Sampah

⊆ 17.12 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Tanggal 28 April 05, Republika memuat foto tentang monumen sampah. Monumen ini berbentuk tugu. Dibuat dari sampah kertas, plastik, botol dan kaleng yang beratnya 2.8 ton. Tugu Sampah yang tingginya 15 meter dengan diameter 32.4 meter ini, dibangun di kampus Universitas Negeri Semarang. Pemuatan foto ini memang sensitif, pasti ada motif di belakangnya. Coba bayangkan, membuat tugu dari sampah dan ditempatkan di sebuah kampus. Ini saja sudah membuat orang bertanya-tanya. Sementara belakangan, soal sampah memang tengah hangat. Lantas dengan dimuatnya di Republika, sempurnalah keinginan pembuat Tugu Sampah.

Entah mana yang lebih nakal, pembuat Tugu Sampah atau wartawannya. Ada pesan yang memang berupaya disuguhkan, bahwa satu soal besar yang menghadang bangsa ini adalah SAMPAH. Jakarta punya sampah, Bantar Gebang Bekasi yang meradang. Entah soal Bantar sudah selesai atau belum, di belahan lain warga Cibinong Bogor ramai-ramai menolak sampah Jakarta. Bagai dalam kisah asmara cinta ditolak dukun bertindak, eksportir sampah pun tak kalah gertak. Sampah ditolak, prokem pun bertindak. Belum lagi kasus ini usai, tiba-tiba masyarakat dikejutkan adanya longsoran sampah di Cimahi Bandung. Tak tanggung-tanggung longsoran sampah pun memakan korban.

Sesuai dengan jati diri sampah, berita sampah tentu gombal. Tapi soal sampah di Indonesia, kini bukan lagi gombal. Berlarutnya penanganan sampah, pelengkap cermin perilaku sikap hidup. Indonesia memang kaya berita besar yang sensasional, dramatis, memilukan dan sering amat naif. Di belahan dunia manapun longsoran tak bisa lepas dari gejala alam. Namun Indonesia memang selalu membuat orang-orang di luar negeri geleng-geleng kepala. Berbagai asset BUMN dijual ke asing, serta sumber daya alam pun diobral untuk dieksplorasi asing. Kini PIM (Pupuk Iskandar Muda) pun tak kebagian pasokan gas hingga terancam bubar. Di kelapa sawit yang sekian juta ha, kita cuma ekspor CPO (crude palm oil). Tak ada nilai lebih. Di industri mobil yang begitu besar pasarnya, kita juga hanya jadi tukang. Sekian puluh tahun membangun industri mobil, tak satupun ada yang bermerk made in Indonesia. Lantas balik ke soal sampah, timbunan sampah hingga longsor cuma ada di Indonesia. Makan korban jiwa lagi.

Karakter Bangsa

Sampah merupakan sesuatu yang tak lagi terpakai, atau memang tak lagi mau dipakai. Sampah beragam jenisnya. Kebanyakan sampah dimahfumi sebagai sesuatu yang berwujud nyata, bisa disentuh dan dilihat phisiknya. Yang tak banyak dipahami orang, ada pula sampah yang tak berwujud. Seperti pikiran yang tak punya nilai apa-apa tentu jadi sampah pikiran. Sebagian masyarakat yang terlibat dalam tindak kriminal, jaringan pengedar narkotik dan pelacuran, juga merupakan contoh-contoh sampah masyarakat. Sampah yang berwujud phisik, onggokannya ada yang bersih, kotor dan bahkan ada juga sampah yang berbahaya. Setiap hari manusia menghasilkan sampah. Binatang pun demikian, termasuk tetumbuhan dan pohon yang semuanya menghasilkan sampah. Berarti hitungannya bukan lagi harian tetapi sudah per detik.

