Agenda Yang Tak Kunjung Usai

⊆ 16.33 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 1 komentar »


(Bagian ke-1 dari 2 Tulisan)

Forum Zakat (FOZ) baru saja menggelar mukernas ke-3 di Balikpapan, Kaltim, 25 – 27 April 2003. Sayang pertemuan akbar dengan peserta 270-an orang itu tenggelam dalam hingar bingar Inul. Para peserta berasal dari berbagai pelosok Indonesia, terbagi atas 3 kategori. Pertama yang mewakili BAZ (Badan Amil Zakat) yang dibentuk pemerintah berjumlah 58. Kedua LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang muncul dari masyarakat berjumlah 35. Ketiga utusan non-BAZ dan LAZ berjumlah 43 lembaga. Utusan ini berasal dari Depag, Pemda, kalangan perbankan, perusahaan, akademisi dan lembaga independen lainya. Dan tampaknya tiap-tiap lembaga, mengirim wakilnya lebih dari satu orang.

Ada hal menarik namun ada juga yang mengkhawatirkan. Yang menarik di mukernas ini, pertama temanya yaitu: “Amandeman UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat”. Hal kedua yang menarik, yang membicarakan merupakan lembaga-lembaga yang paling representatif bicara zakat. Di antara BAZ, hadir BAZIS DKI dan Baznas. Dibanding BAZ lain yang dibentuk pemerintah, BAZIS DKI merupakan lembaga terbesar. Tahun 1997 saja BAZIS DKI mampu menghimpun dana sekitar Rp 10 milyar meski belakangan menyurut. Sedang Baznas merupakan bayi sehat karena lahirnya di-SK-kan oleh Gus Dur saat menjabat Presiden RI.

Dari lembaga yang dikreasi masyarakat, hadir seluruh LAZ besar seperti DD (Dompet Dhuafa) Republika, PKPU (Pos Keadilan Peduli Umat), Rumah Zakat DSUQ (Dompet Sosial Umul Quro) Bandung, BMM (Baitul Mal Muamalat) dan YDSF (Yayasan Dana Sosial Al Fallah) Surabaya. Bila diukur dari perolehan dana, untuk tahun 2002 saja, DD telah menghimpun dana lebih Rp 20 milyar. Sementara PKPU menghimpun Rp 6,7 milyar, DSUQ Rp 5 Milyar, BMM Rp 4,3 milyar dan YDSF Rp 6 milyar. Lembaga zakat dari perbankan juga hadir, di antaranya BAMUIS BNI, YBM BRI serta BSM Umat, yang masing-masing juga telah menghimpun dana milyaran per tahun.


Seputar UU 38 tahun 1999

Kabarnya, keinginan mengeluarkan UU tentang Zakat telah terpendam cukup lama. Entah, apakah drafnya sudah ada. Jika ada UU yang digagas sejak puluhan tahun silam itu, apakah sama dratfnya dengan UU 38 tahun 1999 ini. Jika sama alangkah sayangnya. Jika berbeda, dimana bisa dijumpai UU yang telah lama dirancang itu. Atau itu baru sekadar niat membuat UU tentang Zakat tanpa pernah menyiapkan draft RUU-nya.

Kini Alhamdulillah UU 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah disahkan. Tapi astaghfirullah UU ini seolah berjalan di tempat, tak efektif mengkondisikan masyarakat buat berzakat. Salah satu kuncinya memang terletak pada tim suksesi UU. Tak ada pembagian peran di tim suksesi, berakibat pada babak belurnya implementasi. Problem implementasi bukan cuma karena kesulitan berkampanye, yang tak kalah penting justru berkait dengan isi UU. Ada beberapa klausul UU yang mengabaikan kebutuhan masyarakat, khususnya lembaga yang telah eksis mengelola zakat. Itu terjadi karena adanya tradisi merasa selalu benar hingga cenderung memaksa kehendak. Pendapat luar dianggap liar yang akan merusak rencana. Persoalan tak dapat dideteksi, hingga masalahnya matang. Dan menanganinya cenderung cuma memadamkan api.

