Perubahan Paradigma & Reintrepretasi Pendayagunaan Zakat

⊆ 16.03 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 1 komentar »

Sebelum awal 1990-an, sebagian besar masyarakat masih melihat zakat infak sedekah (ZIS) sebagai sesuatu yang asing. Bahkan untuk mengkalkulasi potensi ZIS Indonesia sebagai muslim terbesar, banyak orang tak tertarik. Sebabnya jelas bahwa dakwah tentang ZIS terabaikan. Karena ZIS terlanjur jadi dakwah “anak tiri”, sampai saat itu belum ada satu lembaga pun yang dianggap layak menjadi representatif pengelolaan ZIS. Uniknya meski tak memasyarakat, toh di sebagian masyarakat juga telah ada yang biasa mengeluarkan langsung ZIS-nya kepada yang berhak. Oleh karena itu menjadi amat sulit lagi menghitung berapa jumlah ZIS yang sesungguhnya langsung tersalur itu. Namun dari segi manfaat, tak lagi diragukan sumbangan ZIS untuk pembangunan masyarakat. Sebagian sekolah dan panti, sebagai contoh, betul-betul hidup melalui sumbangan ZIS masyarakat.

Sejak munculnya Dompet Dhuafa Republika (DD) di tahun 1993, bicara ZIS tak lagi berandai-andai dalam wacana semu. Sebagai sebuah lembaga yang tumbuh dari kesadaran masyarakat, DD berani mati langsung berpraktek mengelola ZIS. Dari praktek itu terbukti di saat Indonesia terpuruk dalam berbagai krisis, DD justru semakin eksis. Dampak krisis yang dikhawatirkan bakal juga berpengaruh pada DD, ternyata malah mencengangkan karena justru perolehan ZIS-nya meningkat amat tajam. Dana yang terhimpun sekitar Rp 2,1 milyar di tahun 1997, meningkat menjadi Rp 4,6 milyar di 1998. Bahkan di 2002, dana yang dihimpun DD berjumlah Rp 20-an milyar. Sejak lahir tahun 1993 hingga 2002, DD telah mengelola dana ZIS dan wakaf total sekitar Rp 82 milyar. Dana itu semua 99% berasal dari masyarakat lokal.

Persyaratan Reintrepretasi

Ada beberapa makna tersirat yang dapat dikaji berkaitan dengan isu reinterpretasi ZIS di Indonesia. Tetapi reinterpretasi dapat dilakukan hanya dengan memenuhi beberapa persyaratan. Syarat pertama reinterpretasi ZIS bisa berlaku jika memang pada saat sebelumnya pengelolaan ZIS telah berjalan, namun kondisinya tidak berubah dari waktu ke waktu. Kedua reinterpretasi bisa diterjemahkan jika memang ada kekeliruan atau kesalahan pengelolaan ZIS hingga menimbulkan dampak pada masyarakat. Ketiga reinterpretasi dapat dilakukan jika memahami asbabul wurudz lahirnya zakat serta tujuan diwajibkannya zakat. Persyaratan ketiga ini menjadi bagian yang amat penting, karena pemahamannya mencakup pengetahuan akan peran, fungsi, tujuan dan tugas zakat sebagai konsep utuh zakat.

Dengan memahami konsep tersebut, maka dapat ditelururi penyebab kondisi zakat tak berkembang dan adanya kekeliruan pengelolaan zakat. Dengan demikian akan terjadi reinterpretasi yang tepat, bukan sebuah reinterpretasi gegabah yang malah menjerumuskan pengelolaan zakat menjadi lebih kompleks lagi. Bila ini yang terjadi, akan terjadi lagi perdebatan yang tak kunjung usai. Setiap pihak akan bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing. Di satu pihak bakal terjadi retorika sengit tentang khilafiah. Dengan demikian yang dikhawatirkan pada sebagian muzaki dan masyarakat muslim, akan menjadi jenuh dengan perdebatan baru tentang wacana zakat. Dampaknya justru akan buruk pada tataran wajib praktek zakat, karena pengaruhnya bakal mengganjal ghirah muzaki berzakat. Di kalangan mustahik juga langsung terhambat memperoleh haknya. Jadi reinterpretasi harus dilakukan secara akurat dengan memperhatikan kondisi di atas agar tak menuai gugatan kelak di kemudian hari.

Problem PNS yang Amil

Sebelum tahun 90-an awal, telah dibentuk badan pengelola ZIS resmi yang dibangun pemerintah seperti BAZIS DKI Jakarta. Badan ini telah berjalan baik, kendatipun sifatnya lokal karena hanya beroperasi di Jakarta saja. Sementara BAZIS lain yang berada di berbagai daerah, rata-rata sulit beroperasi karena memiliki problem masing-masing. Kondisi yang memprihatinkan ini, tentu saja tidak memberikan kontribusi apa-apa. Tidak terjadi gerakan apapun tentang ZIS saat itu, kendati papan nama BAZIS terpampang di berbagai daerah. Ruangan BAZIS sehari-hari, kebanyakan dalam keadaan kosong sepi tak berpenghuni. Tak terlihat adanya kesibukan sebagaimana sebuah kantor. Juga amat jarang kantor itu dikunjungi baik oleh muzaki yang hendak menyerahkan ZIS-nya atau oleh mustahik yang tengah membutuhkan bantuan ZIS.

Entah apakah dengan kondisi seperti itu, badan zakat yang sepi itu dapat melakukan kegiatan pemberdayaan ekonomi yang bisa merubah status mustahik. Juga apakah mereka yang bekerja setengah hati menangani zakat, dapat membuat kegiatan yang bisa meningkatkan kualitas ketrampilan mustahik. Sementara pelaksana BAZIS sendiri masih tidak peduli pada istilah amil sebagai pekerja yang murni mengelola ZIS. Nah berkaitan dengan istilah amil ini, reinterpretasi baru dapat dilakukan. Sebab amil di BAZIS, terlanjur merupakan PNS yang diperbantukan menangani ZIS.

