Sedekah, Ibadah Yang Hidup

⊆ 17.11 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Di tulisan yang lalu, sedekah jadi terhina karena praktek sedekah di masyarakat bawah. Di sepanjang pantura (pantai Utara) Jawa, peminta sedekah sudah bukan lagi hanya mengganggu, melainkan sungguh-sungguh menyulitkan pengguna jalan. Bukan lagi berbahaya bagi pengguna jalan, melainkan juga telah memacetkan jalan. Jalur yang dibangun dua lajur, dihadang ban-ban bekas dan pancangan bambu hingga menyempit tinggal satu lajur. Herannya polisi tak perduli, seolah tak punya wewenang dan tanggung jawab. Padahal membenahi persoalan hadangan sedekah begini bukan perkara sulit. Dengan persuasif, para peminta sedekah dapat diarahkan untuk berdiri di tepi jalan. Tidak perlu harus berjajar di tengah jalan, lebih-lebih mempersempit jalan dengan cara-caranya sendiri. Perlu diingat jalan pantura bukan ruas jalan kecamatan ataupun jalan alternatif. Ini jalur utama yang setiap hari ribuan beragam kendaraan hilir mudik.

Jika hanya dijumpai satu dua penghadangan sedekah, pengguna jalan masih dapat memaklumi. Namun jika jumlahnya sudah puluhan bahkan tak lagi bisa dihitung, siapa bisa jamin bahwa cara begitu menimbulkan rasa tak simpati. Awalnya jengkel pada praktek yang menghadang lajunya kendaraan. Lama kelamaan kejengkelan itu akhirnya berubah jadi gugatan. Apakah Islam memang menganjurkan cara-cara seperti itu? Maka alih-alih merogoh kocek, pengguna jalan malah kerap menjadikan itu sebagai bahan olok-olok. Dan yang harus paling diingat tak semua pengguna jalan beragama Islam. Itu jelas. Bila yang muslim saja tak simpatik, bagaimana komentar pengguna jalan yang non muslim. Menteri Agama RI di jaman Megawati Soekarnoputri pernah menyatakan sikapnya untuk membenahi persoalan ini. Namun sayang hingga kabinet Mega selesai, persoalan tersebut tak pernah terangkat.

Di samping praktek yang merusak kemulyaan sedekah itu, dakwah tentang sedekah dari para ustadz amatlah minim. Di masa sekarang, berbagai masjid, mushola, surau dan tempat-tempat pengajian tak sulit menghadirkan ustadz. Tetapi dari sejumlah majelis pengajian itu, berapa banyak ustadz yang berdakwah tentang sedekah. Dari sejumlah yang berdakwah sedekah, berapa banyak yang kualitasnya sama baik seperti berdakwah dengan materi yang lain. Maka dari persoalan dakwah sedekah ini, ada dua pertanyaan yang mengemuka. Pertama mengapa dakwah tentang sedekah amat minim. Dan kedua mengapa harus disoal kualitas dakwah sedekah.

Perbedaan Dimensi

Memang ada perbedaan mendasar antara dakwah sedekah dibanding dakwah shalat atau puasa misalnya. Ibadah shalat atau puasa merupakan ibadah mahdah, yang tata aturannya sudah baku. Dimensinya hanya antara manusia dengan Allah swt, yang tata aturannya seperti dalam shalat merupakan tata ritual. Sebagai aturan yang sudah baku, secara tegas dikatakan tak lagi boleh ada aturan baru baik ditambah atau dikurangi. Siapa yang melanggar tata baku, bidah namanya. Shalat dan puasa tak perlu dibanding-bandingkan antara satu daerah dengan daerah lainnya, apalagi harus mengadakan studi banding. Sama sekali tak ada manfaatnya. Namun mempelajari dan membanding-bandingkan masih dibolehkan, asal niatnya untuk ketaqwaan. Untuk meyakini apakah shalat yang kita lakukan benar sesuai sunah Rasulullah saw. Bukan untuk mengklain bahwa shalat kita lebih baik dan lebih khusyu.

Sedekah merupakan ibadah maliyyah ijtimaiyyah, ibadah berdimensi ganda: hablumminallah & hablumminannas. Dalam hubungan dengan Allah, sedekah jadi bukti ketaqwaan. Sedang dalam dimensi sosial, sedekah merupakan ibadah yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam shalat, ketaqwaan harus dibuktikan dengan tingkat kekhusyuaan seseorang. Sedang dalam sedekah, ketaqwaannya harus dibuktikan dengan semakin baiknya praktek yang dilakukan. Tetapi ingat persoalan aktualisasi adalah masalah kompleks, kait mengait serta terjalin dalam proses kausalitas sebab akibat. Sedekah yang melibatkan seluruh pihak, bukanlah persoalan sederhana.

