RUU Wakaf: Mungkinkah Jadi Revisi UU 38 tahun 1999

⊆ 17.15 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Ada tiga hal menarik dari artikel M. Fuad Nasar dan Ismail Hasani (Republika, 18 September 04) tentang RUU Wakaf. Pertama RUU Wakaf dikritisi agar benar-benar bisa diterapkan. Ke-2 dibahasnya prospek BWI (Badan Wakaf Indonesia). Dan ke-3, kedua penulis bukanlah praktisi. Nah hal ketiga ini yang memilukan. Mengapa para praktisi belum bicara juga. Jika diamnya menganut paham silent is gold, konteksnya tak tepat. Setiap RUU diajukan, disitu titik krusial. Andai merasa tak punya kapasitas, mengapa tak cari pihak yang bisa mengadvokasi. Bila wait and see atau akhirnya pasrah, ini bencana besar. Bisa jadi RUU Wakaf pun dirancang tanpa melibatkan praktisi. Sedang pembahasannya dilakukan pengamat. Lantas, dimana peran para praktisinya.

Tanggal 30 Agustus 04, ada kabar saya diundang dengar pendapat tentang RUU Wakaf pada 31 Agustus 04 di DPR RI. Soalnya bukan sedang berada di luar kota saat itu. Namun hanya satu hari sebelum hari H, tentu memantik soal. Kehadiran saya bukankah hanya diharap jadi satu dari sekian stempel pos saja. Bagaimana mungkin dalam waktu kurang dari 24 jam, draft RUU bisa dipelajari dengan seksama. Masyarakat juga tak paham siapa perancang draft RUU Wakaf. Akhirnya harapan cuma klise. Semoga saja draft RUU dirancang oleh ahlinya.

Kritisi

Secara jeli Fuad Nasar dan Ismail Hasani telah mengkritisi beberapa hal. Apa yang sudah diungkap keduanya tentu tak perlu dibahas lagi. Agaknya keberhasilan disahkannya UU nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, tampaknya mengilhami diajukannya draft RUU Wakaf. Justru di sini soalnya. Mengapa UU nomor 38 tahun 1999 itu, tidak sekaligus mencakup wakaf dan sedekah. Berarti UU Pengelolaan Zakat bukan hanya tak visioner, melainkan juga tidak optimal. Ini bukti tak dilibatkannya orang yang telah bergumul dalam penanganan zakat infak dan wakaf.

Bagi praktisi, azas efisien dan efektif jadi landasan bersikap. Dalam bingkai manajemen, hal zakat infak dan wakaf, sesungguhnya bicara satu paket. Ini dapat ditelusuri dari sisi manfaat, dimana zakat infak dan wakaf memang ditujukan untuk masyarakat. Artinya dari segi filosofis, selalu saja ada masyarakat yang kalah, yang hanya bisa disejahterakan melalui sedekah. Maka Rukun Islam ke-3, jelas-jelas menegaskan zakat. Tak lagi perlu ditambahkan dengan infak dan wakaf. Andai UU 38 tahun 1999 juga mencakup infak dan wakaf, masih perlukah UU yang baru. Tanpa mencari-cari UU yang baru, berapa banyak tenaga, waktu dan biaya yang bisa dihemat.

Pada prakteknya, beberapa LAZ (Lembaga Amil Zakat) toh telah menangani wakaf. DD (Dompet Dhuafa Republika) misalnya, menggunakan wakaf untuk membangun sarana dan prasarana LKC (Layanan Kesehatan Cuma-Cuma) dan membeli gedung sekolah SMART EXELENSIA. Contoh lain, UII (Universitas Islam Indonesia) juga memiliki Badan Wakaf. Sementara pendiri Ponpes Gontor malah telah meleburkan diri dalam Badan Wakaf khusus. Inilah beberapa pihak yang telah bergumul dalam wakaf. Dari praktek lapangan ini, ketajaman dan orisinilitas gagasan pasti akan muncul seiring dengan problem dan tantangan yang harus diselesaikan. How to solve the problem ini yang harusnya tampak kuat dalam draft RUU Wakaf. Jangan sebaliknya RUU bakal melahirkan berbagai problem baru.

