Sambil Berhaji, Atasi Kemiskinan

⊆ 16.36 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Ibarat si kaya dan miskin, tak ada guna membandingkan haji dengan kemiskinan. Perbedaannya bukan hanya esensial, dampaknya pun amat berbeda. Membiarkan haji, otomatis memperlancar proses Rukun Islam terakhir. Petugas haji sudah ada. Sebuah rutinitas yang konsennya satu: mudahkan menggapai mabrur. Masyarakat di tanah air tak perlu bantu. Cukup berdoa, agar jamaah bisa pulang selamat dan mabrur.

Jika haji dibiarkan terbukti mulus, tak demikian dengan kemiskinan. Membiarkan kemiskinan, ternyata jadi mesin penghasil kemiskinan paling efisien dan efektif. Dari segi jumlah, siapa bisa hitung dengan akurat fakir miskin di Indonesia. Fakir miskin ada di mana-mana. Jangan tanya lagi seperti apa kemiskinan merobek-robek masyarakat di pelosok-pelosok negeri. Di istana presiden dan gedung DPR pun, kemiskinan tetap sulit dikikis. Coba tanya berapa penghasilan tukang sapu di istana dan office boy di gedung DPR. Insya Allah juga terjadi pemiskinan di ranah paling ekslusif ini.

Landasan
Seperti judul di atas, bisakah ‘Berhaji Sambil Atasi Kemiskinan’? Bisa. Asal haji tak dibiarkan kembali pada urusan masing-masing jamaah. Mengingat kemiskinan telah mencapai angka 50-an juta, urusan haji pun harus disiasahi sedemikian rupa untuk bisa membantu fakir miskin. Dalam wilayah fiqh, haji yang urusan pribadi, konteksnya harus diubah ke sosial ekonomi. Dalam bahasa Sofyan S. Siregar, inilah saat tepat mengeluarkan fatwa di seputar Fikih Rakyat (Republika, 29 November 2006).

Mengalihkan urusan pribadi ke masyarakat, tak lain bicara koordinasi, manajemen serta prakteknya. Lepas dari berbagai kendala terutama konflik kepentingan, coba hitung apa saja kebutuhan jamaah untuk dibawa ke tanah suci. Dari alas kaki hingga ujung rambut, semua bisa diarahkan untuk pemberdayaan ekonomi. Memang sedikit banyak pemberdayaan tersebut sudah dijalankan. Yang belum adalah dam haji. Sesuatu yang masih jadi wacana, sementara kemiskinan di Indonesia terus terproduksi.

Tentu ada alasan, mengapa dam haji diihtiarkan (untuk tak menyebut di-ijtihad-kan) disembelih di Indonesia. Seperti disadur Nuruddin Mhd. Ali, ada beberapa pendapat yang dirujuk. Pertama konsep al mashalih al-mursalah (kemaslahatan bersama yang disepakati). Dalam konsep ini Imam Ghazali menegaskan, jika negara dalam kondisi darurat, pajak orang kaya bisa ditingkatkan. Sebuah pendapat yang tak beda dengan nasihat Imam Maliki. Agar Baitul Maal yang kosong bisa berperan lagi, penuhi dengan pajak dari orang-orang kaya. Perhatikan, konteks sosial ekonomi politik mengapa itu diberlakukan.

Masih ingat kisah tukang sol sepatu? 20 tahun lamanya dia kumpulkan dirham demi dirham untuk bisa naik haji. Jelang keberangkatan, ternyata tetangganya yang janda dengan sekian anak yatim kelaparan. Berhari-hari tak makan, yang saat dikunjungi keluarga ini siap menyantap bangkai keledai. Pikirnya jika tidak ditolong, siapa bisa jamin besok mereka tak bakal mati kelaparan. Sementara jika dia dan isteri batal haji, toh tetap bisa meneruskan aktivitasnya. Syukur-syukur masih bisa menabung lagi untuk haji mendatang. Akhirnya dengan ihlas lillahi ta’ala, dia serahkan semua tabungan hajinya untuk keluarga

Perhatikan ibadah haji yang urusan pribadi, dialihkan jadi perkara sosial ekonomi. Dia urungkan mimpinya untuk menikmati sujud di Masjidil Haram, untuk bertawaf, untuk berdoa di antara hajar aswad dan pintu Kabah, untuk memohon di hijir Ismail tempat yang mustajab, untuk sa’i, untuk mereguk air zamzam dan untuk menghirup udara di Arafah dengan tenda-tendanya yang serba putih. Dia sisihkan keinginan pribadinya, demi kehidupan orang lain.

Karena mengharap ridho-Nya, Allah swt pun membalas dengan ganjaran yang mustahil dibayangkan manusia. Oleh Allah swt, sedekahnya jadi berkah bagi tiga pihak. Pertama, sedekahnya menyelamatkan kehidupan keluarga yatim. Kedua sedekah itu memabrurkan 600 ribu jamaah haji yang saat itu tengah bertawaf di Kabah. Padahal seperti yang didialogkan dua malaikat, 600 ribu jamaah ini ditengarai tak satupun bakal mabrur. Dan ketiga, tanpa naik haji, tukang sol sepatu beserta isterinya juga mendapat ganjaran haji mabrur.

Sedekah memang ajaib. Coba hitung. Dirham yang dikumpulkan tukang sol, katakan untuk ONH yang Rp 30 juta. Dengan sedekah Rp 30 juta, dia bisa mabrurkan 600 ribu jamaah. Berarti sedekah Rp 30 juta itu lebih berkah ketimbang 600.000 X Rp 30 juta = Rp 18 triliun. Allahu Akbar.

