Tragedi Bersedekah

⊆ 16.46 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Ada tiga tragedi yang terjadi di Ramadhan 1424 H. Pertama, empat ibu wafat saat pembagian sembako di Pasar Minggu Jakarta Selatan (Kompas 8 November 2003). Kedua, 39 orang wafat dan 48 cedera juga saat pembagian sedekah di kota Khartoum Sudan (Republika 11 November 2003). Dan ketiga, kembali satu orang ibu wafat juga waktu pembagian sedekah di Bandung (Republika 17 November 2003).

Sedekah adalah mulya. Tapi siapa yang tak mengurut dada jika sedekah jadi tragedi. Tragisnya itu terjadi di bulan suci Ramadhan. Ironisnya lagi justru terjadi di saat penggalangan zakat tengah digalakkan melalui mass-media. Orang miskin yang sudah menderita, semakin mengenaskan karena merenggang nyawa di saat seharusnya bersuka cita menerima santunan. Moral kita pun tergugat: “Sudah benarkah pelaksanaan zakat selama ini?”

Tradisi Islam

Dalam Al Baqarah 276, dikatakan: Allah menghapus berkah riba dan menambah berkah sedekah… Ayat ini meremukkan ego manusia. Pertama, dengan pelarangan bunga, Islam tengah mengekang nafsu manusia agar tak berbisnis dengan riba. Sebab begitu riba ditransaksikan kedzaliman terjadi: Pemilik uang memberanakkan uang tanpa susah payah, sedang peminjam langsung tergadai karena harus membayar riba yang argonya terus berjalan. Kedua kewajiban sedekah (baca: zakat), juga mengikis ego manusia agar tak hidup nafsi-nafsi. Bahkan ditegaskan, zakat merupakan hak orang lain yang tersimpan dalam harta setiap muslim mampu. Jadi tak dibenarkan muslim hidup berkecukupan sementara tetangga di sebelah kelaparan.

Pelarangan riba dan kewajiban bersedekah, merupakan strategi terbaik dalam mengangkat harkat masyarakat. Tujuannya jelas, agar seperti yang dinyatakan dalam Al Hasyr ayat 7: …supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kamu… Dalam Muqadimmah, Ibnu Khaldun mengatakan kekayaan tidak berkembang bila harta ditimbun. Maka timbunan harta pasti terkena zakat, minimal 2.5% dan boleh diambil lebih dari itu sesuai kebutuhan negara. Lalu Ibnu Khaldun menambahkan, kekayaan akan berkembang bila digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, memenuhi hak dan mengurangi penderitaan

Dalam pemanfaatan kekayaan itu, Islam menawarkan beberapa cara. Pertama dengan sedekah. Investasi sedekah ditujukan pada fakir miskin atau kelompok ekonomi subsisten (hanya untuk makan). Kedua sistem qardhul hasan, yakni investasi yang modalnya diangsur tanpa penambahan apapun. Tujuannya membantu pemandirian usaha. Ketiga sistem bagi hasil, yang dapat diterapkan pada kelompok ekonomi yang bisa memberi keuntungan. Dengan catatan, seluruh bagi hasil itu tetap ditujukan untuk pemberdayaan.

Investasi dengan sedekah, qardhul hasan dan bagi hasil tak lain merupakan cara-cara yang ma’ruf (baik). Cara ini ternyata jadi landasan peradaban manusia, karena langsung meniadakan kesenjangan kaya miskin. Tak ada kedzaliman pada siapapun, terutama pada orang yang kesulitan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW berkata: Berilah tempo pada orang yang belum bisa bayar utang. Jika tetap tak mampu, yang lebih baik sedekahkan. Hadits ini mempertegas ke-ma’ruf-an, bahwa kekayaan harus digunakan untuk menyehatkan dan memperkuat masyarakat. Dengan kondisi sehat dan kuat, negara pasti makmur. Jadi sedekah, qardhul hasan dan bagi hasil pada dasarnya merupakan ekplorasi. Bukan eksploitasi seperti dalam riba. Cara yang ma’ruf tersebut akan menumbuhkan kehidupan yang sehat, adil dan harmonis berdasarkan ikatan kasih sayang saling menolong. Dengan kondisi seperti ini, peradaban manusia bisa dibangun menjadi mozaik indah.

Tradisi Muslim

Persoalannya, apakah tradisi Islam itu bisa terimplementasi baik? Tradisi muslim tak identik dengan tradisi Islam. Tradisi muslim hanyalah kebiasaan pemeluk Islam yang mencoba menerapkan ajaran agama. Jika ketaqwaan yang menuntun, insya Allah jadi rahmatan lil’alamin. Sebaliknya jika maqom-nya terbatas, syiarnya bukan lagi buruk melainkan malah jadi tragedi dan bencana. Maka apa yang terjadi di Ramadhan kemarin, itu juga menjadi cermin ketaqwaan.