Dalam Ketentuan Umum dan Pasal 1 ayat 7, misalnya, tertera: Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk membuat akta ikrar wakaf. Bila yang ditunjuk adalah notaris, mengapa tak langsung saja disebutkan pejabat yang ditunjuk adalah notaris. Jika bukan notaris, berarti harus dibuat kriteria dan persyaratan menjadi PPAIW. Lantas, sungguhkah PPAIW hanya bekerja sekadar mencatat ikrar? Jika ya, alangkah mubazirnya. Pasal ini mencerminkan tak adanya semangat untuk berkoordinasi dengan instansi lain.

Dalam pasal 28, dinyatakan wakaf tunai diserahkan ke LKS (Lembaga Keuangan Syariah) yang ditunjuk Menteri Agama. Pasal ini mengandung dua masalah. Pertama, sosok LKS itu harus dijelaskan definisinya. Kedua penunjukan LKS oleh menteri, dikhawatirkan akan terjadi sumber KKN baru. Yang bisa-bisa akan terjadi monopoli, dikemas dalam bingkai penertiban masyarakat. Ingat tradisi kita selalu “tak tahan” melihat uang dalam jumlah besar. Maka siapa yang bisa melobby perancang draft RUU atau langsung pada menteri, bisa dipastikan LKS-nya jadi pemenang.

RUU Wakaf juga mewajibkan tiap wakaf harus didaftarkan pada pemerintah. Selanjutnya pemerintah yang akan mengumumkan pada masyarakat. Tujuan ini baik agar terjadi transparansi. Dengan transparan masyarakat dilibatkan langsung, hingga meminimalisir penyimpangan. Yang perlu diwaspadai dan harus dijabarkan tuntas, siapa yang akan membiayai pengumuman itu. Pemerintah tak punya uang. Jika dibebankan pada nazhir, ada tiga problem muncul. Pertama cara ini memberatkan masyarakat yang diwakili nazhir. Kedua memantik ajang transaksi pungli. Dan ketiga secara psikologis akan mengkondisikan demotivasi pada nazhir.

Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Dibanding UU 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, draft RUU Wakaf sudah step ahead. Khususnya mengancik pada Pembentukan BWI. Hanya semangat pembentukan BWI masih sebatas wacana. Perhatikan beberapa problem yang akan muncul. Pertama kedudukan BWI dikatakan independen. Sebagai lembaga independen, BWI harus full power. Jika BWI di bawah Menteri Agama, kedudukannya tidak kuat karena wakaf juga merambah wilayah lain. Wakaf tanah misalnya, tentu melibatkan BPN (Badan Pertanahan Nasional). Untuk full power, seharusnya BWI langsung di bawah koordinasi Presiden atau Wapres.

Namun problem kedua muncul. Alangkah mubazirnya dengan kedudukan strategis itu BWI hanya mengurus wakaf saja. Maka BWI harus juga mengelola zakat dan infak. Nama lembaga bisa dipertahankan tetap BWI atau jadi BIZWI (Badan Infak Zakat dan Wakaf Indonesia). Tapi soal lain pun muncul, bukankah di Indonesia telah ada BAZNAS (Badan Ami Zakat Nasional). Inilah seperti yang diungkap di atas, karena UU 38 tahun 1999 hanya bicara zakat, maka perlu ada UU Wakaf. Beberapa tahun kelak, niscaya akan diajukan pula draft RUU Sedekah .

Zakat infak dan wakaf yang bisa disederhanakan dalam satu paket, kini kusut masai. Masing-masing bicara sendiri-sendiri. Ini bukti lagi bahwa masyarakat kita memang sulit untuk bisa kerja sinerjis. Ukhuwah umat masih sebatas jargon. Mengapa, karena kita tenggelam dalam wacana. Padahal bicara zakat infak dan wakaf, landasannya adalah sedekah. Menyisihkan apa yang dimiliki, untuk kepentingan masyarakat banyak. Maka, jika draft RUU Wakaf disahkan, problem di lapangan bakal menjadi-jadi.

Problem ketiga terletak pada campur aduknya peran BWI. Satu peran BWI ditugasi jadi regulator, di sisi lain BWI juga harus mengelola wakaf internasional. Bandingkan dengan BI (Bank Indonesia). Mungkinkah BI sebagai regulator, juga harus mencari nasabah untuk BI. Lantas, bagaimana definisi wakaf internasional? Jikapun akhirnya didefinisikan, di lapangan cenderung terjadi pengabaian. Sebab jika bisa mengelola wakaf dalam negeri, mengapa BWI harus berdiam diri.

