Sedekah Yang Membawa Bencana

⊆ 15.47 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Astaghfirullah, di Ramadhan ini masih ada kabar orang miskin makin terhina. Padahal di tahun silam, Ramadhan yang penuh berkah jadi saksi, fakir miskin remuk harkatnya karena mati terinjak-injak saat antri pembagian zakat. Kali ini memang tak ada yang wafat. Namun, bukankah itu bukti, hikmah kerap diabaikan. Pengalaman kemarin, selalu berlalu tanpa makna. Zakat yang langsung dibagikan memang mulya. Tapi bukan itu yang disoal. Prosesnya yang jadi masalah. Mengapa dalam antrian, tak disiasahi agar tetap nyaman. Tak perlu berdesakan, misalnya. Atau mungkin juga, kenapa mereka dibiarkan berdiri berjam-jam. Bahkan sudah ada yang menunggu sejak kemarin.

Coba seksamai. Yang antri bukan laki-laki perkasa dengan tubuh tegap, seperti barisan tentara siap tempur. Penerima zakat sudah terpahat siapa-siapanya. Yang hadir, pasti kalangan fakir. Jika bukan nenek-nenek jompo, pasti janda dengan sekian anak yatim. Jika bukan lelaki yang sudah sempoyongan, pasti mereka orang cacat. Yang maaf, anggota tubuhnya tak lengkap. Jika tidak amat terpaksa, mustahil kuli-kuli kekar mau antri pula. Biasanya kuli miskin ini, menyisih jika ada kalangan fakir yang lebih butuh. Itulah rakyat jelata, masih punya etika. Bisa membedakan siapa yang fakir dan mana

Dalam kemuliaan Allah, insya Allah mereka yang wafat jadi syahid. Dalam konteks keduniawian, itulah kegetiran hidup. Jauh-jauh datang untuk beberapa lembar puluhan ribu, berjam-jam antri, ternyata hanya menuai nestapa. Barangkali keluarga dan orang di kampung sudah lupa. Hanya peristiwa itu tetap tergurat sebagai lembar hitam sejarah zakat. Yang hingga Ramadhan ini terulang lagi. Yang jika tak disikapi lebih bijak, di Ramadhan esok juga berulang. Maka tradisi menghinakan fakir miskin terus berlanjut. Apakah ini yang dinamakan “silaturahim naif”, antara orang kaya dengan orang miskin

Beda memang, gugur membela agama dengan wafat terinjak-injak. Meminjam kata orang, ada bedanya mati ditabrak mobil mewah dengan ditabrak ojek apalagi bajaj. Sungguh, nggak gengsi. Malu-maluin jika terdengar kawan dan karib, mati koq ditabrak bajaj. Kelakar gaul-nya begitu. Maka bayangkan. Pernahkah ada tetangga sebelah wafat karena terinjak-injak saat antri zakat? Jika ada, bukankah itu kepedihan yang amat dalam tertoreh. Insya Allah kita segera datang menyambangi keluarga. Insya Allah kita akan bantu, apa yang bisa diupayakan. Hanya bisakah itu menghapus duka lara, sebuah tragedi kemanusiaan yang amat memilukan. Justru di Ramadhan penuh berkah, dimana sedekah dianjurkan sebanyak-banyaknya. Sedekah malah membawa bencana. Pedih, sungguh pedih.

Ada 99 sebab kematian. Jika tak satupun, pasti ketuaan yang jadi sebab. Begitu jelas Rasulullah saw soal mati. Maka sedihkah Khalid bin Walid, panglima perang yang menggetarkan, wafat di rumah? Sesungguhnya substansi wafat bukan pada caranya mati, melainkan pada niatnya saat menjumpai ajal. Jika niatnya untuk tambahan nafkah keluarga, syahidlah nenek-nenek yang wafat saat antri di pembagian zakat. Jika niat jihad di medan perang disisipi nafsu membunuh, hanya Allah yang bisa menentukan syahid tidaknya. Maka lepas dari syahid tidaknya, galaukan hati si epunya rumah, halamannya jadi saksi kematian fakir miskin terinjak-injak? Masihkah akan diulang, kaki-kaki renta gemetar mengantri zakat lagi?

Entahlah. Yang pasi dari antrian berdesak-desak, ada ibrah yang bisa disingkap.

  • Pertama semakin seseorang kaya, egonya makin sulit dibendung. Coba amati. Makin besar zakat seseorang, makin membara niatnya mengelola sendiri. Jika tak membuat yayasan keluarga, cenderung ingin berbagi langsung pada fakir miskin.

  • Kedua, ingat, zakat bukan sunnah. Siapapun boleh mengelola zakat, namun bukan untuk memiliki. Pemilik zakat jelas, 8 asnaf. Jika dikelola sendiri, terpikirkah asnaf di luar fakir miskin. Di situ ada muallaf, gharimin apalagi budak. Bahkan yang lebih miris, jangan-jangan muzaki khawatir zakatnya habis diambili amil.
  • Ketiga dibutuhkannya amil, agar muzaki justru tak merasa masih memiliki zakatnya. Jika masih merasa, dikhawatirkan muzaki akan mengelola zakat sesuai kehendaknya. Pekerja mana yang berani menolak kehendak pemilik?
  • Keempat muzaki memang bukan amil. Maka siapkah mereka membuat program bukan bagi-bagi uang.
  • Kelima hati-hati, muzaki yang mengelola sendiri cenderung menempatkan mustahik sebagai obyek. Mengapa fakir miskin harus antri di rumah muzaki? Mengapa bukan mustahik yang disambangi? “Wah tak mungkin”, jawab muzaki. Maka itulah amil. Di pelosok manapun, amil harus hadir. Meski nyawa taruhannya.

Jika tak dibenahi lebih maruf, mustahik memang tak perlu dikumpulkan berantri-antri. Itu adalah ego. Tak percayakah ada fakir miskin yang datang sehari sebelumnya. Kita tak peduli kondisi mereka. Kita tutup mata, dimana mereka selesaikan hajat mandi dan wc. Kita tak mau tahu dimana mereka tidur. Terpikirkah sebagian yang datang, mungkin juga musti pinjam uang untuk transport. Please jangan jadikan lebih afdol, tepat sasaran dan langsung memberi sebagai dalih. Sebab, itupun bisa dilakukan dengan mendatangi mereka. Jika antrian zakat tetap lestari, jangan-jangan jebakan ‘Pameran Kebajikan” tak bisa dipadamkan. Karena antrian zakat cenderung konsumtif, jangan-jangan inilah “Pelestarian Kemiskinan”.

Maksud hati memang tak begitu. Namun coba hitung. Berapa banyak yang antri itu, menjadikan zakat sebagai modal? Agar di tahun berikut tak lagi antri. Barangkali di tahun mendatang memang tak datang. Sebab, jangan-jangan sudah makin renta. Atau jangan-jangan sudah kembali ke Rahmatullah.


0 Responses to Sedekah Yang Membawa Bencana

= Leave a Reply