Maka UU 38 tahun 1999 memang memprihatinkan. Pendapat luar yang diabaikan itu kini menuai masalah. Kebutuhan masyarakat yang diabaikan, mengkondisikan masyarakat pun tak peduli pada UU. Ada atau tidak ada UU sama saja. Jadi begitu UU disahkan, eksistensinya langsung terlecehkan. Lebih-lebih UU itu hanya menjadikan zakat sebagai PPKP (Pengurang Penghasilan Kena Pajak), belum jadi pengurang pajak. Muslim yang kaya tetap terkena dua kali kewajiban, sama seperti sebelum ada UU. Maka jadi beralasan, apakah itu jadi penyebab mengapa UU tidak memberi sanksi kepada ingkar muzaki (muslim kaya yang tak mengeluarkan zakat). Inilah problem utama UU 38 tahun 1999.Jika demikian sedari awal perancang UU sadar telah memandulkan kekuatan UU. Maka ditinjau dari segi hukum, untuk apa UU 38 tahun 1999 dikumandangkan sebagai UU?

Soal sanksi, UU hanya memberikan pada LPZ (Lembaga Pengelola Zakat) yang menyimpang. Agaknya ini langkah awal membenahi lembaga sebelum total masuk ke masyarakat. Namun justru di sini juga jadi titik kritis UU. Dalam kondisi bad trust society, UU mengizinkan pemerintah membentuk BAZ tanpa fit and propper test. Dengan kemudahan pembentukan BAZ bahkan hingga tingkat kecamatan, lembaga yang dibentuk pemerintah cuma formalitas. Sisi profesional dikesampingkan, akibatnya bakal buruk. Maka sejak lahir BAZ berpotensi kena sanksi. Jatuhnya sanksi bukankah tak harus menyimpangkan uang. Lantas, bagaimana mekanismenya UU harus memberi sanksi dengan menutup begitu banyak BAZ yang masih lelap tidur?

Bandingkan dengan LAZ yang musti memenuhi persyaratan. Sebelum UU lahir, sejumlah LAZ yang lebih dulu lahir, telah melakukan fit and propper test pada calon-calon pengelolanya. Mereka bukan hanya diseleksi latar belakang pendidikan, juga dipantau pengalaman kegiatannya. Calon-calon ini direkruit melalui lembaga konsultan dan ditest tertulis. Dengan cara ini, pengetahuan, kemampuan dan ketrampilannya dapat dideteksi. Terakhir mereka pun diwawancara melalui beberapa tahap untuk mengetahui sosok sesungguhnya. Tetapi tahapan rekruiting ini dimentahkan kembali oleh Depag. Sebab Menteri Agama sendiri telah mengukuhkan beberapa LAZ perusahaan dan LAZ “berbasis proyek”. Padahal FOZ belum merekomendasinya. FOZ menegaskan, LAZ yang minta dikukuhkan harus membuktikan kredibilitasnya selama 2 tahun. Namun penegasan tersebut tak berarti apa-apa karena adanya kedekatan hubungan.

Dalam hal pembentukan kelembagaan ini, UU 38 tahun 1999 juga punya masalah besar. Menurut salah seorang direktur LAZ berbasis bank syariah, posisi Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) secara otomatis mementahkah kerja keras masyarakat. Memang di saat draft RUU Pengelolaan Zakat didiskusikan tahun 1998-99, FOZ telah mengingatkan agar peran, fungsi dan tugas Baznas tidak operasional. Posisi Baznas diharap bisa menjadi regulator independen bagi BAZ dan LAZ, seperti layaknya BI (Bank Indonesia) bagi dunia perbankan. BI tidak turun operasional menghimpun dana masyarakat seperti bank-bank yang lain. Marie Muhammad yang menolak ditawari jabatan Ketua Baznas, pun menegaskan Baznas tak boleh menghimpun dan mendayagunakan zakat.

Namun perancang UU 38 tahun 1999 tampaknya punya keyakinan lain, bahwa dengan beroperasi Baznas akan bisa menyatukan serta jadi pusat BAZ dan LAZ. Dengan demikian akan terhimpun dana dalam jumlah besar. Lalu pemanfaatan pun bisa berjalan maksimal. Logika berpikir linear begini memang masuk akal. Apalagi jika dikalkulasi secara matematis tentang potensi zakat di Indonesia. Potensi adalah wacana, yang jadi serba indah dan menarik hanya untuk diandai-andaikan. Namun jangan lupa potensi itu bakal destruktif karena ketidakprofesionalan.