Dengan status diperbantukan seperti itu beberapa problem muncul. Pertama, kualifikasi persyaratan dalam memenuhi kriteria sebagai amil diabaikan. Kedua dengan model titipan perbantuan seperti itu, boleh jadi bakal menimbulkan persepsi keliru bahwa secara psikologis PNS yang bersangkutan merasa disisihkan mengingat pemerintah sendiri tak terlampau serius atau setengah hati menangani ZIS. Persepsi ini bisa mengundang demotivasi yang dalam bagi PNS yang diperbantukan. Ketiga karena pegawai BAZIS merupakan PNS, anggaran kebutuhan operasional, fasilitas dan gaji tetap diadakan. Maka bekerja atau tidak, menghimpun dana ZIS dalam jumlah besar atau sedikit, membuat kegiatan pemberdayaan yang strategis atau program sederhana, bagi pegawai BAZIS yang PNS adalah sama saja. Tetap memperoleh segala fasilitas, tunjangan dan gaji setiap bulan. Kondisi ini tidak sehat dan sama sekali tidak memacu profesionalitas.

Sementara dalam tinjauan manajemen, amil harus mampu mengelola ZIS secara murni. Amil bukan hanya dituntut bisa menghimpun dana ZIS serta mengalokasikannya untuk mustahik. Terutama lembaga amil dituntut untuk mampu mandiri memenuhi kebutuhan operasional termasuk menggaji para amilnya. Maka seharusnya amil adalah pegawai yang direkrut sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan yang khusus diangkat untuk mengurus ZIS. Amil bukan pegawai yang dititipkan yang belum tentu punya ghirah ingin bekerja mengembangkan diri berprofesi sebagai amil. Amil adalah amil, yang sejak awal telah menyadari profesinya sebagai pekerja yang khusus menangani masalah penanggulangan kemiskinan.

Dengan latar belakang yang berbeda antara amil dan PNS yang diperbantukan, tentu memiliki konsekuensi berbeda yang berpengaruh pada kinerja lembaga. Terjadinya pergantian pimpinan, baik sebagai Ketua BAZIS maupun pimpinan di pemerintahan yang membawahi BAZIS, akan sangat memungkinkan pula terjadinya perubahan kebijakan yang mempengaruhi kinerja lembaga. Jadi lembaga BAZIS yang telah dibentuk sebelum awal 90-an, ternyata memiliki problem yang tidak sederhana. Dengan problem yang dihadapi, maka rata-rata BAZIS telah terjebak pada posisi yang sulit untuk bisa memberi kontribusi lebih pada kehidupan perzakatan di Indonesia.

Problem Yayasan dan Panti

Di era yang sama di lingkungan masyarakat yang mengelola zakat, juga tidak memperlihatkan kehidupan yang sehat. Kendati yayasan pendidikan dan berbagai panti dapat bertahan karena dana ZIS, namun kondisinya hanya berjalan rutin tanpa ada perubahan perkembangan yang berarti. Dari sejumlah yayasan dan panti tersebut, belum tampak satupun menjadi asset umat yang diakui keberadaannya mampu mengelola sumber ZIS-nya. Bahkan juga tidak tampak kemampuannya dalam mendistribusi bantuan baik dana maupun logistik kepada lembaga lain yang sejenis. Maka lebih sulit lagi berharap akan adanya yayasan atau panti yang sanggup berperan memberi supervisi manajemen pada pengembangan lembaga sejenis di berbagai daerah lain. Memang yayasan dan panti tersebut, rata-rata bersifat lokal. Jikapun mampu berekspansi ke daerah lain, hampir dapat dipastikan merupakan cabang yang sangat tergantung pada manajemen pusat.

Yayasan dan panti yang mengandalkan dana ZIS sebagai sumber keuangan, merupakan dua fenomena yang menarik untuk dicermati. Keduanya memiliki perbedaan dan persamaan. Perbedaannya hanya terletak pada aspek legal dan program pendayagunaan ZIS-nya. Dalam hal legal, hampir seluruh panti menggunakan yayasan sebagai badan hukumnya. Sementara yayasan itu sendiri memiliki beberapa kegiatan yang di antaranya ada yang menjalankan program panti asuhan yatim atau panti jompo.

Dalam hal persamaan antara yayasan dan yatim, dapat dilihat dari beberapa hal berikut:

  1. Jati diri lembaga
    • Nyaris tidak pernah memiliki visi.
    • Tujuan rata-rata hanya sebatas pernyataan.
    • Filosofis pendirian lembaga amat tergantung kisah pendiri.
    • Tidak pernah bisa menjadi tumpuan masa depan pekerjanya.

  1. Manajemen lembaga
    • Tak mengenal strategic planning.
    • Tidak membangun sistem.
    • Tidak memiliki aturan main yang jelas.
    • Hak dan kewajiban juga tidak pernah jelas.
    • Pembagian job tumpang tindih, termasuk peran fungsi dan tugas.
    • Pendiri identik dengan pemilik.
    • Semuanya amat tergantung pada pendiri.
    • Manajemen yang berkembang adalah management by family, hingga seringkali membuat para pekerja menjadi frustasi.
    • Fungsi marketing tak maksimal karena tidak mengenal konsep dan metode marketing. Yang dilakukan marketing hanyalah sebatas terjun ke jalan, berkunjung door to door dan mengerahkan anak yatim.
    • Fungsi keuangan tidak dilakukan. Pertama memang difungsikan karena pemegang uang adalah pendiri. Dan kedua keuangan dijalankan dengan amat sederhana.
    • Tidak pernah dilakukan audit oleh akuntan publik, apalagi mempublikasikan hasil audit tersebut.
    • Pekerja yang full time kebanyakan berasal dari orang yang non-job atau no choice. Sedang yang paruh waktu dan dianggap punya kemampuan, kebanyakan berasal dari orang yang telah purna kerja (pensiunan).