Saat masih sedikit, sampah dapat segera ditangani. Sebatang puntung rokok misalnya, sesobek kertas atau sehelai tissue, dengan mudah dibuang ke keranjang sampah. Tetapi saat sampah sudah di keranjang plastik, persoalan pun muncul. Bagi warga yang hidup di tempat kumuh, plastik berisi sampah dibuang sekenanya. Jika di sekitar rumah ada kali atau selokan, pasti dipenuhi sampah-sampah plastik. Jika di situ terdapat lahan kosong, tanpa dikomandoi warga beramai-ramai menjadikan itu tempat pembuangan sampah. Jika tak ada got dan lahan kosong tak ada, tetangga yang punya halaman jadi sasaran. Tiap pagi penghuni rumah harus membersihkan karena selalu saja ada plastik sampah yang dibuang ke halamannya. Cara mudah membuang sampah, warga sekenanya meletakkan di jalan, di kelokan, di sudut jalan atau di persilangan jalan.

Di perumahan-perumahan tabiat penanganan sampah berbeda. Di lingkungan ini penanganan sampah sudah lebih tertata. Truk-truk atau gerobak sampah datang membongkar sampah yang ditempatkan di bak penampung di sudut depan rumah. Yang tidak punya bak penampungan, sampah-sampah diplastiki digantung di pagar atau di pohon di depan rumah. Tujuannya baik agar tak diacak-acak binatang. Namun dari segi pemandangan tentu jadi tak sedap. Apalagi jika sampah itu sudah berhari-hari tak diangkat. Lalat berterbangan dan air limbahnya menetes-netes menimbulkan aroma yang juga tak sedap.

Di daerah perkotaan, sampah yang berupa kotoran, segera ditampung di septic tank. Tetapi sebagian tradisi masyarakat kita, terutama yang masih tinggal di kampung, tidak mengenal WC. Jika di kampung ada sungai, di situlah mereka buang hajatnya. Karena sebagian masyarakat kita juga tak kenal sumur, maka mereka pun mencuci dan membersihkan diri di kali itu. Jika pemerintah gali lubang tutup lubang cari utangan buat bangun negara, masyarakat desa yang tak kenal WC gali lubang tutup lubang untuk buang hajat di kebun-kebun, di semak belukar atau di lahan kosong. Pokoknya asal tidak di rumah, di manapun jadilah.

Sampah merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh pemiliknya. Maka begitu sampah diangkat, yang empunya terbebas dari beban. Tiga hari atau bahkan seminggu sampah tak diambil tukang sampah, seisi rumah pasti gempa bumi. Setelah diambil kita tak mau tahu kemana sampah itu dibuang. Entah dibuang ke sungai, digeletakkan di lahan kosong pemukiman rakyat atau di kampung-kampung. Bayangkan apa yang terjadi jika tempat penampungan sampah ada di sebelah istana negara, atau di pemukiman para pejabat atau di Menteng Jakarta Pusat. Jika presiden dan pejabat berkebaratan, mengapa sampah di tempatkan di kampung-kampung? Apakah warga yang kampungnya jadi tempat pembuangan sampah lantas ikhlas?

Dalam penanganan sampah begini, yang kerepotan adalah para tukang sampah. Pertama mereka mau mengangkut sampah, karena memang tak ada lagi job yang bisa mereka kerjakan. Kedua dari sisi penghasilan, tukang sampah menerima hanya untuk bertahan hidup. Karena sampah, ibu-ibu rumah tangga berkeberatan harus membayar lebih. Namanya juga sampah, untuk apa bayar mahal. Padahal yang ketiga, tukang sampah inilah yang harus membayar upeti kepada centeng-centeng yang menguasai lahan pembuangan sampah. Keempat para tukang sampah, apa boleh buat harus mau berbau-bau bekerja menyelesaikan sampah masyarakat. Padahal ada bau sampah satu plastik saja, di rumah manapun pasti sudah geger. Kelima jasa tukang sampah memang amat besar. Sebab merekalah yang mengurusi barang menjijikan yang tak mau diurus pemiliknya.