Agenda Yang Tak Kunjung Usai

(Bagian Terakhir dari 2 Tulisan)

Benchmarking

Tim perancang UU Pengelolaan Zakat, selalu mem-benchmark pengelolaan zakat Malaysia. Namun apa yang hendak dipelajari, karena Mahathir mampu mendongkrak kemakmuran tanpa dana zakat. Rakyat Malaysia yang miskin ada, tapi jumlahnya tidak signifikan. Karena makmur, menurut Baitul Maal Kuala Lumpur, orang miskin di Kuala Lumpur hanya berjumlah 8.000 KK. Karena makmur ukuran tingkat kemiskinan di Malaysia pun masih jauh lebih baik ketimbang di Indonesia. Bagi warga Malaysia yang berpenghasilan di bawah RM 700, mereka berhak atas dana zakat.

Di Malaysia, negara tidak mengelola zakat secara terpusat dan bersifat nasional. Malaysia yang terdiri atas beberapa negeri, mempersilakan masing-masing negeri bagian mengelola zakatnya. Jika pengelolaan di Kuala Lumpur yang dilihat, itu hanya untuk wilayah Kuala Lumpur. Penanganan zakat di ibu kota Malaysia ini, dibedakan atas 2 fungsi. Untuk penghimpunan diserahkan murni pada swasta yakni PPZ (Pusat Pungutan Zakat). Setelah diambil haknya oleh PPZ, total dana zakat itu diserahkan pada Baitul Maal di bawah Kementerian Ugama Malaysia. Lantas Baitul Maal yang juga mendapat kucuran dana dari pemerintah Malaysia, mendayagunakan dana tersebut di sekitar Kuala Lumpur. Mengingat kemiskinan di Kuala Lumpur jumlahnya sedikit, dana Baitul Maal yang berlebih dialokasikan untuk investasi bisnis seperti real estate.

Dari buku tamu, tercatat cukup banyak pejabat dan warga Indonesia yang berkunjung ke PPZ. Sejak tahun 80-an kita melakukan studi banding, namun apa yang sesungguhnya hendak ditiru mengingat pengelolaan zakat Indonesia datar-datar saja. Sebaliknya Malaysia musti memahami terpuruknya Indonesia. Jika itu sebagai benchmark Malaysia pada Indonesia, negara jiran ini harus paham kiat-kiat pemerintah Indonesia memproduksi kemiskinan secara massal. Mereka musti belajar terperangah, karena kemiskinan telah jadi kekayaan Indonesia. Mereka juga musti paham, bagaimana masyarakat Indonesia mencoba mengatasi kemiskinan itu. Mereka pun harus menghayati salah satu kultur birokrasi Indonesia, yang selalu menempatkan masyarakat sebagai pesaing. Mereka pun musti belajar membiasakan diri dilecehkan, sebagai bangsa dengan SDA melimpah namun selalu silau pada bule-bule hingga SDA itu dinikmati mereka. Malaysia pun harus belajar jadi “raja tega” dan tebal muka, membiarkan rakyatnya yang miskin memecahkan soal kelaparannya sendiri hingga jadi TKW dan TKI di negeri orang.

Tak Perlu UU (?)

Banyak hal menarik dari mukernas ke-3 FOZ ini. Jumlahnya yang ratusan orang sesungguhnya merupakan sebuah kekuatan. Sayangnya 70% peserta berusia di atas 50-an tahun. Juga separuh peserta, tampaknya merupakan wajah-wajah baru. Maka dalam usia yang tak lagi produktif namun baru mulai memahami dunia zakat, kendalanya jadi makin kompleks saat mencoba how to operate. Sudah tiga kali mukernas digelar. Selama itu pula peserta yang silih berganti dengan keawamannya, beradu argumen dengan peserta yang telah bertahun-tahun mengelola zakat. Dengan heterogenitas peserta yang tajam, rekomendasi dua kali mukernas selalu saja setengah hati.