Bicara tentang sedekah, ada tiga tradisi yang hidup di kalangan muzaki (donatur), mustahik (penerima sedekah) dan amil (pekerja). Di tingkat donatur, tradisi berderma ternyata belum merubah kesejahteraan fakir miskin. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama berderma cenderung dipusatkan di Ramadhan. Berarti selama 11 bulan fakir miskin dibiarkan menderita, sedang di Ramadhan dipersilakan berpesta. Bersedekah pasti dapat ganjaran. Tetapi jika niatnya untuk pahala karena segala amal dilipatkan di Ramadhan, artinya derma itu karena Ramadhan. Padahal nishab (batas harta terkena 2.5%) dan haul (masa satu tahun) zakat tak kenal Ramadhan. Karena ingin ke surga sendirian, tak lagi terpikir bahwa tujuan zakat adalah untuk merubah kondisi fakir miskin. Maka apakah tak tergerak untuk ramai-ramai meraih kebahagiaan dunia

Tradisi kedua, sedekah ingin disegerakan sebelum Ied Fitri. Sesungguhnya itu hanya berlaku bagi zakat fitrah. Tujuan zakat fitrah memang konsumtif, agar fakir miskin punya makanan untuk bisa berhari raya. Sementara zakat harta, zakat profesi serta zakat perdagangan misalnya, harus dikelola untuk merubah kondisi fakir miskin. Tradisi ketiga, banyak donatur ingin melihat zakatnya langsung diterima mustahik. Semakin besar zakat harta yang dikeluarkan, makin donatur tergoda mengelola sendiri. Karena donatur tak punya waktu lebih serius agar zakat produktif, paket santunan jadi alternatif paling mudah. Saat berlangsung seserahan santunan, terjadi pertemuan kontradiktif antara “Parade Kemiskinan” dengan “Pameran Kebajikan”. Zakat harta yang harusnya menjadi modal perubahan, terus tersia-sia tak pernah masuk agenda

Di tingkat mustahik, tak adanya keberpihakan menyulitkan dhuafa lepas dari kemiskinan. Hendak usaha tak ada modal. Tak punya usaha, keahlian pun tak terasah. Sekolah, kebanyakan putus tak ada biaya. Jika memaksa usaha, utang jadi entry-point rentenir menjadikan pedagang kecil sebagai sapi perah. Sementara rekan-rekan yang lain, dari mengemis punya penghasilan puluhan bahkan ratusan ribu per hari. Etos kerja jadi rusak. Daripada tak bekerja atau susah usaha, lebih baik mengemis. Dengan pasang wajah penghabisan dan semakin cacat, hasil yang diperoleh bakal makin besar. Tradisi mengemis kini sudah meruyak di mana-mana.

Kini di kota-kota besar lahir kemiskinan gaya baru. Fuqara wal masakin (fakir miskin) sekarang sudah jadi fuqara masa kini. Kemiskinan tak lagi jadi cermin tingkat sosial, namun telah jadi profesi. Di trotoar antara Carrefour - Terminal Lebak Bulus, misalnya, ada tiga pengemis yang semuanya gemuk. Dalam mengemis, mereka ditemani botol Aqua berwarna kuning karena telah di-Extra Joss. Aneh, pengemis bertubuh gemuk. Bahkan seperti pemirsa TV yang lain, mereka pun membeli air bersih dan ekstra energi. Sungguh mereka bukan target market yang dibidik Aqua dan Extra Joss. Contoh lain, di depan kantor Standard Chartered Bank di bilangan segitiga emas, ada dua pengemis menggunakan handphone. Hebat bukan, apa karena di lingkungan bank internasional pengemis pun jadi sanggup membeli handphone.

Di tingkat amil, kemampuan mengelola zakat pun ternyata terbatas. Tradisinya bersifat kepanitiaan dengan pengelolaan paruh waktu. Karena tak ada waktu dan terbatasnya pengetahuan zakat, kegiatan amil tak beda dengan donatur: Bagi-bagi santunan. Sebuah masjid besar di bilangan Menteng, contohnya, di Ramadhan ini bisa menghimpun zakat hampir Rp 1 milyar. Dari laporan diketahui, setengahnya habis terpakai selama Ramadhan untuk buka puasa dan santunan. Dana sebesar itu, ternyata tak bisa merubah kondisi satu keluarga mustahik pun. Sayangnya Lembaga Pengelola Zakat (LPZ) yang profesional, dalam kampanyenya malah bangga dengan kegiatan konsumtif: Buka bersama dhuafa dan napi, sembari bagi-bagi sembako.

Ubah Paradigma

Bila tradisi muslim di atas berlanjut, niscaya sedekah akan terus melahirkan berbagai tragedi. Sedekah untuk konsumtif tetaplah mulya. Hanya jauh lebih mulya jika sedekah pun dijadikan modal untuk merubah dhuafa. Esensi sedekah memang hibah. Tetapi dengan sistem qardhul hasan dan bagi hasil, sedekah pun jadi ijtihadi yang menjamin langgeng dan terciptanya lapangan kerja baru. Dengan lapangan kerja, sedekah merangsang profesionalitas yang akan melecut etos kerja. Dengan memaksa fakir miskin bekerja, kegiatan rutin bagi-bagi santunan dikikis. Tepatlah bila santunan diberikan dengan aktif mencari yang jompo, cacat dan janda dengan sekian anak fakir miskin. Ingat santunan pada dhuafa yang gagah, sehat dan siap kerja, tak lain merupakan “Pameran Kebajikan” dan “Pelestarian Kemiskinan”

Saatnya untuk merubah paradigma bersedekah. Memaksa bekerja lebih mulya ketimbang santunan. Wallahu’alam.

Pondok Pinang

Desember 2003


0 Responses to Tragedi Bersedekah

= Leave a Reply