Soal sampah memang jadi cermin. Sebuah karakter tengah dipertontonkan. Intinya kita tidak paham bagaimana sesungguhnya menangani sampah. Dari yang kecil kita bisa lihat. Di ruang ber-AC, sebagian masyarakat masih saja tetap merokok. Mereka tak mau tahun polusi sampahnya mengganggu orang lain. Puntung atau bungkus permen pun masih kerap dibuang seenaknya. Sampah-sampah di rumah harus keluar. Penghuni rumah tak mau tahu dimana sampah dibuang. Termasuk warga yang tinggal di pemukiman elit, juga tak perduli jika truk dan gerobak sampah memuntahkan isinya ke sungai, ke lapangan kosong, atau di manapun asal tidak di sekitar rumahnya. Maka hampir di mana-mana, selalu berserak yang namanya sampah. Malah di tempat-tempat penampungan, sampah selalu menggunung tumpah ruah. Cara penanganan sampah Jakarta, sedikit banyak ditiru kota lain. Cara di kota ini berimbas juga ke daerah yang lain. Karena tak tertangani secara serius dan baik, sampah dari yang kecil menjadi-jadi volumenya. Karena semua orang Indonesia memproduksi sampah, bukankah ini sampah bangsa namanya. Dari yang sederhana, akhirnya jadi kompleks dan strategis.

Beda Sampah Orang Miskin & Orang Kaya

Semua orang memproduksi sampah. Dari produksi ini, kita dapat mengklasifikasi sampah sesuai kualitasnya. Ada sampah yang sama sekali tak bisa terpakai, kecuali untuk pupuk. Ada yang masih dimanfaatkan, yang nilainya tergantung kepandaian mengurai mana yang masih bisa digunakan. Ada juga sampah yang memang mutlak bisa digunakan seperti saat barang itu diluncurkan pertama kali. Dari klasifikasi fungsi sampah tersebut, ternyata hasilnya bisa menjelaskan status sosial masyarakat. Dari sampah ini, kita dapat bedakan mana sampah orang miskin, mana sampah kelas menangah dan mana sampah orang-orang kaya.

Dari sekian perbedaan, intinya terletak pada sejauh mana sampah itu masih bisa didaur ulang dan digunakan. Maka sampah orang miskin, ternyata sama sekali tak lagi bisa dikonsumsi oleh orang lain. Sampah kelas menengah, relatif masih bisa didaur ulang dimanfaatkan pihak lain. Sedang sampah orang-orang kaya, barangnya cenderung mutlak bisa digunakan tanpa perlu diurai atau didaur ulang. Dalam membuang barang, orang kaya tak perlu menunggu sesuatu barang menjadi rusak. Bahkan dalam mengganti barang, alasan orang kaya bisa amat sederhana. Karena ada model baru yang lebih menarik, misalnya, barang pun diganti. Ada yang mengganti barang, karena ternyata ada orang lain yang pakai. Atau barang masih bagus sudah disisihkan karena alasannya sudah tak suka saja.

Toko-toko penjual HP, banyak menampung beragam jenis HP bekas. Berbagai show room mobil, juga banyak dijejali mobil-mobil bekas. Bahkan di Jakarta ini ada outlet Barbeku (barang bekas berkualitas), yang menampung berbagai barang second hand. Artinya barang yang sudah tidak mau dipakai, bagi pemilik sesungguhnya merupakan sampah. Namun karena masih punya nilai jual, secara ekonomis barang-barang itu pun dijual. Uang yang mereka terima, mungkin hanya dipakai untuk tambah-tambahan atau habis di rumah-rumah makan. Bedakan dengan para penjualnya, yang memang berdagang dengan tak mengindahkan apakah baru atau bekas. Yang penting nilai jualnya baik, berarti masih ada orang yang siap membeli.

