Membangun Dengan Sedekah

⊆ 08.44 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Filantropi (sedekah - kedermawanan) dalam Islam punya kedudukan amat istimewa. Bukan saja diwajibkan, bahkan zakat jadi satu dari Rukun Islam. Maka ingkar zakat, rusaklah Islam seseorang. Zakat tak memasyarakat, remuklah masyarakat. Seperti diwanti-wanti dalam surah Al Ma’un, tak bersedekah adalah pendusta agama. Soal contoh, Rasulullah SAW pun tak mewariskan apa-apa buat keluarga. Semua telah disedekahkan. Siti Khadijah pun menyerahkan hartanya untuk dakwah. Abu Bakar bahkan pernah menyedekahkan 1000 unta. Jika unta ibarat mobil, saat ini adakah orang yang bersedekah dengan 10 mobil. Umar bin Abdul Azis setelah wafat, hanya mewarisi 400 dinar. Padahal saat diangkat jadi khalifah, kekayaannya 400.000 dinar.

Ditilik dari jenis sumber dana, Filantropi dalam Islam terdiri atas infak sedekah, zakat dan wakaf. Di Indonesia, filantropi Islam dapat dibedakan dari dua perilaku strata. Strata pertama dilakukan masyarakat pinggiran. Cirinya, mereka gelar fundraising menghadang di tengah dan di tepi jalan. Sebagian yang lain door to door dengan personal membawa map-map permohonan. Di kampung-kampung anak-anak yatim dan santri, dikerahkan meminta sedekah warga sekitarnya. Filantropi strata kedua, dilakukan masyarakat menengah. Ini dicirikan dengan sosialisasi kampanyenya di berbagai media.

Karakter Dana

Kata filantropi atau sedekah, dapat digunakan secara luas. Di satu sisi dipadankan dengan zakat, dan sering juga disamakan dengan infak. Maka ditegaskan sedekah wajib adalah zakat. Sedang sedekah sunah, itulah infak. Dua hal yang punya karakter berbeda. Dalam batasan zakat, sedekah wajib ini memang punya konsep dan sistem praktek yang ketat. Ada nishab (batas harta) dan haul (masa bayar). Peruntukan zakat juga tak boleh disimpangkan, terfokus pada 8 mustahik atau asnaf (penerima).

Infak sebagai sedekah sunah, tidak punya batasan. Baik batasan jumlah materi, penerima manfaat dan untuk apa sedekah didayagunakan. Karena itu dalam pengertian sedekah sunah ini, dibedakan atas 2 jenis infak. Pertama infak dalam bentuk materi. Dalam materi dan pemanfaatannya, infak terbagi atas tiga 3 kisaran. Yakni infak recehan yang jumlahnya lebih kecil ketimbang zakat, infak yang jumlahnya relatif sama dengan zakat serta infak yang jumlahnya di atas dana zakat. Infak yang jumlahnya setara atau lebih dari zakat, dalam hal ini kita sebut infak non-recehan. Jenis kedua infak, berbentuk non-materi. Dalam hal ini bisa berupa sumbangan pikiran, tenaga dan waktu. Bahkan Rasulullah SAW pun mengatakan senyum pun sedekah.

Dilihat dari sumber dana, filantropi atau sedekah juga dapat berupa wakaf. Ditilik dari sisi pemanfaatannya, ada persamaan mendasar antara wakaf dengan zakat. Bahwa peruntukan wakaf, tak dapat disimpangkan. Bukankah zakat juga tak dapat digunakan di luar mustahik. Maka antara nadzir (pengelola wakaf) dengan amil (pengelola zakat), keduanya harus sama-sama jujur dan kuat memegang amanah. Nadzir wakaf harus patuh dan menjalankan pesan dari ijab kabul diwakafkannya sesuatu. Sedang amil zakat harus patuh pada 8 mustahik yang telah ditegaskan.

Peran dan Fungsi

Filantropi Islam yang terdiri atas infak recehan, zakat, infak non-recehan dan wakaf, ternyata mencerminkan jenjang karir. Agar bisa betul-betul profesional, jenjang-jenjang itu harus dilalui. Tiap jenjang merupakan latihan, yang masing-masing punya karakter berbeda. Ibarat sekolahan, jika pengelolaan infak recehan berjalan baik, katakanlah ia lulus SD. Bisa mengelola zakat yang ketat aturannya, peringkatnya naik lulus SLTP. Cemerlang mengembangkan infak non-recehan, lulus SLTA. Lantas bisa mengelola wakaf, artinya lulus PT.