Problem keempat, siapa sesungguhnya yang harus mengelola wakaf internasional itu. Nazhir di luar BWI, telah tertutup kemungkinannya mengelola wakaf internasional. Sementara bila BWI yang harus mengelola, BWI yang mana. Sebab BWI pun didirikan berjenjang. Ada BWI tingkat nasional, BWI tingkat propinsi, BWI tingkat kabupaten dan BWI tingkat kecamatan. Dengan mudah kita katakan, itu jatah BWI nasional. Namun BWI Medan atau BWI Batam akan protes: Malaysia dan Singapura jauh lebih dekat ketimbang ke Jakarta.

Problem kelima, dengan pembentukan BWI di tiap tingkatan, siapa yang akan membiayai operasionalnya. Sebagai perbandingan, jika BAZ tidak berada dalam wilayah Depag, dipastikan tidak akan bisa operasional. Maka, bila BWI juga harus dibiayai Depag, mengapa tidak digabungkan saja pengelola zakat infak dan wakaf. Penyatuan ini bukan hanya efisien dan efektif, tapi visioner karena mencoba memangkas problem yang akan muncul kelak.

Pada pasal 11, ditetapkan bahwa nazhir harus melapor pada BWI. Problem keenam muncul, BWI yang mana? Bagaimana dengan nazhir wakaf yang telah meraksasa seperti berbagai lembaga pendidikan dan rumah sakit Muhammadiyah. Haruskah melapor pada BWI tingkat kecamatan? Mohon maaf, jangan-jangan perangkat BWI di kecamatan sebagai regulator jauh kualitasnya dibanding nazhir di Muhammadiyah. Jika demikian, bukankah klausul ini hanya indah di wacana saja. Lalu untuk apa kita berpayah-payah merumus bab yang membetot pada problem lanjutan. Jika BWI memang ingin jadi regulator, tetapkan saja BWI hanya ada di tingkat nasional dan propinsi. Jika BWI ingin eksekutor, jangan ditetapkan nazhir harus melapor pada BWI.

Pasal 61, pertanggung jawaban BWI dilakukan melalui audit oleh lembaga audit independen. Problem ketujuh muncul, siapa yang mengaudit BWI sebagai regulator? Apakah BI juga diaudit?

BWI, BAZ dan BAZNAS

Kini bandingkan BWI, BAZ (Badan Amil Zakat) dan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Pembentukan BWI di tingkat propinsi hingga kecamatan, mirip pembentukan BAZ. Sedang BWI tingkat nasional setara dengan BAZNAS. Semangat pembentukannya sama. Perbedaan utama hanya terletak pada peran BWI yang campur aduk antara regulator dan eksekutor. Sedang dari BAZNAS hingga BAZ kecamatan, semuanya ingin jadi eksekutor.

Yang menarik tentu membandingkan BWI dengan BAZNAS. Andai peran BWI nasional dikonsentrasikan pada regulator, posisi ini jauh lebih baik ketimbang BAZNAS. BWI nasional jadi strategis, berwibawa dan terhormat hingga mampu mengarahkan seluruh nazhir wakaf di Indonesia. Pembentukannya langsung oleh SK Presiden RI. Tapi BWI nasional jangan ikut-ikutan kelola wakaf. Jangan biarkan BI juga mencari nasabah. Pasti kisruh bukan. Untuk pengelolaan serahkan pada BWI propinsi hingga kecamatan, serta nazhir di masyarakat.

BAZNAS satu-satunya BAZ yang dibentuk melalui SK Presiden, mengabaikan peran strategis itu. BAZNAS lebih ingin bermain sebagai pengelola zakat. Dari segi derajat, BAZNAS merendahkan diri seperti BAZ dan LAZ yang bahkan gurem sekalipun. Maka pada prakteknya, BAZNAS dengan SK Presiden, kinerjanya tak lebih baik ketimbang beberapa LAZ. Kekeliruannya bukan terletak pada pengelola BAZNAS. Melainkan pada rumusan UU 38 tahun 1999, bahwa BAZNAS harus operasional. Seharusnya dengan SK Presiden, BAZNAS harus dirumuskan menjadi regulator. Bagi BAZ, LAZ dan BAZNAS saat ini, sama-sama harus mencari lembaga regulatornya.

