Bencana Komersialisasi Pendidikan

⊆ 16.54 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Nirlaba dan Not For Profit

Tanggal 29 Juli 2004 ini, Dompet Dhuafa Republika (DD) meresmikan sekolah SMART Ekselensia di Parung Bogor. Ada beberapa hal menarik dari SMART yang menggabungkan SLTP dan SLTA dalam 5 tahun ini. Pertama, siswanya yang miskin, dipilih dari 18 propinsi. Kedua pendidikan dilangsungkan dengan cuma-cuma. Ketiga lokasi sekolah merupakan eks sekolah Madania Parung. Asset sekolah ini dibeli DD seharga Rp 6.8 milyar dengan dana wakaf. Keempat guru-guru direkrut profesional. Kelima konsep dan sistem pendidikan dirancang sama baiknya dengan sekolah unggulan lain. Dan keenam DD tetap konsisten pada posisinya sebagai pengelola. Suatu komitmen langka, tidak terjebak mengkomersialkan apapun.

Tanggal 19 Juli 2004 kemarin, lahir pula Azhari Islamic School (AIS). Hal paling menarik dari sekolah SD AIS ini adalah niat pendiri yang hanya jadi pengelola. Sebagai komit awal, beberapa pendiri telah mengalokasikan wakaf tunai sekian ratus juta rupiah. Mereka tidak ingin mengambil keuntungan apapun. Berarti para pendiri AIS memposisikan sebagai pengelola bukan pemilik. Ada persamaan dengan DD. Sebagai lembaga nirlaba, peran DD memang tegas jadi mediator. Sedang AIS yang lahir sebagai sekolah umum, menawarkan paradigma baru sebagai lembaga not for profit (NFP)

DD dan AIS sama-sama berlegal yayasan. DD lembaga nirlaba, AIS lembaga NFP. Arti nir adalah nihil atau kosong. Berarti lembaga nirlaba tidak bisa mencari laba. Hidup lembaga nirlaba tergantung donatur. Termasuk nirlaba adalah LSM dan Lembaga Pengelola Zakat. Sedang arti harfiah NFP memang tidak semata untuk cari untung. Ada tujuan lain. Untuk operasional NFP, dibiayai dari jasa yang ditawarkan. Besarnya jasa didasarkan pada etika dan standar. Tanpa itu, pengguna jasa yang no choice pasrah saja. Yang termasuk dalam lembaga NFP adalah sekolah dan rumah sakit. Bagi AIS kebutuhan operasional ditanggulangi para orang tua murid. Dari jumlah itu disisihkan 25% untuk R&D. Pendiri AIS tak mengambil laba sepeserpun. Untuk membuktikannya, AIS harus transparan terutama pada para orang tua murid.

Milik Siapa

Kini simak pendidikan di Indonesia. Biaya pendidikan makin hari makin “mengerikan”. Alih-alih stabil atau turun, lunasnya pembiayaan gedung, misalnya, tak otomatis menghilangkan biaya gedung. Coba lihat di banyak sekolah, biaya gedung sudah dilunasi orang tua murid, namun tetap saja uang gedung ditarik dari orang tua murid baru. Alasannya macam-macam, seperti untuk fasilitas atau biaya gedung sekolah baru. Tanpa transparansi, bagaimana bisa tahu penggunaan dana itu. Sementara begitu sekolah baru dibuka, orang tua murid di sekolah itu toh tetap dibebani biaya gedung. Lantas, sampai kapan orang tua murid bebas dari uang gedung sekolah.

Beberapa sekolah malah menerapkan model pajak progresif. Bagi yang bisa memberi sumbangan lebih, kans anaknya diterima di sekolah lebih besar. Artinya makin besar sumbangan, makin cenderung anaknya diterima. Uang seragam, uang buku dan uang ekskul, tiap tahun juga latah naik. Tiap ajaran baru, berbagai pungutan terus dilakukan. Nah seorang teman telah pensiun dari kepala sekolah SDIT. Kini ia pun menghadapi problem besar. Begitu anaknya masuk SDIT yang diasuhnya dulu, kakaknya yang sudah ada di sekolah itu harus keluar. Padahal 10 tahun sejak berdiri, dia besarkan SDIT itu. Kini, hatinya memberontak, mengapa “kemudahan” pun tak diperoleh dari SDIT tempat mengabdinya dulu.