Peran filantropi (infak recehan, zakat, infak non-recehan dan wakaf) memang untuk membangun masyarakat. Dalam hal fungsi, infak recehan hanya bisa membantu kesulitan orang lain. Hanya membantu, tak lebih. Fungsi zakat lebih dari sekadar membantu, karena memang ditujukan untuk mengatasi persoalan. Kebutuhan mustahik baik yang darurat atau permanen seperti lansia tanpa sanak famili, memang harus ditopang oleh zakat. Sedang infak non-recehan, musti dieksplorasi guna mendukung pemberdayaan. Tujuan pengelolaan infak non-recehan, agar terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sementara pengelolaan wakaf, tak lain merupakan bentuk penguasaan berbagai asset masyarakat. Tujuannya bisakah wakaf dimaksudkan guna mempertahankan kesejahteraan masyarakat.

Misalnya, wakaf bisa berbentuk tanah sekian ha. Atau wakaf tunai bisa dipakai membeli lahan sekian puluh ha. Di atas lahan itu dibangun sarana dan prasarana, seperti perumahan dan pasar. Tempat yang dibangun dengan wakaf ini, sebutlah sebagai KAMPUNG REFORM. Kampung ini harus diarahkan jadi satu sentra ekonomi, agar bisa mandiri kelak. Pilihan pengembangan ekonomi tergantung sumber daya. Bisa berbasis pertanian atau home industry, atau bisa keduanya. Yang penting buat aturan dan sistem, yang harus dipatuhi seluruh warga. Seleksi masyarakat yang berminat tinggal. Untuk yatim dan ibunya, yang lansia dan jompo, tempatkan di perumahan dan hidupi dengan zakat. Untuk modal kerja dan meramaikan pasar, kerahkan infak non-recehan. Dalam hal kepemilikan, langkah pertama masih atas nama penyelenggara. Setelah dianggap siap, kepemilikan bisa dialihkan pada lembaga yang pengurus dan anggotanya adalah masyarakat KAMPUNG REFORM itu sendiri. Inilah kehidupan baru dari sebuah KAMPUNG REFORM yang bisa dikembangkan melalui dana sedekah.

Lemahnya Ijtihad

KAMPUNG REFORM di atas memang baru mimpi. Belum satupun lembaga pengelola zakat baik BAZ (Badan Amil Zakat) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang mengembangkan. Entah, apakah ini sudah pernah tergagas. Program pengembangan masyarakat yang dilakukan BAZ dan LAZ, boleh dikatakan monoton. Kemandegan ini dapat ditengarai melalui gejala yang tampak. Berbagai program yang dikembangkan BAZ dan LAZ cenderung seragam. Jika beberapa lokasi dilabrak gempa, misalnya, bagi-bagi sembako jadi pilihan utama. Begitu program bea-siswa pendidikan atau program kesehatan digelar satu lembaga, yang lain pun tak mau kalah. Semua program tentu bermanfaat. Tapi untuk optimalisasi manfaat, sudah saatnya harus terjadi sinerji dua atau lebih dari lembaga untuk menangani sebuah program yang punya visi panjang.

Kegiatan seragam tentu meresahkan. Sama meresahkannya dengan melihat tayangan televisi yang mengumbar cerita-cerita mimpi sinetron, dengan gaya hidup santainya. Sampai-sampai iklan tv pun jarang yang membangkitkan gairah kerja. Ada memang yang berisi etos kerja, sayangnya iklan rokok. Entah apakah itu juga punya pengaruh pada etos amil. Dalam menyikapi monotonnya kegiatan, beberapa LSM khawatir pengelolaan zakat terjebak pada rutinitas konsumtif. Bandingkan dengan kegiatan LSM yang cenderung pada program suistainable development. Kendati kegiatan yang dilakukan LSM juga belum jelas suksesnya. Tapi kekhawatiran LSM bisa jadi pemicu. Seperti yang LSM sarankan: Bisakah dana ZIS digunakan untuk kegiatan lain seperti advokasi dan penataan lingkungan masyarakat yang lebih besar.

Kegiatan seragam bukan hal sepele. Itu bisa mencerminkan beberapa hal. Pertama itu gambaran kuatnya budaya latah. Tidak turut dianggap menyempal. Dengan begitu khawatir diposisikan nyeleneh dan asing. Bisa-bisa tersisih nantinya. Cermin kedua, itu tanda tak berani bersikap. Ketidakberanian bisa dipicu oleh cermin ketiga, yakni lemahnya kreativitas. Kita memang tak biasa berkompetisi. Kalaupun ada hanya bersifat reaktif, bukan mengadu konsep sedari awal. Sementara jikapun ada konsep, kendalanya tak berani melangkah. Hal keempat yang dianggap menghambat, ternyata zakat punya aturan ketat. Zakat tak bisa diutak-atik seperti mengemas program bersumber infak dan hibah.

Budaya ikut-ikutan juga cermin SDM di belakangnya. Di masyarakat belum terbangun opini bahwa amil merupakan sebuah profesi yang layak. Dalam keluarga muslim, amil belum masuk dalam wacana diskusi. Meski mereka bicara tentang zakat dan lembaganya, apakah ada yang berkata: “Siapa yang mau jadi amil?” Maka orang tua mana yang tak kaget, bila tau anaknya tiba-tiba jadi amil. Atau mertua mana yang tak kelabakan, menjumpai kenyataan bahwa mantunya seorang amil. Sementara jika ditanya pada amil di BAZ dan LAZ, berapa persen yang jujur mengakui bahwa jadi amil memang pilihan mereka.