  1. Program Pendayagunaan
    • Program tidak didasarkan pada activity plan, meskipun hanya mematok target serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi.
    • Program rata-rata bersifat charity.
    • Program seringkali tidak memiliki potensi untuk merubah status mustahik menuju ke arah perbaikan hidup.
    • Pengembangan program lebih untuk memenuhi kebutuhan lembaga ketimbang kebutuhan mustahik.
    • Program selalu ingin cepat berhasil, namun tampak modelnya yang instant karena ingin segera massal.

Dengan problem seperti di atas, jelas bahwa pengelolaan ZIS yang dilakukan langsung oleh masyarakat ternyata juga tidak memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Pertumbuhan yayasan dan panti berjalan monoton saja. Jikapun ada yang berkembang cukup baik, biasanya sangat ditentukan oleh sentuhan pribadi dari figur sang pemimpin. Jadi bukan dibangun berdasarkan sebuah sistem. Dengan cara pengelolaan management by personal tersebut, yayasan atau panti berdiri di atas fondasi yang tidak sehat. Sedikit saja bermasalah dengan sang pemimpin, dampaknya akan buruk pada lembaga. Lebih-lebih jika sang pemimpin harus melepaskan diri, maka lembaga langsungu terperosok dalam titik kritis yang sulit untuk berkembang lagi.

Secara luas mandegnya pengelolaan ZIS di Indonesia sebelum awal tahun 90-an, dapat dijabarkan sbb.:

  1. Pada wilayah pemegang kebijakan, tak ada upaya dan dorongan membuat regulasi yang dibutuhkan guna memaksimalkan pengelolaan ZIS.
  2. Kalangan akademisi sama sekali tak tertarik mengangkat ZIS dan wakaf sebagai bahan diskusi apalagi mata kuliah. Hingga sulit sekali menjumpai literature tentang ZIS dan wakaf baik di perpustakaan maupun dalam buku cetakan yang dijual di pasar bebas.
  3. Sebagian besar ustadz juga tidak tertarik berdakwah tentang ZIS hingga terjadi kesenjangan pengetahuan tentang Rukun Zakat dibanding Rukun Islam yang lain.
  4. Maka masyarakat muslim tidak menempatkan kewajiban zakat seperti mereka menjalankan shalat dan puasa. Ada dua akibat yang ditimbulkan, yakni:
    • Tak terlihat adanya perubahan kesadaran dan tingkah laku berderma secara signifikan.
    • Tidak terlihat adanya peningkatan penyaluran ZIS dalam jumlah besar.
  5. Di kalangan perusahaan, juga tidak tampak ghirah untuk membantu mengatasi penanggulangan kemiskinan.
  6. Di kalangan amil sendiri, tidak tampak adanya budaya kerja yang profesional, transparan dan memiliki terobosan program yang inovatif dalam memenuhi kebutuhan para mustahik.
  7. Maka akibat terparah diterima oleh kalangan mustahik:

· Tak ada perubahan kondisi kehidupan menuju ke arah yang lebih layak.

· Program pendayagunaan zakat hanya sekadar sosial, seperti bagi-bagi sembako serta pemberian beasiswa yang juga tidak mencukupi.

· Program pendayagunaan lebih terkesan hanya melestarikan kemiskinan.

Perubahan Paradigma

Reinterpretasi ZIS memang merupakan sebuah upaya terobosan karena adanya sesuatu yang kurang dalam kehidupan ZIS. Tetapi seperti yang digambarkan di atas, problem yang terjadi merupakan suatu keterpurukan ZIS yang amat dahsyat, bukan lagi hanya sesuatu yang kurang. Malah lebih tepatnya bukan keterpurukan, karena keterpurukan mengindikasikan pernah terjadi kebangkitan luar biasa pada sektor zakat. Pengelolaan zakat di Indonesia belum pernah sama sekali menggeliat dengan normal. Itulah paradigma lama tentang pengelolaan zakat di Indonesia, yang singkatnya dikelola secara tradisional. Ciri-ciri tradisional di antaranya adalah dikelola setengah hati, tidak full time, tidak profesional, tidak punya program yang mampu merubah status mustahik, tak jelas hak dan kewajiban amil, lebih hanya sekadar menggugurkan kewajiban berzakat serta tidak punya cita-cita dan visi ke depan.

Tahun 1990-an awal lahirlah ICMI yang mewarnai babak baru dalam kehidupan masyarakat muslim di Indonesia. Moslem society yang tadinya ragu-ragu, secara bertahap tak lagi malu-malu mulai menyatakan identitasnya. Kata assalamu’alaikum sebagai contoh, tidak lagi terdengar hanya di surau, masjid dan kalangan terbatas, melainkan sudah merebak di tempat yang lebih umum, seperti di pasar dan pertokoan malah di perkantoran. Bahkan kata assalamu’ alaikum tersebut, juga telah mengganti posisi pengantar surat yang biasanya dimulai dengan “Dengan Hormat”. Bersamaan dengan itu, di awal tahun 1992 di Bandung lahir dua bank bercorak Islam yakni BPRS Dana Mardhatillah dan BPRS Berkah Amal Sejahtera. Di tahun yang sama, di Jakarta muncul untuk pertama kali BMT Bina Insan Kamil. Pertengahan tahun 1992, ICMI mendukung kelahiran BMI sebagai bank umum syariah pertama di Indonesia. Selanjutnya di Januari 1993, ICMI melahirkan koran bernama Republika sebagai moslem newspaper. Akhirnya di Juli tahun 1993, wartawan Republika membidani lahirnya sebuah lembaga pengelola zakat yang dinamakan Dompet Dhuafa Republika (DD).