Untuk mengatasi soal itu, kali ini FOZ cukup cermat menempatkan pembicara mengamademeni UU 38 tahun 1999. Tema amanedemen digiring melalui 3 pendekatan, yakni sisi hukum, institusi dan agenda kebinet mendatang. Dalam isu ke-1, UU Pengelolaan Zakat dicoba dikritisi agar maksimal perannya. Sebagai pembicara dihadirkan 3 wakil dari Menkeh dan HAM, Direktur Zakat dan Wakaf Depag serta wakil dari PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Isu ke-2 tentang institusi diangkat oleh 3 pembahas yakni Menko Kesra, wakil PPP dan Direktur SDM Telkom. Isu terakhir tentang agenda kabinet mendatang, dibahas juga oleh 2 pembicara yakni dari PAN diwakili Abdilla Toha dan pengamat ekonomi sosial yakni Sunarsip.

Dalam hal amanden direktur Zakat dan Wakaf, H. Tulus menegaskan bahwa UU 38 tahun 1999, tak perlu diamandemen. Sebaliknya Djamal Doa yang mewakili PPP, mengatakan UU itu perlu sekali diamandemen. Dalam hal esensi, zakat sebenarnya merupakan ibadah langsung antara manusia dengan Allah SWT. Maka kata Menko Kesra, Jusuf Kalla, tak perlu ada aturan apalagi dengan membuat UU untuk mengelola zakat.

Sebagian peserta mukernas terhenyak. Sebagai Menko Kesra, Jusuf Kalla diharap dapat menjembatani dead lock soal UU zakat. Namun sebaliknya pendapat itu justru menjadi amat tidak produktif. Tiga kali mukernas FOZ, semuanya seolah jadi sia-sia. Pendapat itu juga mementahkan tersaruk-saruknya perjuangan melelahkan agar zakat bisa lebih berwibawa dengan telah disahkannya UU 38 tahun 1999. Memang muzaki dapat memberi langsung pada mustahik, seperti yang dikatakan Jusuf Kalla mencontohkan dirinya. Tetapi berapa besar prosentase keberhasilannya. Jika kecil keberhasilannya, pemberian langsung bukankah hanya jadi pelestari kemiskinan.

Ironis

Bicara zakat memang bicara ketidakadilan. Di kalangan praktisi zakat, UU itu jadi sesuatu yang sakral. Namun bagi pihak pemerintah, UU tampaknya hanya dipandang sebelah mata. Itupun dengan mata kuyu bersinar 5 watt. Jadi orang miskin di Indonesia amat cilaka, karena keberpihakan pada mereka amatlah minim. Alih-alih kalangan fakir miskin ini dapat santunan, sebagai TKW dan TKI mereka malah jadi sumber perahan. Program penganggulangan kemiskinan bagi mereka, juga malah jadi bancaan kalangan terpelajar.

Maka pandangan tidak perlunya ada UU tentang zakat seperti UU 38 tahun 1999, memang lebih mencarut marut perzakatan Indonesia. Agenda ini bukan lagi tak akan pernah usai, malah jadi lebih kompleks. Entah siasah apa yang bakal distrategikan oleh para praktisi zakat di BAZ dan LAZ. Juga bagaimana FOZ dengan IMZ (Institut Manajemen Zakat) sebagai think tank-nya menyikapi hasil mukernas ke-3. Yang pasti di kabinet 2004 mendatang, perjuangan zakat mustinya tak lagi sepi. Sebab ada wakil-wakil dari PKS, PPP dan PAN yang bicara tentang zakat dan kemiskinan. Dengan catatan, masih bisakah partai-partai dipercaya. Wallahu’alam.

Pondok Pinang
November 2003





One Response to “Agenda Yang Tak Kunjung Usai”

  1. admin Says:
    ass, kang Eri. Sangat inspiratif dan menggugah hati saya tulisan antum. Mohon izin untuk mencopy tulisan antum buat saya buat buletin/ majalah islam. Saya akan tetap mencantumkan nama narasumber. Mohon dibalas ke: albarqinews@gmail.com. Majalah AlbarQi sms/telp (0271)5882722,0271 9135262

= Leave a Reply