Paradigma Filantropi

Untuk mengatasi kemandegan kegiatan BAZ dan LAZ, kuncinya memang terletak pada bagaimana memahami peran dan fungsi filantropi (sedekah). Untuk memahami, sedekah dapat dibagi atas 3 kerangka paradigma. Paradigma pertama sedekah dalam wujud materi. Secara praktis alokasi zakat jelas untuk 8 mustahik. Dalam alokasi ini, uapayanya memang hanya untuk konsumtif. Dengan program konsumtif, tak berarti amil tak bisa mengembangkan program. Program bagi-bagi sembako misalnya, pun bisa disiasahi jadi pemberdayaan masyarakat. Caranya upayakan isi sembako, jika tak bisa semua, juga ada yang produk masyarakat. Beras, contohnya, beli langsung dari petani. Ikan asin beli dari nelayan. Jikapun harus beli barang hasil industri, pastikan diperoleh dari warung di kampung-kampung. Lantas libatkan ibu-ibu atau para remaja di kampung untuk mengemas sembako yang jumlahnya bisa mencapai ribuan paket. Dengan begitu bukankah ekonomi pun bergerak dipicu program sembako.

Paradigma kedua, diwajibkannya zakat merupakan kebijakan. Berarti bicara zakat sedekah adalah bicara welfare state. Maka kebijakan negara, harusnya mengacu pada hajat hidup banyak orang. Tujuannya, apalagi jika bukan untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Ini direpresentatifkan zakat, yang alokasinya terutama ditujukan untuk yang amat kesulitan. Karena itu negara dituntut adil, jelas dan tegas kebijakannya untuk rakyat yang menderita. Agar keutuhan bangsa terwujud, negara tak boleh punya kebijakan berpihak pada segelintir orang. Pihak yang sedikit ini, biasanya terdiri dari yang sukses dan kaya. Negara tak perlu mengurus mereka, karena mereka sebenarnya bisa mengurus diri sendiri.

Paradigma ketiga, eksplorasi kandungan makna zakat. Seperti telah disinggung, sedekah terdiri atas infak, zakat dan wakaf. Agar program pemberdayaan tak mandeg, amil tak boleh terpaku pada zakat saja. Ada infak dan wakaf, yang peran dan fungsinya bisa untuk membangun masyarakat. Maka sedekah harus dieksplorasi. Nabi Muhammad SAW mengajurkan, besarnya infak sedekah sekitar 30%. Dalam 30% itu bukankah ada zakat. Dana zakat 2.5% ini, hanya untuk kebutuhan darurat mustahik. Jangan siasahi asnaf fisabilillah untuk perpustakaan dan bangunan masjid misalnya. Untuk itu ada dana 27.5% yang bisa digunakan untuk pengembangan masyarakat: Untuk sekolah, untuk pasar, untuk masjid, pengajian bahkan untuk pendanaan partai

Perhatikan Al Baqarah ayat 276: ...suburkan sedekah tinggalkan riba... Ini cermin adanya dua kebijakan politik ekonomi penting dalam Islam, yakni diwajibkannya zakat dan dihapusnya riba. Esensinya, jika riba diterapkan, mudharatnya berkembang dahsyat hingga binasalah masyarakat. Perhatikan bila riba diterapkan seseorang, matilah orang lain. Jika dilakukan keluarga, hancurlah keluarga lain. Jika dipraktekkan oleh perusahaan dan bank, berapa banyak industri terjungkal. Maka berapa banyak negara jadi miskin dan terjerat utang bunga berbunga, karena riba diterapkan negara maju bertabir IMF dan Worl Bank.

Perhatikan, padanan lawan riba seharusnya bagi hasil. Tapi mengapa Al Baqarah ayat 276 itu menetapkan sedekah? Jawabnya ada pada Al Hasyr ayat 7, bahwa ...agar harta itu jangan hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kamu... Artinya sedekah jadi instrumen investasi paling mujarab. Untuk itu umat dipaksa dengan diwajibkannya zakat, bahkan dijadikan sebagai satu dari Rukun Islam. Yang kaya tidak boleh hidup asyik dengan kenikmatan sendirian. Ada tanggung jawab sosial, sebagai personal social responsibility. Filantropi dalam Islam, memang terbagi sesuai dengan peran dan fungsinya. Infak receh hanya untuk membantu. Peran zakat untuk mengatasi. Infak non receh diharap bisa memenuhi dan mengembangkan hajat masyarakat. Sedang wakaf dimaksud untuk menguasai asset-asset umat. Semua itu ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Maka siapa berminat berbisnis dengan Allah SWT?

Pondok Pinang
6 Februari 2005






0 Responses to Membangun Dengan Sedekah

= Leave a Reply