dan ayam, juga tinggal menangkap. Jika anak-anak hendak sekolah, cukup dengan berjalan kaki. Bila butuh uang untuk keperluan sakit, mereka jual ayam atau sayur dan buah-buahan. Atau ayam itu jadi alat tukar barter. Jadi di desa uang digunakan hanya dalam kondisi tertentu saja. Dan tak berarti keluarga itu masuk dalam kategori miskin.

Penggunaan sumber daya merupakan modal keluarga desa sebagai kearifan lokal. Secara kondisional, desa bukan tempat perputaran uang. Pusat uang ada di kota-kota besar. Maka standarisasi uang di seluruh pelosok adalah keliru. Penerapan materi tak boleh terpaku pada uang. Ada bentuk materi lain yang nilainya tak kalah dengan uang. BPS harus melihat faktor ini, sebagai kekuatan untuk melihat tingkat kesejahteraan. Jangan melihat miskin tidaknya seseorang, hanya ditentukan berapa besar dia pegang uang. Dengan penerapan standar uang, negeri ini memacu seluruh sektor berlomba dalam mencari uang. Karena ukurannya uang, negeri ini pun pinjam uang untuk mengelola sumber daya alam. Agar mudah mendapat uang, sumber daya alam itupun banyak diserahkan pengelolaannya pada pihak asing. Yang hingga hari ini, masyarakat tak pernah tahu berapa sesungguhnya bagi hasil itu. Bahkan yang lebih tragis, untuk mendapat uang cepat, BUMN sebagai asset negara dijual pada pihak asing.

Text Box: Orang jadi mulya karena kedermawanan, bukan hartanya Orang jadi mulya karena manfaat, bukan ketinggian ilmunya Orang jadi mulya karena ketawaduan, bukan karena telah melakukan ini dan itu Orang jadi mulya karena pengorbanan, bukan karena telah merasa berjasa Orang jadi mulya karena keserderhanaan, bukan karena gemerlapnya penampilan Orang jadi mulya karena bisa menahan diri, ikhlas untuk tak jadi siapa-siapa

Kemiskinan Jiwa – Ilmu - Harta

Tahun 1993 di Yogyakarta saya berkenalan dengan seorang pemuda bernama Umar Budihargo. Saya awal berjumpa, saya terkesiap melihat wajahnya yang bening dan teduh. Yang tak kalah menarik, matanya berkilat-kilat memendam sebuah cita-cita. Yang tentu saja kecuali Allah swt, cuma ia yang paham makna di balik kilatan matanya itu. Ia berasal dari keluarga terpelajar, terhormat, terpandang dan cukup makmur. Kata orang, karena Umar tak pernah terus terang, orang tuanya termasuk dokter bedah pertama di Yogyakarta. Juga punya rumah sakit khusus untuk kebidanan. Saya juga akrab dengan dua kakak iparnya. Yang satu bernama Danarto, sang penyair dan penulis. Ipar yang lain namanya Mukti Asikin. Ipar yang terakhir ini merupakan aktivis LSM. Setelah memimpin PUPUK (Perkumpulan Usaha Kecil), Mukti Asikin jadi konsultan di ADB (Asian Development Bank). Tahun 2005 ini, kabarnya ia ditarik membantu SwissContact.

Hampir semua orang memanggilnya ustadz, saya telah terbiasa menyapanya dengan Mas Umar saja. Begitu lepas SD, ia memasuki dunia baru di Pesantren Gontor. Berbagai kenikmatan di rumah, satu per satu ditinggalkan. Termasuk kepiawaiannya memetik gitar, menggebuk drum dan memainkan jemari di tuts piano. Umar lulus dari Gontor dengan predikat memuaskan. Lantas melanjut ke Madinah, juga lulus dengan amat memuaskan. Untuk S3, Umar melirik Pakistan. Namun beasiswa S3 ia abaikan. Panggilan hatinya membangun lembaga pendidikan tak tertahan. Tahun 1992 Pesantren As Syifa berdiri di Ganjuran Bantul Yogya. Untuk membangun gedung bagi santrinya, Umar langsung menyetir truk, mencari pasir dan mengangkutnya dari kali. Termasuk juga turut kerja menembok bersama kuli-kuli bangunan. Yang membuat terkesiap, untuk keluarganya, Umar hanya membangun rumah berdinding bilik bambu. Kontras, sungguh amat berbeda dengan rumah santrinya yang dari beton. Sekitar tahun 1997, ustadz muda inipun membangun pesantren di daerah Monjali (Monumen Yogya Kembali).