Shalat dilakukan oleh, dari dan untuk yang bersangkutan. Sementara sedekah dari muzaki, oleh amil dan untuk mustahik. Gangguan shalat --terutama dapat dirasakan saat Tahajud-- hanya terpulang pada diri sendiri. Sementara sedekah bisa dirusak oleh siapapun. Muzaki yang memang gemar bersedekah, tentu beda dengan orang kaya yang terpaksa mengeluarkan zakat. Yang gemar sedekah, tak lagi melihat zakat sebatas wajib. Keikhlasannya karena Allah swt, akan menempatkan penilaiannya bahwa zakat adalah sebagian kecil dari bentuk sedekah yang harus dikeluarkan. Sedang bagi orang kaya yang terpaksa berzakat, cenderung menempatkan zakat sebagai sesuatu yang amat besar. Jika tak diwajibkan, mustahil orang kaya seperti ini akan menunaikan zakat.

Yang gemar bersedekah dan terpaksa, pada akhirnya akan mempengaruhi praktek sedekah. Yang gemar bersedekah, akan mendorong praktek sedekah jadi maksimal. Jika yang gemar ini menyalurkan sedekah, kata-katanya yang terucap atau harapannya dalam doa, akan terasa dalam dan nikmat bagi mustahik ataupun amil sebagai pengelola zakat. Bahkan orang lain yang mendengar pun akan jadi tergugah dan terangsang untuk mengikuti sikapnya. Kata-kata dan doa harapan itu, akan membangkitkan semangat untuk mengekpslorasi sedekah jadi berkembang sebaik-baiknya. Dalam benak penerima, ini merupakan amanah yang harus dijaga. Semangat menjaga amanah, pada akhirnya akan membuncah jadi etos yang akan mempengaruhi keberhasilan sedekah. Mustahik akan memompa diri, sedang amil pun akan bekerja lebih giat menghubungkan antara muzaki dan mustahik.

Sebaliknya yang terpaksa berzakat, kata-katanya cenderung pedas serta mengandung tekanan mengancam. Bagi mustahik atau amil, kata-kata itu bagai sembilu. Orang lain yang mendengar pun terbirit-birit menghindar. Orang miskin yang menerima, terpaksa juga menerima sedekah meski diringi kata pedas dari muzaki karena memang barangkali memang ia yang meminta. Namun sedekah dengan umpatan, cenderung jauh dari berkah. Uang itu akan digunakan oleh orang miskin sekadarnya saja. Tak ada dorongan untuk mengembangkan karena memang tak dikondisikan demikian. Sedang bagi amil, sedekah yang diberikan dengan kata-kata ancaman, secara psikologis akan menjauhkan dirinya dengan muzaki itu. Jika amilnya kuat, muzaki demikian jadi ladang ibadah. Namun bagi amil yang tak kuat mental, perjumpaan itu bisa jadi merupakan yang terakhir.

Soal sederhana di atas, jadi bukti bahwa praktek sedekah terpengaruh oleh sikap muzaki, amil dan mustahik. Jangan lupa masih ada pihak lain yang juga mempengaruhi praktek sedekah, yakni masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Bahkan ketiga pihak yang terakhir ini punya peran amat kuat. Pemerintah yang kebijakannya tak memihak rakyat, secara otomatis akan memproduksi kemiskinan. Dalam pemerintahan ini, sedekah kehilangan jati dirinya. Sedekah jadi bias, hanya diartikan secara materi saja. Yang jika terhimpun pun relatif kecil. Saat diberikan untuk masyarakat miskin, sedekah hanya teronggok sebagai kegiatan sosial. Kebijakan yang tak memihak, itu juga cermin pemerintah amat berkepentingan dengan para pengusaha. Adanya kerja sama ini, punya dampak yang dahsyat bagi masyarakat. Dengan kebijakan tak memihak, pemerintah dan dunia bisnis merupakan dua kekuatan yang menghancurkan kehidupan rakyat banyak. Sebagai contoh dengan dalih pembangunan, rakyat harus mau menerima ganti rugi penggusuran tanah dan rumah yang ditetapkan sepihak. Cara-cara seperti inilah jadi proses produksi kemiskinan.