Pakaian orang miskin, maaf aroma alami dari bau tubuhnya tentu beragam. Jika dibuang, siapa yang mau mengenakannya. Sekali lagi maafkan, mereka saja sudah enggan memakai, apakah masih tersisa orang lain yang mau mengenakannya? Berarti kondisi pakaian itu mungkin memang sudah hancur-hancuran. Bedakan dengan baju orang kaya. Kondisi pakaian orang kaya, dijamin masih layak pakai. Merk baju-bajunya bukan hanya menandakan selera dan kelasnya, melainkan juga kualitas kekuatannya terjamin baik. Lantas aroma wewangiannya, tentu masih melekat karena setiap dipakai disemprot minyak wangi. Bahkan kelompok artis, banyak yang memakai pakaian yang hanya dipakai satu kali saja saat manggung. Setelah itu dijual atau dilungsurkan kepada orang lain. Dan juga pasti ada orang kaya yang begitu tahu salah membeli, barang itu tak akan digunakan sekalipun. Maka beruntunglah orang-orang sekitarnya yang akan mendapat berbagai lungsuran barang.

Tradisi Orang Kalah

Daur ulang sampah memang amat tergantung kondisi sampah. Mendaur ulang sampah dan menggunakannya, dalam kondisi darurat tidaklah mengapa. Tetapi jika daur ulang itu sudah jadi kebiasaan, masalahnya jadi lain. Hidup dengan selalu mendaur ulang sampah adalah persoalan serius. Itu mencerminkan sebuah jati diri. Bahwa daur ulang tak lepas dari kreativitas dan inovasi, tidaklah dapat dibantah. Tetapi mendaur ulang sampah, sejatinya merupakan kreativitas masyarakat kalah.

Bicara masyarakat yang kalah definisinya beragam. Sebagai masyarakat yang kalah, predikat apapun yang diberikan tak bisa ditolak. Ditilik stratanya, masyarakat kalah adalah mereka yang fakir miskin. Mengapa jadi fakir dan miskin, jawabnya tentu bisa meluas. Ada faktor internal dan eksternal, sebagai dua hal yang saling mengait. Yang pasti mereka gagal memanfaatkan peluang dengan kekuatan yang dimilikinya. Karena gagal kini mereka lemah dalam segala hal. Atau karena lemah mereka jadi gagal total. Apapun penyebabnya, hidup mereka akhirnya tergantung pihak lain, tergantung kebaikan hati orang kaya dan amat tergantung kebijakan penguasa.

Gagal memanfaatkan peluang, artinya tak bisa melihat potensi sumber daya. Baik dalam memanfaatkan sumber daya alam, maupun mencermati lingkungan sosial yang menawarkan banyak peluang usaha. Jikapun punya sumber daya, ternyata sumber daya itu diberikan pada pihak lain. Maka jika mereka punya lahan sawah dan kebun, berapa banyak petani yang jatuh dalam perangkap ijon dan tengkulak. Jika mereka punya lahan begitu luas, mengapa kini terpetak-petak dan sebagian besar telah berubah kepemilikan. Jika mereka datang ke pasar membawa dagangan, mengapa uang yang dibawa pulang tak bisa menjajikan masa depan. Dalam hal ini memang ada faktor eksternal di luar jangkauan nalar kalangan rakyat jelata.

Tak bisa mengelola sumber daya, bukankah ini juga yang terjadi di pemerintahan. Di luar negeri, jarang sekali ada negara yang memiliki minyak dan gas sekaligus. Rata-rata jika punya minyak, mereka tak punya gas. Jika punya gas, berarti tak ada minyak. Hanya Indonesia, sedikit negara yang punya sekaligus minyak dan gas. Bahkan dalam hal minyak, Indonesia punya tiga jenis minyak. Di bawah tanah ada minyak bumi, di atas tanah ada minyak sawit dan minyak kelapa. Namun sederas-derasnya minyak itu didulang, tak juga bisa mensejahterakan rakyat. Malah berapa banyak rakyat di sekitar daerah pengolahan minyak bumi, hanya jadi penonton kemewahan orang-orang asing dan pekerja lain yang hilir mudik di situ.