Lahirnya DD memang membuka babak baru lembaga nirlaba lokal. Ada banyak hal yang amat disadari saat DD lahir, yang di antaranya dapat dijabarkan sbb.:

  1. Bicara ZIS adalah bicara kesempurnaan ibadah. Karena pengelola DD bukan berlatar pesantren dan ZIS berkait dengan kesempurnaan ibadah, maka lahir kebijakan lisan bahwa DD musti membuat panggung untuk orang lain tampil. Artinya personal di DD tak perlu menampil-nampilkan diri seperti kebiasaan di sebagian orang saat beraktivitas sosial. Tujuannya jelas agar tidak menimbulkan “gempa bumi” di masyarakat.

  1. Karena DD ingin hidup as long as possible, maka tak boleh menampilkan nama orang yang memiliki reputasi diragukan meski orang tersebut adalah pejabat, pebisnis atau public figure. Bagi DD lebih baik mencari orang yang tidak dikenal namun memiliki integritas, ketimbang memasang nama besar tapi kelak menuai badai. Mottonya adalah “jangan silau oleh nama besar”.

  1. Ada gejala inferority atau rasa rendah diri di sebagian pengrajin sosial lokal, terutama bila bersentuhan dengan NGO. Akibatnya belum ada satupun lembaga nirlaba lokal yang mampu berkiprah seperti LSM yang memiliki funding atau berafiliasi pada NGO asing. Berbagai yayasan dan panti lokal terutama yang berbasis pada funding ZIS, umumnya dalam kondisi memprihatinkan: sumpek, tak terawat, rutin dan monoton. Istilahnya “Pa Kumis” (Padat Kumuh dan Miskin). Entah karena pengelolanya yang tidak cakap hingga tak bisa meyakinkan masyarakat untuk memberi donasinya, atau karena masyarakat yang tak bisa percaya karena tampilan pengelolaannya selalu Pa Kumis.

  1. Satu dampak dari Pa Kumis-nya yayasan dan panti, mengakibatkan tak tertariknya SDM kita bekerja di sektor ini. Padahal cukup banyak SDM lulusan master dan doktor pendidikan luar negeri bekerja di LSM dan NGO asing yang ada di Indonesia. Akhirnya SDM yang bekerja di yayasan dan panti lokal, terpaksa hanya dijalankan oleh SDM yang jobless, atau orang yang sekadar mengisi kesibukan karena no choice atau karena telah pensiun. Dengan SDM yang tak ada pilihan, sulit bagi yayasan dan panti lokal bisa mengembangkan diri semaksimal mungkin.

  1. Dengan tradisionalnya berbagai yayasan dan panti, tak satupun dari berbagai lembaga itu bisa di-benchmarking. Hendak belajar pada BAZIS DKI Jakarta, belum apa-apa ternyata mental telah rontok. Karena atmosfir saat itu masih sangat meyakini bahwa mengelola zakat merupakan hak mutlak negara. Hendak benchmark ke LSM atau NGO, sulit dilakukan karena berbeda kultur dan tabiat. Akhirnya DD bergerak hanya dengan keyakinan, bahwa “menanam satu hasanah akan melahirkan hasanah yang lain”.

  1. Sementara di sebagian besar masyarakat, zakat merupakan sesuatu yang hanya dikenal sebagai satu pilar dari Rukun Islam. Wacana tentang zakat belum dieksplorasi sedalam-dalamnya seperti Rukun shalat, puasa dan haji. Yang dipahami hanya kewajiban zakat fitrah yang harus ditunaikan sebelum khotib naik mimbar di shalat Ied Fitri. Maka zakat harta, zakat perniagaan, apalagi zakat profesi menjadi bagian dakwah yang terputus, tak populer dan tak menarik minat bahkan oleh pedakwah atau ustadz sekalipun. Satu dampak yang besar pengaruhnya adalah sebagian masyarakat tak yakin bahwa zakat merupakan kewajiban. Jikapun akhirnya tahu bahwa zakat merupakan kewaji ban, akhirnya penunainnya amat tergantung pada keikhlasan.

  1. Kondisi di masyarakat yang seperti itu, ternyata masih memiliki problem lain yang tak kalah akutnya. Bahwa tingkat kepercayaan masyarakat telah ambruk. Boleh dikatakan masalah kepercayaan di Indonesia telah sampai pada kondisi bad trust society. Maka di saat itu upaya mengambil kepercayaan masyarakat “bagai menegakkan benang basah”.

Gambaran saat kelahiran DD di atas, melengkapi peta zakat sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat. Bahwa zakat di Indonesia benar-benar belum tereksplorasi sebagai sumber dana untuk pembangunan masyarakat. Secara otomatis zakat yang terlelap tersebut tidak merangsang apapun untuk bangkit. Di satu sisi mustahik yang paling berhak dengan dana zakat semakin menderita. Di sisi muzaki, ketidakpedulian pada kehidupan mustahik semakin menjadi-jadi. Sementara pemerintah yang selama itu sudah tak peduli, menjadi semakin bimbang dan ragu-ragu ketika diminta merumus regulasi untuk pengelolaan zakat. Sedang di tingkat lembaga amil, juga tidak akan pernah bisa profesional karena tak pernah mendapat kesempatan untuk membuktikan kinerja terbaiknya.

Ini merupakan PR raksasa. Untuk memecahkan problem tersebut, tentu membutuhkan upaya besar dan strategi yang matang jika diserahkan pada masyarakat. Tetapi bagi pemerintah, pekerjaan itu sebenarnya tidaklah teramat sulit. Sebab pemerintah memiliki wewenang dan otoritas tertinggi. Namun justru di situlah masalahnya. Pemerintah sendiri memiliki problem internal yang semakin hari semakin kompleks. Jadi jika pemerintah belum bisa menyelesaikan masalah internal dengan kultur birokrasi dan sistemnya yang belum juga profesional, upaya yang dilakukan oleh pemerintah juga akan mengalami kemacetan di tengah jalan.