Kisah Umar ini punya nuansa khusus. Berbeda dengan Maralus Marawe yang menyiasati diri bertahan hidup dengan penghasilan kurang. Maralus tak tergoda cari penghasilan lain, apalagi korupsi yang telah jadi kultur birokrasi kita. Sedang mahasiswi IPB yang wafat karena kelaparan, merupakan penggal tragis mengenaskan. Dengan keihklasannya, musibah itu akan menuntunnya jadi syahidah. Bagi keluarga miskin lain yang akhirnya jadi kriminal, pengedar narkoba atau juga melacur, tak lain juga karena kondisi. Resiko yang bakal mereka hadapi memang besar. Tapi tuntutan perut mengalahkan bisikan nurani. Bagi orang miskin, hidup hanya sebatas hari ini. Soal esok bagaimana nanti. Yang penting cari makan dulu. Setelah kenyang baru pikiran boleh menerawang melintas batas.

Semua itu adalah pilihan. Maka anda pilih yang mana: Jadi orang miskin yang sabar, atau orang kaya yang bersyukur? Maralus jelas termasuk orang miskin yang sabar. Ia sabar untuk tak jatuh dalam tindakan salah. Dalam kondisi sabar ini, jika Maralus ikhlas karena Allah SWT, berkahlah hidupnya. Keberkahan itu tampak dari harmonisnya kehidupan keluarga, damai hingga penuh dengan keindahan. Ikhlas karena Allah, merupakan kunci sempurna dalam meraih ketaqwaan. Namun ada juga orang yang sabar karena no choice tak berdaya. Mereka sabar, karena memang tak ada yang dapat dimanfaatkan. Itulah kesabaran semu. Seolah sabar, padahal kondisinya memaksa demikian. Seolah sabar, ternyata itu dipaksa karena terlanjur punya citra jadi orang sederhana. Tanpa sadar, sabar mereka terbentuk karena kepentingan. Bukan terlandasi keikhlasan karena Allah. Sabar seperti ini sia-sia. Hanya mendapat dunia, tak lebih seperti yang dibayangkan.

Mengancik (mengacu) latar belakang Umar Budihargo, tak salah sosoknya dikelompokkan termasuk orang kaya yang bersyukur. Dia bangun travel haji. Tak lain untuk membiayai santri-santrinya yang 80% tak mampu. Padahal jika hanya untuk kekayaan pribadi, buat apa ia bersusah payah. Penghasilan dari travel, bisnis dan pengajiannya telah lebih dari cukup. Tapi ia ingin berbuat lebih apapun resikonya. Kenikmatan hidup baginya bukan di dunia. Juga bukan diukur dari kekayaan materi. Semua itu ia jadikan alat untuk mencapai ketaqwaan. Dan ia telah mulai sejak kanak-kanak, sejak kakinya pertama kali menjejak Pesantren Gontor. Uang yang dicari, sepenuhnya diwakafkan untuk membangun pesantren guna penyiapan generasi berikut. Maka pesantren yang dibangun itu jelas bukan untuk cari kekayaan pribadinya. Jika cari materi, bisakah ia tarik dari santrinya yang sebagian berasal dari kalangan miskin. Di pesantren yang di Monjali, rumah Umar pun hanya berdinding kayu lapis. Entah tripleks atau plywood karena dicat putih. Moralnya begitu kaya. Tak ada keinginan pribadi untuk berharta lebih. Semua itu dikhidmatkan untuk umat.

Dari segi keilmuan, latar belakang Gontor dan lulusan Madinah, menjelaskan posisi keustadzannya. Santri di pesantren yang ia bangun, ribuan jumlahnya yang datang dari berbagai pelosok. Pengajian yang ia gelar, juga dihadiri berbagai kalangan menengah atas. Tutur katanya lembut. Kandungan lafal yang tertutur, begitu dalam maknanya. Ilmu yang ditularkan terus mengalir, memenuhi benak para santri dan pendengar berbagai ceramahnya. Wajahnya yang bening dan teduh, makin indah dihiasi senyum yang terus mengembang. Dalam hal prinsip, sikapnya tak kompromi. Maka tak pernah sekalipun ia bersedia tampil di televisi. Karena moralnya tak mengizinkan dirinya hadir di antara selingan spot iklan seronok dan banyak yang membohongi masyarakat. Umar memang termasuk satu sosok putra terbaik Yogya.

