Zakat Ramadhan Yang Terlambat Selesaikan Soal

⊆ 16.22 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Ramadhan memang bulan penuh berkah. Ajaib karena ratusan kali lipat ganjaran kebajikannya. Maka tiap muslim berlomba meningkatkan ibadah. Yang tadinya makan cuma paket hemat, untuk buka puasa jadi paket istimewa. Lebih beragam, lebih bergizi dan lebih banyak. Yang tadinya shalat wajib ditunda-tunda, di Ramadhan masjid kantor penuh sesak dipadati jamaah. Yang tadinya pulang kantor santai-santai, kini dipercepat karena ingin buka. Yang tadinya enggan dzikir usai shalat, kini tafakkur pun dicoba berjam-jam. Yang tadinya al-Quran jarang disentuh, di Ramadhan disimak lebih khusyu.

Singkatnya Ramadhan adalah bulan penuh kegembiraan. Bahkan ‘tidur pun berpahala’ kata mereka tersenyum sambil merebahkan diri. Tentu saja, karena yang tidur sedang berpuasa. Apakah tidur di luar Ramadhan tak punya pahala? Ada. Asal tidurnya dimulai dengan doa, atau minimal melafal basmallah. Tapi jangan mentang-mentang puasa, tidur pun dipaksa-paksa. Ini namanya dalih. Semua orang juga sepakat, bahwa lebih baik tidur dari pada ghibah atau melihat hal-hal yang merusak puasa.

Semua juga sepakat, untuk mendapat kebajikan, tentu ada ilmunya. Tapi sebagian tak paham, ilmunya seperti apa dan bagaimana menjalankannya. Dalam pandangan Ibnu Qayim, ada ibadah yang akhirnya jadi maksiat. Niatnya puasa, tapi jadi maksiat karena misalnya kebiasaan tidur diubah. Usai Tarawih begadang. Lantas tidur dimulai jam 8 pagi hingga Ashar, dengan diselipi bangun untuk Sholat Dzuhur. Niatnya ibadah tapi caranya keliru. Maka hasilnya sia-sia.

Dalam persepsi yang lebih luas, pandangan Ibnu Qayim bisa kita terapkan di banyak aspek kehidupan. Masjid misalnya, kita selalu berharap bisa jadi tempat pusat dakwah. Niatnya ibadah. Namun jadi maksiat karena praktiknya keliru. Pengeras suara yang hanya lazim dan terbaik digunakan saat adzan, digunakan dalam setiap acara masjid. Celakanya kualitas radio dan speaker di bawah standar. Suara kreseeek... kreseeek... tak mengondisikan suasana jadi khidmat. Bahkan cetak cetek kaset disetel pun sampai terdengar menjelang Sholat Jumat. Maksudnya baik, jamaah diingatkan dengan kaset lantunan ayat Al Quran. Tapi karena volumenya ditingkatkan, niat ibadah jadi mengganggu masyarakat sekitar.

Di hari Sabtu dan Ahad, masjid digunakan untuk pengajian. Baik untuk remaja, ibu-ibu maupun bapak-bapaknya. Dari pagi hingga sore. Terkadang malamnya dilanjut dengan dzikir bersama. Semua acara itu menggunakan pengeras suara. Alih-alih mencari suasan hening agar siraman kalbu jadi pas, masjid malah jadi gaduh. Pengurus masjid tak mau tahu warga sekitar. Barangkali menutup mata pada anak-anak yang sakit dan orang tua yang butuh ketenangan. Warga sekitar masjid disamakan dengan pengurus masjid. Mereka dianggap sama sehat dan sama-sama siap mendengar pengeras suara sekeras apapun. Jika sudah begini, warga mana yang berani memberitahu bahwa itu mengganggu. Sehalus apa pun bahasa yang digunakan, warga yang protes dituding menghambat syiar Islam.

Rasulullah Saw mengingatkan, hak warga adalah tak mendapat gangguan dari tetangga. Lantas masjid dengan cara ibadah seperti itu, bukankah malah menciptakan kegaduhan. Bahkan dengan volume speaker yang ditingkatkan sekeras-kerasnya, niat masjid jadi pusat aktivitas berubah jadi pusat kegaduhan. Maka astagfirullah, masjid jadi pusat pengganggu ketenangan warga di sekitarnya. Niatnya ibadah malah jadi pusat gangguan. Apakah ini namanya juga maksiat. Coba perhatikan. Mengapa sebagian tanah dan rumah di sekitar masjid jadi murah harganya.

Kembali ke Ramadhan. Beberapa tahun belakangan, di beberapa perumahan elit di pinggiran Jakarta, berpuluh-puluh gerobak di parkir di tepi jalan. Tikar dibentang di samping gerobak, anak isteri pun duduk menyertai. Apa yang mereka lakukan? Semua meminta sedekah. Mengapa? Karena di Ramadhan orang-orang kaya lebih banyak menyisihkan rezeki. Tradisi baru di pertengahan Ramadhan telah dimulai, berduyun-duyun orang-orang dari berbagai pelosok, yang miskin dan merasa miskin, turun ke kota-kota besar. Ramadhan jadi saat terbaik, saat paling sah dan saat tak ada lagi rasa sungkan untuk meminta sedekah.