Maka dalam memecahkan kebuntuan perzakatan itu, memang tidaklah cukup hanya dengan mengadakan reinterpretasi zakat. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma kestagnasian zakat yang tertidur sejak republik ini Merdeka tahun 1945. Tetapi soalnya kini muncul beberapa pertanyaan: Siapa yang harus memulainya? Dengan mandat siapa sehingga berani menjalankannya? Lalu bagaimana how to start-nya? Apakah lembaganya struktural di salah satu departemen di pemerintahan atau independen sebagai badan strategis? Siapa tenaga pelaksana serta bagaimana sistem rekruitmennya? Dan tentunya masih banyak pertanyaan yang dapat dilontarkan untuk merubah paradigma zakat yang memang telah lama membeku itu.

DD, Pelopor Lembaga Zakat Masyarakat

Fainnama’al ‘usriyusraa. Inama’al ‘usriyusraa (Quran Alam Nasyrah: 5 – 6). Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka pada 2 Juli 1993, tiba-tiba DD lahir begitu saja. Karena tanpa strategi serta tanpa pertimbangan dan perencanaan yang matang, kelahiran DD tentu merupakan “kebetulan sejarah”. Kendati kebetulan sejarah, tak berarti sebagian persoalan di atas tak diantisipasi. Agar DD tak karam, maka segala daya dan upaya dikerahkan guna merumuskan strategi yang tepat. Strategi ini musti digelindingkan pada waktu yang tepat, dengan metode yang tepat dan mengarah pada sasaran yang tepat. Jika ini tercapai, insya Allah kehadiran DD tidak akan menimbulkan gempa bumi di dunia perzakatan Indonesia. Semangat yang dipompa adalah DD tak boleh menambah panjang black list bahwa lembaga yang dikelola umat selalu tidak profesional. Mitos ini musti dipecahkan.

Motto DD pun dipancang: Menyantun Dhuafa, Menjalin Ukhuwah, Menggugah Etos Kerja. Pernyataan motto ini bukan asal comot. Filosofi pertama sudah menjadi tugas DD menyantuni kalangan dhuafa. Yang harus disadari bersama adalah bahwa menyantuni dhuafa bukanlah pekerjaan satu pihak. Ini merupakan tugas bersama yang harus ditanggulangi ramai-ramai oleh masyarakat. Maka dalam penyantunan tersebut dibutuhkan suatu sinerjitas dalam rangkaian jalinan ukhuwah. Itu filosofi kedua. Dengan demikian pekerjaan membasmi kemiskinan menjadi lebih ringan. Akhirnya yang tak kalah pentingnya adalah penyantunan dan sinerjitas tersebut harus mampu menumbuhkan sebuah etos kerja. Filosofi ketiga meyakini bahwa etos kerjalah yang mampu merubah suatu keadaan. Etos kerja ini juga bukan hanya ditujukan untuk kalangan fakir miskin saja. Namun yang tak kalah penting juga mengarah kepada muzaki, kepada pemerintah dan juga kepada amil dan lembaganya.

Dalam kondisi yang centang perenang demikian, DD amat sadar untuk membangun diri dengan strategi persuasif. Mengingat zakat belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat, DD nyaris tidak pernah menggunakan ayat yang mengancam. Dengan persuasif, DD menghadirkan problem kemiskinan ke tengah kalangan muzaki. Karena lahir dari kalangan wartawan, mau tak mau potensi sajian tulisan menjadi kunci kekuatan DD. Dengan tulisan yang menguras air mata, rasa simpati muzaki dipantik. Dampaknya bukan hanya muzaki terketuk, bahkan tak sedikit di antara mereka turut terjun melihat kondisi sesungguhnya. Dan ternyata di antara mereka malah menghimpun bantuan lebih besar untuk diberikan kepada mustahik yang ditulis DD. Jurnalistik air mata ini menjadi satu pilar bagaimana DD mensosialisasikan zakat.

Selama empat tahun, nama-nama muzaki ditampilkan setiap hari di Republika kecuali Ahad. Lantas kegiatan pemberdayaan dilaporkan seminggu sekali. Laporan pendayagunaan zakat juga dilaporkan setiap bulan. Dan akhirnya setiap tahun laporan keuangan DD yang telah diaudit oleh akuntan publik dilaporkan satu halaman penuh di harian Republika. Dengan cara seperti ini, DD bukan lagi hanya transparan melainkan juga mempertaruhkan pertanggungjawaban pada stakeholder. Masyarakat dipersilakan membedah DD hingga ke dapur sekalipun. Dengan laporan demikian, bisa jadi DD merupakan salah satu atau barangkali menjadi satu-satunya lembaga keuangan yang paling transparan di seluruh dunia.

Di samping itu ada satu hal penting dan amat strategis yang disadari DD, sedang kebanyakan lembaga nirlaba justru mengabaikannya. Lembaga nirlaba haruslah memenuhi beberapa prinsip dasar sebagai landasan bersikap jika ingin hidup langgeng dalam jangka panjang. Masing-masing prinsip dasar tersebut adalah sbb.:

  1. Independen

Lembaga pengelola zakat amat membutuhkan independensi mengingat lembaga ini dimiliki banyak pihak. Jika lembaga pengelola zakat tergantung pada satu atau dua muzaki maka keberlangsungan hidupnya amat ditentukan oleh muzaki tersebut. Maka sedari awal lembaga harus punya tingkat independensi yang tinggi agar tak bisa diekpansi oleh kepentingan pihak lain yang bisa merusak image lembaga.

  1. Netral Obyektif

Jika persoalan yang dihadapi merupakan masalah khilafiyah, lembaga pengelola zakat musti netral. Masing-masing punya argumen yang memiliki kekuatan karena perbedaan tersebut. Sebaliknya jika persoalan yang dihadapi merupakan masalah prinsip syariah, maka lembaga pengelola zakat harus menentukan sikap. Agar obyektif landasan bersikapnya didasarkan pada keadilan dan kebenaran sesuai dengan prinsip syariat.