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar akan beserta orang-orang yang berbuat baik

(Al Quran surah 29 Al ‘Ankabut –Laba-Laba— ayat 69)

Menarik menyimak perjalanan Maralus Marawe, Umar Budihargo, mahasiswi IPB dan perilaku kriminal anak-anak keluarga miskin. Karakter mereka jadi contoh berbagai perilaku berkait dengan korelasi kejiwaan, keilmuan dan materi. Tiga segi yang saling mempengaruhi. Sulit menentukan mana yang lebih dahulu hadir. Ini sangat kondisional. Ada orang yang memang terlahir dari keluarga beriman kuat. Tapi ada yang menemukan iman belakangan. Iman yang tertanam jadi cerminan jiwa. Juga tak sedikit yang tercerahkan melalui ilmu. Ada pula yang menjadi taqwa, justru saat tak memiliki harta berlebih. Kebaikan yang satu, melahirkan kebaikan di segi lain. Iman yang kuat, akan mengokohkan jiwa jadi makin sehat. Dengan jiwa yang taqwa, harta pun terdudukkan proporsional. Punya harta atau tidak, jiwa yang sehat selalu ingin bersedekah.

Kebaikan akan melahirkan kebaikan yang lain. Berarti keburukan juga akan melahirkan keburukan yang lain. Pada segala hal, kebaikan dan keburukan selalu ada. Konstruktif dan destruktifnya amat tergantung pada proses pembinaan. Keluarga guru akan melahirkan perilaku yang sifatnya cenderung damai dan mengayomi. Berbeda dengan keluarga artis yang selalu ingin tampil beda dan cari perhatian. Berbeda lagi dengan sikap keluarga militer yang akan lebih tegas, keras dan disiplin. Namun itu semua merupakan perilaku. Belum tentu keluarga guru yang lebih tenang, juga mutlak punya kekayaan moral lebih. Tak bisa dipastikan, apakah keluarga militer yang keras juga pasti dzalim kepada si miskin. Dalam saat hening, seorang artis juga pasti akan berpikir keras mengapa selalu ingin menarik perhatian orang. Ada dorongan nurani yang tak bisa ditahan-tahan, untuk mencari atau mengembalikan jati diri.

Manusia memang unik. Perilaku bisa utuh konsisten. Atau juga bisa terbolak balik tergantung kondisi. Kemiskinan harta, jelas punya hubungan sebab akibat dengan kejiwaan dan keilmuan. Boleh jadi pada diri yang tak berharta, jiwa pun terpupuk makin kerdil. Dalam kondisi serba sulit, waktu lebih banyak digunakan cari sesuap nasi. Untuk apa mencari ilmu. Sebaliknya ketiadaan ilmu, justru itulah penyebab tak dimilikinya pekerjaan. Tanpa ilmu, hati dan jiwapun bergolak tak sehat. Siapa berani katakan mustahil, bahwa jiwa tak sehat merupakan sarang penyakit hati. Rasa dengki dan tak suka melihat orang lain sukses, bakal tumbuh subur. Rasa dengki itupun jadi bibit tumbuhnya suatu dendam. Bagi orang miskin, perilaku orang kaya selalu menyakitkan. Kendati tidak ada niat dari orang kaya untuk menyakiti. Rasa dengki ini terus berakumulasi. Beriring dengan kemiskinan yang terus meruyak dan menjadi-jadi, rasa dengki itu kini telah menjelama menjadi “bom sosial” yang suatu saat siap meledak.

Contoh rusaknya jiwa, juga bisa berasal dari keluarga yang kaya. Amati saja karakter yang terbentuk pada keluarga yang ternafkahi harta tak halal, seperti korupsi. Barang tak halal akan mempengaruhi jiwa anggota keluarga. Dampaknya akan berlangsung jangka panjang, yang bakal mempengaruhi perjalan hidup anak-anak mendatang. Dengan harta itu, mereka bisa kirim anak-anaknya menuntut ilmu. Pendidikan terbaik di luar negeri bisa mereka masuki. Namun bagaimana pemanfaatan ilmu itu kelak? Untuk cari nafkah, jangan-jangan ilmu itu digunakan untuk mengelabui masyarakat lagi. Orang tua saja sudah jadi beban dan masalah negara dengan korupsinya. Anan-anaknya nanti, juga cenderung akan jadi beban mendatang. Bahkan mungkin lebih dahsyat.

Pameo tempo ‘doeloe’

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari

Like son like father

Dalam buku Ersazt Capitalism, Yosihara Kunio mengatakan ada 8 penyebab rontoknya ekonomi Asia Tenggara. Satu di antaranya adalah ekonomi pemburu rente. Bisnis pemburu rente hidup di kalangan anak-anak pejabat negara. Cara bisnis pemburu rente ini begini. Beberapa anak pejabat sepakat bergabung membentuk serikat. Singkat kata berdirilah PT Malaga (Mau Elu Apa, Gue Ada). PT Malaga ini siap menampung order apapun dari orang tua mereka. Karena jabatan orang tua berbeda-beda, PT Malaga pun harus sanggup menerima semua order. Bisa mengerjakan order atau tidak, itu soal lain. Order yang diterima, di-sub orderkan-kan lagi pada pihak lain. Yang pasti PT Malaga akan mengambil fee dari order. Besarnya fee, bisa 30% dari nilai total order. Fee inilah yang diburu-buru, sebagai kerja santai tapi penghasilan raksasa.