Sementara masyarakat yang diam, jadi penyempurna remuknya praktek sedekah. Diamnya masyarakat bisa diakibatkan beberapa faktor. Kebijakan tak memihak itu, juga cermin terjadinya pembungkaman masyarakat secara luas. Segala masukan dan kritisi dianggap mengganggu jalannya pembangunan. Tindakan pemerintah jadi represif. Kekuatan masyarakat pun akhirnya lumpuh. Tampaknya saja masyarakat masih utuh, berdiri di atas kumpulan dokter, manajer, bankir, pengacara dan sejumlah profesi lainnya. Namun sebenarnya mereka semua tak lagi punya kekuatan. Kelompok yang masih punya idealis, hanya tersisa dalam gerakan underground. Meski seperti di Indonesia kini pemerintah tak lagi represif, yang idealis seolah kehilangan momentum. Tak lagi jelas mana kawan yang ingin memperjuangkan hak-hak.

Masyarakat yang tak punya idealis jumlahnya jelas lebih besar. Mereka tak ngeh bahwa ada realitas kehidupan yang ambruk. Mereka amat tak paham bahwa kehidupan kalangan miskin sangatlah sulit. Alih-alih mereka peduli, mereka merasa penanggulangan kemiskinan bukanlah bagian tanggung jawab masyarakat. Kebanyakan dari mereka yang bersedekah, juga hanya tahu bahwa sedekah hanyalah zakat fitrah. Masih ada yang tak mau percaya bahwa ada wajib zakat harta 2.5%. Ciri masyarakat yang tak ngeh ini tampak dari keasyikan untuk diskusi tentang ketransparanan, percaya tidaknya pada lembaga zakat serta bagaimana praktek pengelolaan ekonomi produktif. Sementara diskusi telah berjalan berbulan bahkan bertahun-tahun, namun sedekah mereka tetap kecil saja. Jika sedekah zakat itu diminta dipotong di perusahaan, mereka katakan telah dikirim pada sanak saudara di kampung yang lebih membutuhkan. Sementara kemiskinan di kampung terus makin menjadi-jadi.

Ibadah Yang Dibandingkan

Itulah sedekah yang memang bukan ibadah ritual. Uraian di atas, hanya sekadar contoh. Ada kehidupan yang amat kompleks. Tak bisa saling menyalahkan atau melihat satu soal dari satu sisi saja. Esensi sedekah utuh merasuk pada kehidupan manusia. Dimensinya meluas merambahi kehidupan sosial, ekonomi, politik, kultur, ideologi dan struktur masyarakat. Rambahan dimensi yang luas ini, mencerminkan bahwa sesungguhnya sedekah bukanlah persoalan individual. Sedekah adalah persoalan masyarakat, menyangkut hidup matinya pihak lain. Maka harus ada kekuatan yang bisa menggerakkan sedekah. Jika sebuah keluarga memutuskan untuk mengatasi satu anak yatim, artinya sebuah kehidupan diselamatkan. Jika sebuah perusahaan memutuskan mengatasi satu usaha mikro, artinya sejumlah kehidupan diselamatkan. Jika negara memutuskan kebijakan yang memihak, artinya kehidupan masyarakat banyak terselamatkan. Satu anak yatim atau sejumlah kehidupan di masyarakat, sama-sama mengandalkan adanya sebuah kekuatan.

Ibadah sedekah memang kompleks. Dengan kompleksitas tersebut, sedekah merupakan ibadah yang harus dipelajari dan dibanding-bandingkan. Baik dibandingkan dengan pengelolaan sedekah di masa lalu, maupun penerapannya di negara-negara lain. Tiap zaman berbeda tuntutannya. Tiap daerah dan negara juga berbeda situasi dan kondisinya. Tetapi perbedaan tersebut tentu hanya sebatas zahir bentuknya saja. Esensi substansinya sama, bahwa sedekah adalah perkara keberpihakan. Cara Umar bin Khatab ra berbeda menangani fakir miskin dengan strategi Umar bin Abdul Azis. Lihat, Umar bin Khatab memang lebih banyak menghimpun sedekah. Namun dalam waktu satu setengah tahun, Umar bin bin Abdul Azis yang hanya seperempat mengumpulkan sedekah, ternyata mampu membasmi kemiskinan rakyatnya. Artinya ada kesadaran dan ada kekuatan dalam merumus dan menerapkan kebijakan agar negara makmur dan rakyat bisa hidup normal.

Di masa sekarang, Malaysia jadi negara yang piawai dalam memakmurkan rakyat. Bahkan di tahun 2003, dinyatakan penduduk Malaysia yang berpenghasilan di bawah RM 1.200 berhak atas dana zakat. Di Indonesia jumlah itu senilai Rp 3 jutaan. Batas kemiskinan antara Indonesia dan Malaysia boleh berbeda. Tetapi substansinya bukan terletak pada kecil atau besar, melainkan sedekah tetap bicara keberpihakan. Malaysia dan di masa dua Umar, kebijakannya mampu mengkondisikan setiap komponen bangsa untuk sama-sama bertanggung jawab pada kehidupan. Ada kebijakan yang harus berpihak, dan itulah tugas pemerintah. Ada kesadaran kuat untuk tak merugikan pihak lain, itulah tugas para pengusaha. Ada kesadaran untuk memberi rasa kasih, itulah peran masyarakat.