  1. Non-Politik

Lembaga pengelola zakat tak boleh menyelenggarakan kegiatan politik, terutama bagi para amilnya. Yang dimaksud dengan kegiatan politik, yaitu politik praktis seperti namanya tercantum dalam struktur kepartaian atau melakukan kampanye untuk mencari masa. Jika ini terjadi, maka lembaga pengelola zakat berada dalam titik kritis karena telah menyakiti hati muzaki yang berasal dari partai yang lain.

  1. Non-Diskriminasi

Dalam melaksanakan kegiatannya, lembaga pengelola zakat tak boleh membeda-bedakan asal muasal pihak yang dihadapi. Jangan sampai karena salah satu pihak yang dihadapi berbeda latar belakangnya, amil pun membedakan pelayanannya. Maka amil dituntut menanggalkan kepentingan pribadinya. Yang harus didahulukan adalah kepentingan lembaga meski itu menyakitkan amil yang bersangkutan.

Satu hal penting lain yang perlu dicermati adalah program yang digelindingkan DD. Satu obsesi DD adalah membuat program yang memiliki manfaat besar. Maka dalam mengkreasi program, kerangka dasarnya terletak pada keyakinan bahwa program tersebut memang amat dibutuhkan mustahik, bukan kebutuhan lembaga atau para muzaki. Di samping itu program harus didasarkan pada gagasan yang orsinil, unik, memiliki keunggulan yang strategis hingga memiliki daya multiplier effect yang kuat. Syukur-syukur program tersebut bisa membawa perubahan atau mampu merubah paradigma yang keliru di masyarakat.

Karena DD lahir sebagai sebuah terobosan inovatif yang strategis, maka DD pun harus melahirkan program-program yang memiliki kekuatan yang strategis. Oleh karena itu ada dua catatan penting yang menjadi tinta emas dalam sejarah perzakatan di tanah air. Bahwa DD membuat sebuah lembaga baru bernama Institut Manajemen Zakat (IMZ) di akhir tahun 1999. Ada dua tugas utama IMZ. Pertama perannya menjadi menjadi think tank bagi pengelolaan zakat di Indonesia. Kedua fungsi IMZ fokus pada penyiapan tenaga amil di seluruh Indonesia sebagai pengelola zakat di daerah mereka masing-masing. Di tahun 1997, DD pun mengarsiteki lahirnya Forum Zakat (FOZ) yang dilahirkan bersama 10 lembaga lain. Lembaga tersebut di antaranya adalah BAZIS DKI Jakarta, Baitul Mal (BM) Pertamina, BM Pupuk Kaltim, BM Pupuk Kujang, PT Internusa Hasta Buana, Bapinroh Hotel Indonesia, Binroh Telkom, STIE dan Lembaga Keuangan Syariah BMI.

Dalam tataran tingkatan operasional, antara DD, IMZ dan FOZ masing-masing memiliki peran yang berbeda-beda wilayahnya. DD bergerak di tingkat mikro. IMZ berjalan di tingkat meso. Sedang FOZ menempatkan diri dalam tataran makro. IMZ yang memerankan diri sebagai think tank, tetap menggawangi perzakatan Indonesia termasuk terus menggodok UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Di samping fungsi menyiapkan SDM sudah dilakukan dengan mengadakan berbagai training reguler maupun in-house training di berbagai daerah di Indonesia. Sementara FOZ kini memiliki anggota seluruh BAZ dan LAZ yang ada di Indonesia termasuk BAZNAS yang dibentuk melalui SK Presiden.

Reinterpretasi Pendayagunaan

Bersamaan dengan kelahiran FOZ tahun 1997, sejak itu Binroh (Bina Rohani) atau Bapinroh (Badan Pembina Rohani) di berbagai perusahaan, berangsur-angsur mulai meleburkan diri menjadi Lembaga Pengelola Zakat (LPZ). Di samping lebih banyak lagi yang membuat lembaga khusus untuk menangani zakat. Di masyarakat sendiri juga bermunculan LPZ merebak di berbagai daerah. Tahun 1999 lahir UU Nomor 38 tentang Pengelolaan Zakat, yang isinya antara lain mengesahkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat. Kini telah ada sekitar 11 LAZ yang dikukuhkan pemerintah melalui Depag yakni: DD Republika, PKPU, BMM BMI, YDSF, BM Takaful, BSM Umat, BM Hidyatullah, BM Dewan Dakwah, LAZ Muhammadiyah, Bamuis BNI serta LAZ Dewan Dakwah. Sementara BAZ yang dibentuk pemerintah, bagai mendapat napas baru untuk tidak menyia-nyiakan momentum kebangkitan pengelolaan zakat. Yang tak kalah menarik, geliat DD melalui Republika merangsang berbagai media lain baik elektronik maupun cetak untuk lebih serius menggalang dana melalui publikasinya.

Pertumbuhan tersebut mengartikan bahwa satu babak kehidupan awal berzakat di masyarakat Indonesia telah bangkit. Satu persoalan dengan segala problematikanya telah dianggap selesai. Kini tinggal bagaimana pendayagunaan dana zakat, infak-sedekah dan wakaf tersebut. Asbabul wurudz lahirnya zakat dilandasi oleh dua hal pokok. Pertama, zakat merupakan kewajiban muzaki dalam menyisihkan dana 2,5% sebagai hak orang lain. Ada fakir miskin atau tidak, kewajiban zakat tidak gugur. Sebab masih ada enam mustahik lain sebagai bagian dari masyarakat. Oleh karena mengingat betapa penting perannya sebagai Rukun Masyarakat, zakat pun dijadikan satu pilar dari Rukun Islam. Pertanyaannya, mengapa bukan bank atau asuransi yang dijadikan Rukun Islam mengingat eksistensi kedua model lembaga ini juga amat populer di masyarakat.

