Ruh Yang Hilang

⊆ 06.03 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Asal Usul

Ada kenangan yang tak bisa dikikis saat musim haji 1415 H (1994 M). Kenangan itu bermula dari sebuah pertanyaan: “Kapan DD buat kegiatan hewan kurban?” tanya Ikhwanul Kiram, wapemred Republika sekarang ini. Pertanyaannya memang sederhana namun tak mudah menjawabnya. Menjawab ‘tidak’, bakal menyulut pertanyaan lanjutan ‘mengapa’. Dijawab ‘ya’, konsekuensinya bicara kemasan program. Apa yang ditawarkan?

Pikiran saya menerawang. Dalam berkurban, selama ini yang tampak hanya rutinitas. Kepanitiaan dibentuk, lalu penghimpunan kurban dimulai. Penjual kurban muncul, transaksi jual beli pun berlangsung. Usai shalat Ied Adha, hewan dipotong dan daging pun dibagi-bagi. Praktis dari tahun ke tahun begitu tanpa perubahan esensial. Yang berubah hanya jumlah kurban. Ironisnya meski jumlah kurban menjuah-juah, penanganannya tetap amatiran. Menangani kurban puluhan, beda dengan mengelola ratusan bahkan ribuan kurban. Yang terakhir jelas sebuah industri.

Jor-joran menghimpun kurban, merupakan bentuk lain sentralistik. Dengan kondisi masih feodal dan kesenjangan pendidikan, manajemen serba memusat lebih banyak mudharatnya. Dengan kemiskinan dimana-mana, potong kurban di kota-kota besar adalah kejahatan. Sebab ternak yang banyak apalagi sapi, tidak dimiliki oleh peternak desa. Kebanyakan mereka hanya dapat ongkos kerja. Jika pun memiliki, jumlahnya cuma beberapa. Itu pun rata-rata sudah diijon. Artinya ternak yang dipelihara bertahun-tahun, tak bisa merubah kehidupan jadi lebih baik. Sistem ekonomi di Indonesia memang dzalim, tak adil, tak berperikemanusiaan. Orang desa yang lemah dan miskin, tak berdaya dijerat sistem yang memaksa mereka memberi subsidi pada orang kota yang kuat dan kaya.


Paradigma Baru
Moral saya tergugat. Gemuruh di dada pun tak bisa dibendung. Pola pikir dan praktek yang hanya untuk dinikmati sendiri musti dibenahi. Buktikan Jakarta tak melulu disesaki orang-orang serakah. Jakarta juga harus bisa jadi satu sumber kebajikan. Maka THK (Tebar Hewan Kurban) pun digagas. Motto THK disemat: ‘Jangan biarkan sehelai pun bulu domba jatuh di kantor DD’. Artinya kurban yang dihimpun, seluruhnya ditebar ke berbagai pelosok miskin di Indonesia. Tak satu ekor pun boleh disembelih di Jakarta.

THK yang awal namanya Menebar 999 Hewan Kurban, menawarkan paradigma baru. Saat sebagian masih asyik untuk sendiri, THK sepenuhnya untuk fakir miskin. Saat yang lain terus bersenang-senang di kota-kota besar, THK menggelar perhelatan di desa-desa terpencil. Saat yang lain mulai jenuh dengan rutinitas kurban di kota, THK menguak cakrawala kehidupan sesungguhnya di desa. THK yang dimulai tahun 1994, memantik beribu hikmah. Ada dakwah, ada air mata kebahagiaan, ada senyum, ada doa, ada silaturahim, ada kepedulian dan ada perubahan kehidupan bagi masyarakat tak mampu. Inti THK memang bukan MEMUSAT, tapi MENEBAR kurban ke berbagai pelosok. Nuansa perubahannya harus disingkap, agar perjuangan kelas proletar bisa dimaknai.

Teknis distribusi bukan mengangkut dan membagi-bagi hewan. Cukup trasfer saja dananya. Hewan dibeli langsung dari peternak, sembelih lalu bagi-bagi daging di tempat yang orang sering berseloroh di peta belum tentu ada. Pola ini awalnya sederhana. Tapi pemberdayaan butuh kerja habis-habisan. Di samping harus berani ditertawai karena pilihan strategi, memang kerap terbalik dengan selera masyarakat. Memasuki THK di tahun berikut, investasi pun ditanam. Minimal tiga bulan sebelum Ied Adha, hewan telah dipelihara para peternak. Mereka para peternak bukan hanya dapat upah pemeliharaan, melainkan juga diupayakan dapat paron hewan. Bahkan juga dapat bagi hasil pembelian, dapat teknik beternak dan dapat kiat-kiat menjaga kesehatan ternak. Moralis bukan. Mana ada usaha yang mementingkan pihak lain. Namun, bukankah mengelola zakat memang untuk bantu fakir miskin.

Pemberdayaan praktis menggelinding. Esensinya terurai pada gugatan berikut. Sungguhkah THK bisa mengerat kemiskinan. Terangsangkah peternak untuk tak lagi sambilan. Artinya bisakah kebutuhan ternak dipasok tiap bulan. Sementara saat Iedul Adha, bukankah THK jadi puncak panen. Tak bisa tidak, kekuatan desa memang harus dipulihkan. Maka mimpi indah pun melambung, menatap ribuan ternak merumput di desa-desa. Kampung-kampung yang ditinggalkan pemudanya, akhirnya balik bergariah karena desa jadi pemasok ternak. Inilah sesungguhnya visi besar yang diusung THK. Ternak jadi salah satu penopang napas desa.