Antara rakyat dan pemerintah, ternyata sama-sama tak bisa mengelola sumber daya. Rakyat jadi makin miskin karena menjuali apa yang dimiliki. Pemerintah juga tak bisa apa-apa saat Exxon tak mau menjual gas pada PIM di Lhokseumawe Aceh. Bedanya kemiskinan rakyat terlihat kasat mata, sedang pejabat pemerintah tak tampak miskinnya karena masih punya fasilitas. Rakyat tak lagi menyisakan harta buat anak-anak mereka, sedang pemerintah telah mewariskan generasi mendatang dengan utang, yang di tahun 2005 ini mencapai Rp 1.600 triliun. Rakyat memang bodoh hingga jadi miskin, sementara bukankah banyak orang pintar di pemerintahan. Karena bodoh rakyat tak mungkin menjual keluarga. Namun apa mungkin karena banyak orang pintar maka negara pun bisa dijual.

Rakyat miskin memang akhirnya hidup dari mengkreasi sampah. Tetapi mengapa kreasi dari sampah ini dituruti kalangan yang mampu. Pakaian bekas dari Taiwan dan Korsel membanjiri Indonesia. Lalu ban-ban bekas menyusul. Jok bekas, mesin bekas hingga mobil bekas pun banjir di Indonesia. Malah perusahaan air mineral raksasa di Indonesia, juga menggunakan truk-truk bekas. Ciri truk bekas luar negeri itu, panjangnya melebihi panjang truk lokal. Body belakang terbuat dari alumunium. Sedang tulisan berhuruf Cina Mandarin masih tegas terbaca. Aneh, ironis, menarik dan bingung campur aduk di benak kepala menyaksikan truk-truk ini. Pemerintah DKI membeli truk baru untuk mengangkut sampah. Sedang berbagai perusahaan membeli truk-truk bekas untuk mengangkut dagangannya. Rakyat miskin menggali pasir di sungai, untuk menyambung hidup. Sedang beberapa perusahaan besar berbisnis pasir ke Singapura. Para penggali pasir di sungai tak pernah terpikir menjual sungai, sedang perusahaan penggali pasir telah menenggelamkan beberapa pulau.

Dari uraian di atas, rakyat dan pejabat ternyata punya kemampuan serupa, yakni tak bisa mengelola sumber daya. Tak mampu mengelola sumber daya adalah ciri orang yang kalah. Tak mampu dan kalah, bukankah sesuatu yang tercampakkan. Sesuatu yang tercampakkan, bukankah itu sampah. Maka astagfirullah berlebihankan jika bangsa kita dikatakan BANGSA SAMPAH. Kenapa? Karena kita tak cakap mengelola anugerah Allah swt. Sumber daya dieksplorasi asing. Pasir digali untuk menambah pantai di Singapura. BUMN dijual. Hutan ditebasi yang kayunya diekspor legal atau tidak dalam bentuk gelondongan. Karena tak mampu mengelola sumber daya seperti itu, bukankah tindakan kita yang katanya membangun, jelas-jelas memiskinkan bangsa. Berpuluh-puluh tahun punya industri mobil, tapi tak juga ada made in Indonesia.

Sejarah Indonesia memang penuh air mata. Tapi kita tak perlu mengusap air mata sejarah. Biarkan itu berlalu, asal kita sungguh-sungguh mau berbenah. Namun masih adakah orang-orang yang memang terpanggil, melihat ibu pertiwi semakin hancur dan tenggelam. Dua ratus juta orang yang mengaku bangsa Indonesia. Tidakkah ada sekelompok orang yang tergugah untuk menyelamatkan bangsa. Wah... kata-kata ini amat heroik, yang pasti akan ditertawakan oleh BANGSA SAMPAH.

Mei 2005


0 Responses to Sampah

= Leave a Reply