Persoalan tak ada balas jasa itu, sesungguhnya merupakan persoalan besar di balik layar sekolah. Dalam manajemen pendidikan, status pendiri di posisi simpang: pemilik atau pengelola. Jika pemilik dan ingin berbisnis, mengapa tak terang-terangan berlegal PT. Sementara jika berlegal yayasan, mengapa pelaksanaan pendidikan begitu mahal. Padahal sekolah dengan legal yayasan, apapun alasannya seharusnya bukan untuk bisnis. Maka mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan kedok yayasan, jelas merupakan tindakan yang jauh lebih berbahaya.

Kerancuan ini tampaknya sepele. Padahal dengan cara itu, setidaknya ada tiga bencana yakni 1) penjungkirbalikkan tujuan pendidikan

2) ketidakadilan pendidikan dan

3) terjadi pembodohan yang diterima sebagai kewajaran.

Tujuan pendidikan jelas mulya karena mencerdaskan bangsa. Bangsa yang cerdas, merupakan pilar-pilar yang akan mengangkat harkat kehidupan negara, bangsa dan tanah air. Itu bisa diraih bila disadari landasan pendidikan adalah nilai dan moral. Dengan nilai dan moral, tatanan masyarakat terjaga. Ini sebuah persoalan jangka panjang yang tak bisa dinikmati segera. Sedang persoalan manajemen penyelenggaraan pendidikan adalah persoalan teknis jangka pendek. Namun pilihan berlegal PT atau yayasan, merupakan tindakan taktis yang akan menentukan arah pendidikan. Keliru dalam memilih, dampaknya akan merusak nilai dan moral tujuan pendidikan jangka panjang.

Dalam hal pembangunan gedung sekolah, coba amati nilai apa yang sedang ditanam di masyarakat. Pendiri sekolah membangun gedung. Uangnya dipinjam dari bank atau investor perorangan. Dengan syarat harus membayar uang gedung, orang tua murid terpaksa membayar biaya gedung. Singkat kata uang bank atau investor pun lunas. Kini ada pertanyaan: Setelah lunas, gedung itu milik siapa? Pendiri sekolah sama sekali tak keluar uang. Jika keluar pun, uang itu dilunasi orang tua murid.

Ditilik dari proses transaksi, secara de facto gedung itu milik para orang tua murid. Hanya mustahil mengembalikan dan membagi-bagi gedung itu pada mereka. Ini sebuah persoalan besar, tetapi insya Allah mudah dipecahkan. Caranya secara otomatis gedung sekolah itu diwakafkan. Pemberi wakaf (wakif) adalah para orang tua. Penerima wakaf (nadzir) adalah pihak sekolah. Proses ijab kabul bisa diformalkan atau pihak sekolah segera saja memposisikan diri sebagai nadzir. Yang penting adalah adanya kesadaran untuk memposisikan diri.

Namun justru di situ titik soalnya. Adakah pendiri sekolah yang memposisikan diri hanya sebagai pengelola. Sementara berapa banyak pendiri sekolah mengklaim gedung yang dilunasi orang lain jadi miliknya. Secara de jure soal kepemilikan bisa diatur. Jadi pemilik memang lebih leluasa. Sedang pengelola harus patuh pada aturan main, pada kepentingan dan pada tujuan untuk apa sesuatu itu diadakan. Dengan posisi nadzir, pengelola memang tidak memiliki apa-apa. Dan bukankah esensi membuat yayasan memang untuk melakukan kebajikan. Bukankah membuat yayasan itu tidak dalam rangka memiliki sesuatu dari kegiatan yang dijalankan.