Apa yang terjadi dan kiat penanggulangannya di masa Umar dan khulafarasidin lainnya harus dipelajari. Bagaimana Malaysia bisa memakmuran negeri, tentu juga jadi studi menarik. Lebih-lebih konon katanya Malaysia belajar banyak dari Indonesia. Berarti sebelumnya mereka telah mempelajari juga apa kekurang kita. Negara Mesir yang lebih miskin ketimbang Indonesia, ternyata toh pemerintahnya tetap bisa memberi tanggung jawab sosial kepada rakyat. Harga-harga di sana relatif murah dan stabil. Pemerintah Mesir bahkan membuat secara khusus kementrian wakaf. Dan di Mesir ini berdiri Al Azhar Kairo, sebuah institusi yang hidup dengan wakaf. Telah jutaan orang yang bisa menimba ilmu di Al Azhar Kairo dengan dana wakaf Al Azhar itu.

Bisakah juga kita mempelajari negara yang tidak menangani soal zakat dan wakaf? Jawabnya tentu bisa. Sebab dimensi sedekah itu meluas. Sedekah tak terbatas hanya materi, melainkan substansi sedekah terletak pada niat berbuat baiknya. Niat berbuat baik, akan lahir dalam berbagai bentuk. Membuat kebijakan untuk memakmurkan negeri, jelas merupakan kebijakan yang paling esensial. Karena itu kita bisa belajar cara India menangani kemiskinan. Melalui pendidikan India memecah struktur kasta yang selama ini telah menjebak negerinya. Orang-orang dari kalangan Sudra, kini tak sedikit yang telah hidup makmur di belahan dunia di luar India. Mereka kini jadi asset India untuk membangun negeri. Bukan lagi merupakan kasta terendah yang selama ini dianggap hina dan jadi beban masyarakat.

Dakwah Tertinggi

Sedekah merupakan ibadah yang hidup. Harus dipelajari dari masa ke masa, dari satu daerah ke daerah lain serta dari satu ke berbagai negara lain. Harus dicari benang merah antara srategi, konsep, metode dan kiat memakmurkan negeri. Juga harus cakap untuk melihat mana yang tepat dan mana yang mustahil. Yang juga musti diarifi, tak bisa memaksa-maksa kehendak. Apa yang sukses di sana, belum tentu kiatnya pas dengan kita. Sebaliknya apa yang tidak tepat di sana, barangkali malah justru tepat diterapkan di Indonesia. Tak bisa kita hanya melihat phisik dan kondisinya saat itu saja. Ada faktor lain yang harus ditangkap secara holistik. Dan yang terpenting, ada ruh dan jiwa yang harus disibak. Itulah kunci studi banding. Apakah memang ada sungguh-sungguh keinginan untuk memakmurkan negeri. Jika ada, kebijakan keberpihakan rakyat banyak harus dirumus dan diterapkan tanpa kompromi. Membuat kebijakan untuk rakyat banyak jelas sebuah kebaikan. Inilah dakwah yang harusnya diperankan pemerintah.

Sementara bagi kita, tak cukup berdakwah sedekah hanya dengan normatif saja. Bagaimanapun fiqih jadi landasan untuk menggulirkan sedekah. Sedekah berbedah dengan shalat dan puasa. Maka tak cukup berdakwah sedekah hanya dengan pendekatan fiqih semata. Sedekah adalah ibadah yang hidup. Yang jatuh bangunnya masyarakat tertandai dari kehidupan sedekah ini. Semakin Indonesia miskin, semakin tampak ada yang salah dalam menempatkan sedekah. Maka siapa yang bisa menangkap hubungan ini, berarti telah menemukan esensi sedekah. Korelasi struktur kemiskinan dalam konteks sosial, ekonomi dan politik telah ditangkap jiwanya. Inilah jenjang dakwah tertinggi dalam kehidupan manusia. Ingat tujuan utama sedekah adalah memenuhi hak orang lain. Dengan pemenuhan hak itu, mereka terkondisikan untuk bisa leluasa beribadah. Beribadah untuk menyembah kepada Allah swt, dan kembali kepada-Nya dengan jiwa yang tenang.


Januari 2006


0 Responses to Sedekah, Ibadah Yang Hidup

= Leave a Reply