Landasan kedua asbabul wurudz zakat, sesungguhnya kemiskinan itu terjadi akibat tradisi ketidakadilan. Usia kemiskinan hampir sama dengan usia manusia saat membentuk komunitas. Di zaman Imperium Romawi, orang-orang miskin malah dikucilkan. Bahkan di zaman yang dikatakan peradaban manusia sudah tinggi itu, tradisi Romawi yang amat mengerikan adalah membuang penderita lepra yang miskin ke lembah-lembah hingga mati di sana. Maka bagi negara, orang miskin bukanlah apa-apa. Karena selalu akan menjadi beban maka sebaiknya dieksploitasi tenaganya menjadi budak-budak sebagai tenaga yang murah biayanya.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah mungkin seseorang kelaparan dan telanjang dada jika bukan karena kebakhilan muslim yang lain. Makna hadits jelas bahwa ada kecurangan yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak yang lain. Bahkan kecurangan tersebut telah meningkat menjadi ketidakadilan karena mengakibatkan adanya pihak yang lebih menderita karena lapar dan tidak memiliki pakaian. Padahal pangan dan sandang merupakan kebutuhan utama. Jika ini terjadi maka dapat dipastikan kondisi masyarakat demikian dalam keadaan yang tidak sehat karena kedzaliman telah menjadi bagian keseharian.

Mengingat persoalan di atas, urutan 8 mustahik, kecuali amil, mencerminkan tingkat kesulitan hidup mereka yang berbeda. Alasan fakir dan miskin ditempatkan di peringkat pertama dan kedua, tentu karena tingkat kehidupan mereka yang paling sulit. Maka prioritas pendayagunaan zakat dialokasikan terbesar untuk kalangan ini. Hampir segala program yang dikreasi, ujung-ujungnya cenderung mengarah pada kalangan fakir miskin. Lebih-lebih bagi Indonesia yang tingkat pertumbuhan kemiskinannya mengalahkan pertumbuhan seluruh sektor, alokasi zakat tentu lebih ditujukan untuk membantu kesulitan yang dihadapi oleh kalangan fakir dan miskin.

Kini muncul pertanyaan, apakah pendayagunaan zakat dapat dialokasikan untuk kegiatan seperti penanganan lingkungan serta advokasi kepada pemerintah dan kalangan pebisnis? Inilah yang dimaksud dengan reinterpretasi pendayagunaan zakat. Sebab pencemaran dan kerusakan lingkungan, juga berpengaruh besar pada kualitas kemiskinan. Sebaliknya kemiskinan ternyata juga punya potensi besar dalam merusak lingkungan. Reinterpretasi juga meyakini bahwa salah satu penyebab terbesar kemiskinan di Indonesia terletak pada kebijakan pemerintah. Di samping tentu juga tingkah laku dan ekspansi bisnis, yang memiliki dampak besar pada pemiskinan masyarakat.

Reinterpretasi ini menggugat pendayagunaan zakat yang selama ini hanya membantu sesaat kebutuhan kalangan fakir miskin. Dalam argumennya, kegiatan untuk fakir miskin hanyalah aktivitas mikro yang akan terus berulang dari masa ke masa dengan membawa hasil hanya sedikit perubahan. Sementara akar persoalan yang jadi penyebab kemiskinan sama sekali tak tersentuh. Bukankah sebaiknya penggunaan zakat dapat ditujukan untuk menggugat kebijakan pemerintah yang tidak memihak kalangan fakir miskin, seperti ratusan triliun rupiah dikucurkan hanya untuk beberapa bankir dalam program BLBI. Atau advokasi kebijakan untuk menghentikan penjualan asset-asset bangsa, yang artinya identik dengan memiskinan masyarakat Indonesia. Bukankah kebijakan menaikan harga terutama pada bidang strategis seperti BBM, listrik dan air menjungkalkan daya daya beli masyarakat karena harga seluruh barang terdongkrak naik.

Di sektor bisnis, bergabungnya perusahaan konglomerat Indonesia dengan raksasa ekonomi dunia, bukankah menjadi kartel yang mematikan banyak industri kecil yang bergerak di sektor yang sama. Mengapa pemerintah tidak bisa mengeluarkan kebijakan yang mencegah pembentukan kartel tersebut. Berdirinya hiper market, bukan hanya memandegkan ekonomi warung-warung kecil di kampung dan perumahan, melainkan juga menurunkan omset banyak pedagang di pasar. Hadirnya sebuah industri minuman dunia, telah menjual gaya Barat hingga sukses karena kuli bangunan, pekerja borongan dan tukang becak pun telah biasa meminum produk tersebut. Artinya berapa banyak industri limun tradisional bertumbangan. Bahkan perusahaan minuman raksasa dunia ini, kini mengakusisi juga perusahaan air minum kemasan lokal untuk memperkuat jaringan bisnisnya.

Contoh lain adalah ada perusahaan mie instant yang meraksasa, bisa terjadi karena kebijakan dan strategi perusahaan dalam mengelabui publik dan pemerintah sendiri. Bayangkan izin impor gandum, kini telah mewujud dalam monopoli gandum. Kebijakan mendirikan pabrik, kini telah menjadi industri raksasa yang sulit ambruk. Tak sampai di situ, pemerintah pun mengizinkan konglomerat ini untuk mendistribusikan sendiri dengan membuat perusahaan distribusi. Lantas distribusi itu terjamin karena lagi-lagi pemerintah memberi izin kepada perusahaan bersangkutan untuk mendirikan gudang-gudang grosir yang langsung bisa menjual dalam jumlah partai besar. Dan kebijakan pemerintah yang lebih meremukan ekonomi bawah adalah perusahaan tersebut kini mengantungi izin untuk membuat gerai kelas warungan yang khusus menjual produk-produknya.