Asal Usul

Asal usul pendirian dan kegiatan yayasan bisa mengancik pada sistem Baitul Maal (BM) dan foundation di Barat. Pada sistem BM, acuannya Islam dan memang dijalankan negara. BM merupakan Departemen Keuangan sekarang, yang menghimpun dana apapun seperti sedekah, wakaf, zakat, pajak, ghanimah dan pemasukan dari perusahaan negara. Sejarah BM membuktikan tak ada pemasukan dari utang. Fungsi BM memenuhi seluruh kebutuhan penyelenggaraan negara. Di BM juga ada satu pos sosial khusus, yang dananya dari zakat. Jika dana di pos itu kurang, BM menambahi dari sumber lain. Perhatikan, melalui BM negara memenuhi kebutuhan rakyat.

Konsep negara yang dikembangkan Barat, tidak mengenal sumber sedekah seperti zakat dan wakaf. Meski perhatian ada, namun tak sewajib BM. Untuk itu sistem Barat memunculkan model foundation, partisipasi aktif masyarakat. Asal usul foundation dimulai dengan disisihkannya dana dari orang kaya. Dana itu ditempatkan di rekening pada lembaga yang dibentuk dan diurus sejumlah orang yang punya kredibilitas. Dari penyisihan dana untuk kegiatan kemanusiaan itu, ada dua hal yang dapat disimpulkan. Pertama donatur tak bermaksud mengambil uang itu kembali. Ke-2 donatur tak menjadikan dana itu sebagai modal untuk mencari uang lagi.

Motivasi pendirian yayasan di Indonesia berbeda. Di tanah yang subur ini, orang mendirikan yayasan, baru mencari uang. Atau dengan yayasan orang cari uang, apapun kegiatannya. Jika di Barat yayasan jadi bukti kedermawanan, di Indonesia orang tak sungkan membisnisi yayasan. Di Barat keuangan foundation dikelola para fund manager. Hasilnya untuk pengembangan foundation dan kiprahnya. Di Indonesia, keuangan yayasan tetap dikendalikan pendiri. Lembaganya “senin kemis”, sedang hasilnya diambili pendiri. Jika asset-asset yayasan tampak mentereng, pastikan itu karena dimiliki pendiri. Di luar negeri ada namanya Ford Foundation, Rockfeller Foundation, Carter Centre dan sejumlah foundation yang lain. Di Indonesia agaknya baru ada satu yang on the right track, yakni Habibie Centre.

Di zaman kolonial, sekolah partikelir punya citra buruk. Padahal partikelir itu tidak untuk bisnis, untuk bumiputera yang tak tertampung. Konteksnya pendidikan harusnya jadi tanggung jawab negara. Jika diserahkan pada swasta, siapa bisa cegah pendidikan jadi komoditas paling laku. Sebagai dagangan, tentu ada pemilik dan ada pembeli. Tujuan pendidikan jadi jungkir balik. Ibarat pelayan toko, guru pasti cuma alat pemilik. Murid-murid adalah konsumen. Buku, seragam, ekskul dan kursus yang lain, merupakan dagangan yang pasti lakunya. Dengan pendidikan yang jadi kelontongan begini, bencana apa yang bakal dituai Indonesia di

DD bisa jadi contoh. Sebagai lembaga nirlaba, DD tak terangsang memanfaatkan situasi. AIS pun jadi contoh. Sebagai lembaga not for profit, pendiri AIS hanya ingin jadi pengelola. Pemilik biasanya sibuk mengurusi hak-haknya. Sedang pengelola sibuk pada tanggung jawab, bahwa guru harus sejahtera dan murid adalah pewaris bangsa. Bila gedung sudah dilunasi infak orang tua murid, atau dari tanah dan gedung wakaf, tak akan ada uang gedung di AIS. Yang ada cuma uang perawatan, untuk beli karbol dan lap pel. Wallahu’alam ash Bishawwab.

Pondok Pinang

Juli 2004


0 Responses to Bencana Komersialisasi Pendidikan

= Leave a Reply