Fenomena seperti ini bisa baik dan juga buruk. Baik karena sedekah dianjurkan di perbanyak di Ramadhan. Tetapi jadi buruk karena itu indikasi bahwa di luar Ramadhan, sedekah amat minim. Apakah gejala ini punya arti? Tentu saja. Dalam fenomena ini ada dua (2) gejala yang bisa disimak. Pertama di strata muzaki, kehidupan bersedekah tetap berjalan tidak sehat. Di Ramadhan, sebagian muzaki mengeluarkan uang bukan lagi jutaan bahkan hingga ada yang mencapai ratusan juta rupiah. Sementara di luar Ramadhan, mereka cuma bersedekah recehan seribu dua ribu

Sedang di lapis masyarakat jelata, mereka dibiarkan disiksa kemiskinan 11 bulan lamanya. Mereka diremas, disayat dan diremuk kemiskinan. Nyaris tak ada orang miskin yang tak punya utang. Maka pada siapa lagi harus utang. Karena harus tetap hidup, apapun dilakukan. Dari mengemis, mengais sisa makanan, mencuri, jadi pengedar narkoba bahkan hingga jatuh dalam sindikat pelacuran. Hanya sekadar untuk makan. Untuk bayar SPP yang sekian puluh ribu, jumlahnya sudah teramat besar. Bandingkan, bagi muzaki uang puluhan ribu adalah HANYA. Tapi bagi si miskin uang puluhan ribu adalah BESAR.

Saat Ramadhan tiba, uang yang diperoleh melimpah-ruah. Tapi bukankah sudah terlambat. Katakan di Ramadhan mereka dapat satu juta rupiah, bisakah uang itu mengembalikan masa depan mereka?. Jika ada istilah ‘tak ada kata terlambat’, disinilah pameo itu terjungkal. Sudah sekian lama pilar-pilar keluarga miskin hancur. Sekolah tak lagi bisa dikembalikan, sudah ditinggalkan anak-anak mereka sekian bulan yang lalu. Kini sebagian bertebar di jalan sebagai anak-anak jalanan. Yang di rumah pun tak lagi punya semangat sekolah. Malu dan merasa tak lagi mampu. Atau untuk apa sekolah, toh nanti juga bakal menunggak lagi uang SPP

Data penghimpunan dana ZIS di berbagai LAZ (Lembaga Amil Zakat), rata-rata tercatat 50-an persen dana diperoleh di Ramadhan. Dalam kalkulasi contoh, katakan satu LAZ menghimpun dana total Rp 10 miliar per tahun. Separuhnya dihimpun hanya di Ramadhan. Separuh yang lain dihimpun di 11 bulan. Di luar Ramadhan, berarti tiap bulan LAZ tersebut menghimpun dana sekitar Rp 500 jutaan. Bandingkan, 5 milyar dengan setengah milyar adalah 1 banding 10.

Bersedekah banyak-banyak di Ramadhan memang anjuran. Namun mengapa jumlahnya amat berbeda dibanding di luar Ramadhan. Logika 1 banding 10 jelas tak wajar. Tingkatkanlah dengan persentase yang wajar, 20-an persen misalnya. Sebab 1 banding 10, indikasi bahwa ada dana yang ditahan untuk diberi di Ramadhan. Maka sudah saatnya LAZ, BAZ, BAZNAS dan para ustadz merubah strategi dakwah sedekah. Katakan, dalam bersedekah jangan mengharap pahala melulu. Tapi haraplah ridho Allah swt. Jika pahala yang diharap tak diberi, muzaki kecewa. Ingat, pahala itu tak akan menyelamatkan muzaki. Pahala kita tak bakal mengalahkan nikmat yang diberikan Allah. Sementara dosa yang kita perbuat, juga hanya dapat diampuni karena ridho Allah. Yang menyelamatkan, memang ridho Allah. Bukan

Maka bagaimana Allah ridho, jika hamba-hamba-Nya yang miskin hanya jadi obyek pahala kalangan orang kaya. Bagaimana Allah ridho, banyak kalangan miskin tak lagi bisa sekolah, berutang kemana-mana dan makin menderita karena muzaki menahan ZIS-nya hingga Ramadhan. Bagaimana ridho Allah bisa turun, jika muzaki ber-ZIS karena hanya beraharap pahala. Berarti bukankah itu gambaran ego muzaki. Tanpa iming-iming pahala beratus kali lipat, apakah muzaki mau ber-ZIS di Bulan Ramadhan? Jika hanya ridho Allah yang dicari, apa pun keputusan Allah, kita ikhlas menerima. Dengan menomorsatukan ridho Allah, tentu bukan hanya pahala melainkan rahmat dan berkah yang akan dikucurkan.

Ya Allah, ampuni kami. Aamiin.

Synergy Center

Ring Road Barat 1

Yogyakarta


0 Responses to Zakat Ramadhan Yang Terlambat Selesaikan Soal

= Leave a Reply