Kemana Arah

Tahun 2006 ini, usia THK genap selusin tahun. Lumrah merah hitamnya jalan pemberdayaan, harusnya sarat dengan retasan berbagai terobosan. Harapan jelas membuncah. Pertanyaannya kini, bagaimana kabar peternak miskin di desa yang jadi sasaran awal digagasnya THK? Helai demi helai laporan telah disibaki. Sayang laporan THK bias, agaknya ‘kehilangan arah’ apa yang hendak disodorkan. Ingat inti digagasnya THK tak lain mengatasi kemiskinan peternak. Sementara feature tentang peluh, kerja keras serta siasah hidup orang-orang di balik gunung itu terabaikan. Jikapun ada hanya satu dua yang amat kering akan fakta riel tukilan visi THK. Jangan abaikan dalil qurban raising: ‘Manfaat apa yang bisa diberikan pada peternak miskin di pelosok-pelosok’.

Berita THK yang belum cover both side, terjebak pada gebyar-gebyar prosesi ritual serta bagi-bagi dagingnya. Yang dipampang masih leretan nama, jumlah kurban dan jangkauan daerah sebaran. Ini penting namun bukan lakon utama yang diharap tampil. Bahkan di majalah terakhir, tersaji foto jenaka tim qurban raising yang beroperasi di mall dan gedung-gedung megah. Jangan lupa, kata pengantar yang maaf dimanapun hanya ‘basa basi’, ternyata butuh kapling yang juga membuat napas masih tersedak.

Bicara manfaat pasti ada. Bagaimanapun sajian informasi tetap punya nuansa. Namun yang harus disadari, alangkah tak imbangnya antara isi suguhan dengan biaya yang ditanggung. Siapa bisa cegah, sajian seperti itu terpersepsi pongah serta tak peka substansi. Alangkah masghulnya, THK gagap memilah mana inti info serta yang sekadar supporting. Jangan anggap orang kecil tak punya nilai. Justru karena THK, news-nya terletak pada kegetiran yang kecil-kecil itu. Mulya bukan bila laput (laporan utama) mencuatkan jatuh bangunnya mereka. Bukan hanya berisi succes story melulu, artinya jangan tutupi kendala dan kegagalan yang ada. Alih-alih meninggalkan, masyarakat bakal lebih mencintai THK. Sebab info dari balik kandang ternak, pun bisa menguak persis soal keluarga penggembala.

Soalnya tinggal cara pandang. Pertama, masihkah visi THK seperti awal digagas. Jika masih, sudah saatnya peta sebaran bukan hanya berisi distribusi bagi-bagi daging. 12 tahun berkiprah, tak muluk THK tertuntut paham akan peta kekuatan kurban di Indonesia. Artinya berapa banyak THK telah menumbuhkan desa pemasok ternak, sentra-sentra domba yang berserak di berbagai lokasi. Di luar itu, sudahkah THK bermitra dengan berbagai sentra yang telah berkibar. Maka THK bukan hanya tahu peta, melainkan juga paham akan medannya.

Kedua bicara tentang ego. Ihlaskah berita ‘aktivitas sendiri’ diganti liputan penggembala di balik-balik perbukitan terisolir itu. Insya Allah jawabnya ikhlas. Namun yang kadang tak terasa, bangga diri tiba-tiba menyelinap. Jika rasa ingin tampil tak ditausyiah, tawadhu untuk tak dikenal orang bakal guncang. Itulah tugas pembuat panggung, tak boleh larut untuk juga tampil. Sementara di usai perhelatan, mencabut paku terakhir, percayalah bukan pekerjaan hina. Nikmatnya justru terasa disitu. Yakni tak gegabah mengganti bintang THK yang cuma peternak. Juga tetap dapat kebajikan meski tak tampil. Sekali lagi, untuk siapakah THK dikemas? Itulah pertanyaan yang membantu melesakkan visi THK.

Visi

Kini ada pertanyaan tersisa: ‘Untuk siapakah THK dikemas?’ Beberapa jawaban di bawah ini, akan jadi pelesak visi THK. Pertama, kurban telah jadi milik nasional. Yang harus diingat tak ada pesaing karena musuh utama masih kemiskinan. Kedua, esensi lain dari aktivitas kurban juga profit. Maka tebar kurban harus adil dalam distribusi laba. Bagi hasil untuk lembaga, mitra kerja dan peternak, intinya berbanding kecil, menengah dan besar. Misal bisa 10, 20 dan 70. Peternak yang dapat bagian 70, lumrah karena tujuan THK adalah pemberdayaan. Bagi hasil lembaga seperti DD yang hanya 10 bagian, secara kuantitatif akumulasinya tetap berlebih. Sebab dalam THK lembaga DD berperan sebagai bandar distribusi ke Indonesia. Ketiga, kiprah tebar kurban mendidik masyarakat agar tak asyik ibadah untuk diri sendiri. Maka DD sebagai penggagas awal, harus sadar diri posisinya sebagai PERANTARA.

THK baik dari DD maupun lembaga lain, kini telah jadi salah satu sumber yang amat diharap-harap. Inti THK bukan pemusatan, tapi distribusi ke berbagai pelosok. Dari orang kaya untuk orang-orang miskin. Artinya landasa THK tak lain memang sedekah. Itulah core acitivty DD, suatu jati diri yang harus tetap diusung sebagai RUH dakwah madzhab Zakat. Tetaplah waspada agar diri ini tak selalu ingin tampil. Itulah arti sesungguhnya sedekah, memberi kesempatan pada yang berhak meski itu cuma peternak kecil.

Banda Aceh

12 Syawal 1426


0 Responses to Ruh Yang Hilang

= Leave a Reply