Rusaknya jiwa, juga bisa berasal dari keluarga kaya yang serba halal. Siklus kehidupan keluarga kaya, kita mulai sejak kelahiran anak. Keluarga kaya tentu makin tak tersentuh bidan. Anak yang lahir, ditangani dokter spesialis kebidanan di RS mewah. Pulang dijemput dan dibawa dengan mobil mulus. Sampai di rumah, kamar bayi pun telah dihias apik. Hadiah-hadiah jangan tanya karena begitu banyaknya. Jika tak cukup satu, baby sitter bisa ditambah. Apapun kebutuhan si kecil dipenuhi segera. Jangan sampai si kecil jatuh hingga menangis. Orang tua bakal marah besar. Masuk play group, TK hingga SLTA merupakan sekolah favorit. Kursus bahasa disiapkan agar segera bisa kuliah di luar negeri. Di USA atau di Eropa, perguruan tinggi terkenal pun dimasuki. Singkat kata anak ini lulus dan segera kerja. Jika kerja di luar negeri, persoalan bisa ternetralisir karena sistem di sana. Bila kerja di dalam negeri, ternyata gaji teramat sedikit dibanding uang saku bulanan. Karena tak tega, orang tua segera membuat perusahaan. Sang anak pun duduk jadi direktur, bahkan langsung melonjak jadi presiden direktur.

Dari segi jenjang pendidikan dan jabatan, perjalanan anak kaya begitu linear. Dari satu sukses, menuju ke tangga sukses yang lebih atas. Tetapi dari segi kejiwaan, apa yang terjadi sesungguhnya. Dari segi halal, bisa dipastikan karena orang tuanya merupakan saudagar kaya. Namun dari segi kethayiban, ternyata kehalalannya tak beriring. Perhatikan sejak lahir, tumbuh balita, sekolah hingga bekerja, sang anak tak pernah terlatih jatuh. Segala sesuatu disiapkan sukses. Padahal dalam setiap kegagalan, ada hikmah yang harus dipelajari. Tiap kegagalan pasti menyakitkan. Yang sukses, pasti berkali-kali jatuh dan harus menyiasati diri agar bisa bangun lagi.

Anak kaya yang terpenuhi segala kebutuhannya, juga tak merasakan betapa sulitnya naik kendaraan umum. Dia tak pernah hirup bau keringat yang bercampur aduk dalam bus. Tak tahu aroma rambut yang dicuci tanpa shampo. Juga tak bisa membedakan mana pakaian bau karena dipakai beberapa hari. Hidungnya tak terlatih mengendusi pakaian kering yang tidak tersengat mentari. Dia sulit membayangkan bisa berdesak-desakan di bus. Tak pernah dia menyiasati diri bagaimana masuk kantor dengan sepatu kotor terinjak, atau coba mengatasi bajunya yang kusut. Juga tak pernah harus berlari-lari menghindari genangan air becek atau hujan yang mengguyur. Dan pernahkah merasakan betapa sakitnya dompetnya dicuri? Padahal kekayaannya tinggal beberapa lembar ribuan saja di dompet itu. Bus, pasar dan kehidupan rakyat jelata, itulah sesungguhnya sebuah hidup.

Artinya apa? Artinya, anak-anak kaya itu merupakan kelompok ekslusif. Anak-anak yang tak pernah sulit ini, sesungguhnya belum jadi bagian utuh dari masyarakat. Mereka belum pernah hidup menderita seperti rakyat banyak. Mereka hidup dengan segala proteksi dan kemudahan. Kegagalan yang mereka alami, dengan segera dicari solusi oleh lingkungannya. Baik oleh orang tuanya, oleh pembantu, oleh supir dan oleh siapapun yang punya kepentingan. Seolah-olah persoalan begitu mudah selesai, dan mereka taken for granted saja. Maka apa yang terjadi jika orang-orang yang hidupnya serba cukup ini, jadi pimpinan kelak? Kebijakan macam apa yang bakal lahir dari orang yang tak pernah susah, serta tak pernah melihat kondisi riel nyata suatu kesulitan.