Dengan kebijakan pemerintah dan tingkah laku ekspansi bisnis demikian, berapa banyak menimbulkan kerugian bagi masyarakat Indonesia. Jika perusahaan melihat masyarakat sebagai pembeli, memang itu sudah menjadi tradisi dagang. Tetapi jika pemerintah menganggap rakyat sebagai obyek, kata lain sebagai pembeli, ini merupakan sebuah kejahatan. Sebab pemerintah merupakan lembaga nirlaba yang diberi wewenang dari rakyat untuk menyelenggarakan negara agar terjadi kesejahteraan bagi rakyat. Seharusnya jika terjadi monopoli bahkan kartel demikian, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang mencegah dampak kerugian di masyarakat.

Reinterpretasi muncul untuk menggugat kondisi ini, bisakah dana zakat digunakan mengadvokasi pemerintah untuk membuat kebijakan yang membantu rakyat miskin. Dalam menjawab pertanyaan ini, kuncinya terletak pada dua pendekatan. Pertama ditinjau dari sisi syariah. Dari sisi ini seringkali asnaf fisabilillah diijtihadkan penggunaannya tidak mengarah pada manusianya, melainkan banyak digunakan untuk pembangunan sarana phisik (pendidikan, rumah sakit, masjid) atau kegiatan yang sifatnya terkait dengan keagamaan. Dari sisi syariah, pembangunan masyarakat yang sehat harus dilakukan melalui pendekatan amar maruf nahi mungkar. Dan ini bisa ditegakkan dengan prinsip keadilan dan kebenaran. Untuk mencegah kemiskinan akibat ketidakadilan kebijakan, maka perlu diadakan kegiatan yang bersifat advokasi. Maka jika dana fisabilillah dapat dimanfaatkan untuk sarana phisik, berarti dana tersebut dapat juga digunakan untuk melakukan advokasi.

Pendekatan kedua terletak pada aspek manajemen. Dari sisi manajemen, pilihan prioritas menjadi kata kunci. Dalam rangka mencegah meningkatnya kemiskinan, yang dibutuhkan adalah cara yang paling efisien dan efektif. Intinya terletak pada nilai strategisnya, multiplier effect dan manfaat yang besar. Jika dana zakat pun akhirnya tidak dapat digunakan, katakanlah seperti itu, maka strategi manajemen dapat menggunakan dana infak. Bila dana infak tersebut kurang, maka sudah selayaknya BAZ dan LAZ bergabung menyalurkan dana infaknya. Dengan koordinasi pada FOZ, maka kegiatan bersama dalam melakukan advokasi dapat dijalankan dengan baik.

Dalam melakukan advokasi, BAZ dan LAZ tidak bisa turun ke jalan dengan yel-yel berdemonstrasi. Sebab dana yang digunakan merupakan dana yang berasal dari tuntunan agama. Muzaki dan munfiqun (orang yang berinfak) menyisihkan hartanya dalam rangka kesempurnaan ibadah. Jika dalam penggunaan dana ZIS tersebut dilakukan dengan cara-cara yang mengundang kekerasan, hujatan dan makian, ini mengurangi nilai-nilai kebajikannya. Yang dikhawatirkan donatur kecewa yang bisa menjadi kontra produktif dengan kegiatan yang dilakukan.

Maka advokasi harus dijalankan dengan mempublikasikan data kemiskinan dan analisa mengapa itu terjadi. Publikasi itu juga musti mampu membuat tinjauan kritis yang obyektif tentang sebuah kebijakan yang membuat sebagian kecil orang amat makmur, namun menimbulkan hilangnya mata pencaharian bahkan sekaligus merampas masa depan di kalangan rakyat banyak. Advokasi juga musti mampu merumuskan usulan kebijakan yang adil dan obyektif, memiliki visi serta berorientasi kebangsaan untuk rakyat dan ibu pertiwi, serta manfaatnya bagi generasi yang akan datang. Maka advokasi itu harus melibatkan ahli-ahli di bidangnya. Yang dalam menjalankan advokasi itu bisa meminta waktu khusus pada para penyelenggara negara dan pebisnis untuk audiensi atau melakukan berbagai negosiasi.

Bisakah advokasi tersebut mengarahkan kebijakan negara untuk bersikap adil dan lebih melihat kebutuhan rakyat banyak. Pemimpin dituntut keadilannya. Pedagang dituntut kejujurannya. Sedang rakyat dituntut kepatuhannya. Menurut Ibnu Taimiyah, zakat adalah pajak bagi muslim yang mampu. Pengelolaan zakat ditujukan untuk 8 mustahik. Artinya jika secara phisik alokasinya untuk para mustahik, berarti kebijakan negara juga ditujukan untuk kepentingan rakyat jelata. Orang kaya dan pintar tak perlu diurus negara karena mereka telah mampu mengurus diri mereka sendiri.

Maka pemerintah harus memainkan perannya yang adil agar terjadi kehidupan yang harmonis dan sehat. Pemerintah harus mencegah adanya kecurangan dalam bisnis apalagi hingga mengarah pada monopoli, oligopoli dan kartel. Pemerintah semestinya melakukan amar maruf nahi mungkar karena memiliki kekuatan yang dapat memberi sanksi. Pemerintah harus mengelola asset negara untuk kepentingan bangsa Indonesia. Pemerintah jelas tak boleh mengelola serampangan bahkan menjualnya karena asset tersebut bukan milik para pejabat. Jika itu terjadi, pengelolaan serampangan dan penjualan merupakan pemiskinan bangsa dengan cara yang amat masif. Maka memang sudah saatnya untuk melakukan advokasi, mencegah penyelenggaraan negara yang ceroboh, menghancurkan keuangan negara hingga menjerumuskan bangsa Indonesia ke dalam kemiskinan. Jangan sampai Indonesia menjadi contoh terbaik yang tidak boleh dicontoh.

Pondok Pinang

Februari 2005

--oo0oo--


One Response to “Perubahan Paradigma & Reintrepretasi Pendayagunaan Zakat”

  1. Unknown Says:
    terimakasih untuk inspirasinya bapak erie sudewo

= Leave a Reply