Jika BWI ingin memerankan sebagai regulator termasuk mencakup pengelolaan zakat dan infak, ada beberapa syarat. Pertama, peran eksekutor BWI nasional dihilangkan. Kedua, lebur BAZNAS ke dalam BWI. Ketiga revisi draft RUU Wakaf, tambahkan sekaligus mencakup pengelolaan zakat dan infak. Dengan kata lain, mungkinkah draft RUU Wakaf adalah revisi dari UU 38 tahun 1999. Soal sulit, itu pasti. Tetapi bukankah merumus draft RUU Wakaf juga sulit. Ini sebuah pilihan. Lebih baik sulit untuk efisien dan efektif. Atau kita memang lebih suka makin ruwet karena setelah RUU Wakaf disahkan, pasti akan terjadi gesekan di banyak lembaga yang sebenarnya punya tujuan sama.

Kualifikasi Nazhir

Satu hal yang sulit di lapangan adalah mencari nazhir yang profesional. Hampir-hampir tak terdengar ada warga Indonesia yang telah sukses mengelola wakaf. Jika ada lembaga yang telah mengelola wakaf, namun belum tampak hasilnya pada penerima manfaat wakaf. Nazhir harus memiliki karakter social entrepreneur. Menjalankan usaha untuk kepentingan masyarakat, sesuai pesan wakif. Dalam pengelolaan zakat dan infak, social entrepreneur harus teguh pada amanah yang diemban.

Nazhir dan amil, suatu profesi yang tak beda. Keduanya merupakan pengelola mewakili pemilik. Siapa pemilik wakaf dan zakat infak? Setelah diserahkan oleh wakif dan muzaki, kepemilikan itu telah diserahkan pada masyarakat. Inilah redistribusi asset yang tidak pernah menimbulkan guncangan ekonomi dan politik. Tapi itu menjadi guncangan bila nazhir atau amilnya menyimpangkan pemanfaatan asset.

Nazhir, amil dan pejabat negara juga tak beda. Perbedaannya barangkali nazhir dan amil belum cakap. Sementara untuk mengatasi problem SDM, pemerintah mengangkat kalangan bisnis jadi pejabat. Ini tindakan tepat. Lebih-lebih jika pada pejabat di kalangan bisnis dicamkan bahwa pemerintah adalah lembaga nirlaba. Ada rakyat sebagai stakeholder yang harus dilayani. Berbeda dengan perusahaan yang dimiliki oleh shareholder, kepentingannya cuma satu yakni melayani pemilik perusahaan. Tanpa pemahaman visi ini, negara berada dalam bahaya. Dan itulah yang terjadi. Bagaimana mungkin berbagai asset BUMN dijual. Keuntungan yang sesungguhnya untuk kepentingan jalannya pemerintahan dan rakyat, kini disedot pihak asing. Juga tak mungkin nazhir dan amil, akan menjual asset-assetnya. Jika penjualan asset itu karena bodoh, negara pun tetap bangkrut. Lebih-lebih jika dilandasi dengan adanya kepentingan.

Draft RUU Wakaf sudah diajukan. Pastikan kita harus punya visi jauh ke depan. Namanya juga UU, bukankah memang harus dipersiapkan ke sana. Hindari kebiasaan kita yang suka mengadakan perhelatan. Untuk sampai pada dengar pendapat, tentu dibutuhkan enerji perhelatan luar biasa. Maka isi draft RUU juga harus sama baiknya dalam memahami kebutuhan generasi mendatang. Jangan sampai setelah perhelatan usai, tak ada yang peduli siapa yang harus membongkar panggung dan mencabut paku terakhir. Tak ada yang peduli siapa yang harus membersihkan sampah-sampahnya. Yang lebih mengkhawatirkan, tak ada yang peduli pada bagaimana isi dan implementasi dari UU yang telah disahkan. UU nomor 38 tahun 1999 jadi bukti. Setelah disahkan, pengelolaan zakat di Indonesia belum memperlihatkan hasil yang signifikan.

Belajarlah dari pengalaman. Simak dari orang-orang yang telah jatuh bangun mengelola zakat infak dan wakaf. Seperti pepatah Cina mengatakan: Jika hendak membongkar pagar, tanyalah pada orang yang membangunnya. Artinya jika hendak membuat pagar, tanyalah pada orang yang telah terengah-engah membangun pagar.

Pondok Pinang

September 2004




0 Responses to RUU Wakaf: Mungkinkah Jadi Revisi UU 38 tahun 1999

= Leave a Reply