Coba simak kenaikan BBM pada 1 Maret 2005. Sebelum kenaikan itu, Menko Ekuin mengatakan: ”Rakyat tidak akan terpengaruh, karena harga BBM naik cuma 20%.” Bagaimana mungkin Menko Ekuin bicara begitu ringan. “Jika rakyat tak bisa beli Elpiji, ya tak usah beli Elpiji”. Begitu komentar pejabat setelah kenaikan BBM. Kenapa statemen seperti itu bisa terjadi? Barangkali pejabat kita tak tak pernah jadi rakyat sesungguhnya. Maka kebijakan yang dia ambil sebagai menteri, tentu dilatari perjalanan kemudahan hidupnya. Jika kebijakan itu menyulitkan rakyat banyak, apa boleh buat karena memang pejabat tersebut agaknya tak penah hidup sulit seperti rakyat kebanyakan.

Secara materi, para menteri dan pejabat yang lain, amat berlebih. Mustahil saat ini mereka masuk dalam daftar orang yang miskin harta. Tetapi kebijakan dan komentar itu, jadi cermin miskinnya jiwa. Ilmu yang mereka peroleh boleh tinggi. Tapi ilmu itu juga tak sontak melambungkan kekayaan jiwa dan moral. Mereka pun boleh punya jabatan dan kedudukan yang tinggi. Tapi itupun tak jadi jaminan jiwa dan moral mereka juga tinggi. Yang perlu dicermati, bedakan antara lahiriah dengan batiniah. Jika penampilan lahiriahnya harum dan mentereng, belum tentu jiwa dan moralnya juga mulya. Bila batin yang tak tampak itu baik, mustahil penampilan phisiknya mewah, mahal dan mentereng.

Miskin harta, jiwa dan ilmu memang saling mempengaruhi. Namun dari ketiga kemiskinan itu, mana yang terringan dan paling membahayakan? Tak punya uang, tak sekolah. Berarti pengaruhnya memiskinkan ilmu. Miskin ilmu berpengaruh pada karena tak tersadarkan. Di saat Ramadhan, kuli penggali jalan tak puasa karena harus kerja. Tak kerja tak dapat uang untuk makan. Sebaliknya pemilik perusahaan menunda-nunda shalat karena ordernya puluhan atau ratusan juta. Dzuhur terliwat, Ashar pun tersendat. Magrib tak terdengar, Isya pun sudah kelelahan. Kuli bangunan tak bisa puasa dan shalat karena cari isi perut. Sedang pemilik perusahaan, melalaikan shalat karena tiap detik uang mengalir. Jadi kuli yang miskin dan boss perusahaan, sama-sama melalaikan kewajiban mereka.

Ali bin Abi Thalib ra:

Kefakiran lebih dekat pada kekufuran

Kuli yang miskin, sungguh-sungguh jadi fakir karena tak punya apa-apa. Karena harus kerja untuk isi perut, ibadah pun terbengkalai. Tak pernah mengerjakan shalat dan ibadah lainnya, akhirnya bisa jadi kafir. Sedang pemilik perusahaan, mengabaikan shalat karena takut hilang omset miliaran. Urusan bisnis mengalahkan seluruh kewajibannya. Karena tak lagi shalat, si kaya pun akhirnya bisa jadi kafir. Si kuli yang miskin, jadi kafir karena cari sesuap nasi. Pemilik perusahaan yang kaya, jadi kafir karena omsetnya yang miliaran.

Kemiskinan yang paling ringan, seharusnya miskin harta. Mengatasi orang lapar lebih mudah. Obat lapar adalah makan. Setelah kenyang, jiwa lebih mudah dibentuk. Sedang kemiskinan terberat adalah miskin jiwa. Apa obat jiwa? Di tangan orang yang rusak jiwanya, ilmu akan makin berbahaya. Di hati orang yang tamak, ilmu akan dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri. Tak peduli apakah tindakannya merusak tatanan masyarakat. Orang yang tak pernah merasakan dan berempati pada masyarakat banyak, akan punya kebijakan yang menyulitkan kehidupan rakyat banyak. Di tangan para pejabat ini, berbagai kebijakan akan merusak keutuhan negara. Berbagai asset negara dijual. Sumber daya alam diserahkan pada asing untuk dieksplorasi dengan bagi hasil yang tak pernah transparan. Seorang kuli bangunan yang lapar, tak akan sanggup menjual rumah dan isinya. Tapi seorang pejabat yang miskin jiwa, sanggup dan terbukti telah menjual negara.

Dan bila dikatakan kepada mereka:

“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”

(Al Quran surah 2 Al Baqarah –Sapi Betina— ayat 11)

--o0o--