Sumber Daya
Dalam bentang sejarah Indonesia, haji hanyalah penggalan-penggalan rutinitas. Dalam konteks pribadi, haji mewujud sebagai pengalaman seumur hidup sekali. Karena sekali, bisa jadi jalan hidup seseorang berubah. Antara rutinitas dan seumur hidup sekali, itulah paduan yang harus disiasahi. Muslim manapun ingin bahwa aktivitasnya bermakna bagi orang lain. Maka dam haji, bisakah ditujukan sebagai satu instrumen untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Sekali lagi jadi penting, dam haji jangan dibiarkan hanya sekadar denda, sekadar menggugurkan kewajiban. Ada kemiskinan yang terus berkembang biak di tanah air. Ke situlah dam haji seyogyanya ditujukan.

Dam haji terjadi karena denda haji tamatu. Yakni mendahulukan umroh untuk menanggalkan kain ihram di saat haji. Nyaris hampir seluruh jemaah Indonesia memilih tamatu, ketimbang ifrat. Dam haji berupa kurban satu domba. Per ekor dihargai RS 300 (Real Saudi). RS 1 setara dengan Rp 2.500. Maka harga RS 300 per kambing, setara dengan Rp 750 ribu. Sedang jumlah jamaah haji Indonesia tahun 1427 H yang 205 ribu, itulah jumlah yang siap menyisihkan dam Rp 750 ribu per jamaah.

Dalam THK (Tebar Hewan Kurban) Dompet Dhuafa Republika (DD), strategi pemberdayaan dimulai tiga bulan sebelum Iedul Qurban. Dengan kiat THK, Rp 750 ribu dapat menghasilkan dua ekor kambing. Lantas dengan 205 ribu jamaah, jumlahnya meningkat dua kali lipat jadi 410 ribu kambing. Jika dam haji itu langsung dialokasikan di tanah air, berarti dibutuhkan 410 ribu kambing. Ini potensi besar, yang bisa mengatasi sekian kemiskinan di setiap musim haji. Sementara THK juga meng-inspring kegiatan serupa di PKPU, RZI dan YDSF. Jumlah kambing yang dihimpun tentu lebih besar lagi.

Ada seorang ustadz dari Lampung pernah bekerja di Tabung Haji Malaysia. Satu tugasnya, mengurus dam haji Malaysia. Strategi Tabung Haji Malaysia, investasi domba di Mekkah tiga bulan sebelum haji. Investasi ini hanya butuh RS 100 per domba. Maka tiap musim haji, Tabung Haji Malaysia mengantungi RS 200 dari keuntungan dam haji per jamaah. Dengan kuota 27 ribu jamaah haji, Tabung Haji meraup dana sekitar 27.000 x 200 x Rp 2.500 = Rp 13.5 milyar per musim haji.

Lepas dari Kemiskinan
Kini ada dua alternatif. Pertama menggunakan pendekatan Tabung Haji Malaysia. Dam haji yang berupa kurban, tetap disembelih di Mekkah. Selisih keuntungan investasi dan harga jual, itulah laba yang bisa diamankan. Yang patut dicontoh lagi, keuntungan itu tak tercecer. Seluruhnya bisa dihimpun. Sebab Tabung Haji mengkoordinasi seluruh jamaah, hingga jamaah haji Malaysia tidak bergerak sendiri-sendiri. Ingat itu baru laba dam haji yang sekian ratus milyar. Menurut Head of Communication Tabung Haji, dengan berbagai keuntungan itu, Tabung Haji Malaysia bisa investasi kelapa sawit di Sumatera. Termasuk juga memiliki saham di industri otomotif nasional Proton. Yang menarik, jika investasi di Proton rugi satu Ringgit, pemerintah Malaysia siap mengganti.

Jika model Tabung Haji digunakan Indonesia, hitung-hitungannya begini. Investasi RS 100, menyisihkan RS 200. Jumlah 205.000 jamaah X RS 200 diperoleh RS 41 juta. Dirupiahkan, RS 41 juta X Rp 2.500 jumlahnya mencapai Rp 102.5 milyar. Uang Rp 102.5 milyar dari dam haji, dialokasikan untuk penanggulangan kemiskinan di tanah air. Bandingkan dengan THK terakhir di 2006, untuk 10 ribuan kambing, mencapai perputaran Rp 8 milyaran. Kapitalisasi pemberdayaan dengan model THK belum terhitung. Namun ratusan peternak di berbagai pelosok sudah bergabung dalam

Pada prakteknya, dam haji memang jadi ajang bisnis. Termasuk yang dikelola para penyelenggara haji Indonesia. Laba dam haji ini, tercecer ke kantong masing-masing. Yang mungkin hanya habis untuk sekadar makan nasi mandi atau nasi bukhari. Pemerintah Saudi pun tak mengkoordinir dam haji. Hanya menyediakan nomor rekening, bagi jamaah yang ingin bergabung. Yang ingin melakukan sendiri, silakan langsung bertransaksi dengan pihak manapun. Secara tersirat, bukankah pemerintah Saudi memberi peluang mengelola dam haji?

Alternatif kedua adalah menggunakan model THK. Dengan model THK, dari 205 ribu jamaah haji Indonesia, diperoleh 410 ribu kambing. Kini kita kalkulasi, bagaimana 410 ribu kambing dikaitkan dengan kemiskinan. Untuk hidup normal, satu keluarga peternak miskin dengan tiga anak, butuh Rp 1 juta/bulan. Laba kambing, rata-rata Rp 50 ribu per ekor. Untuk Rp 1 juta, butuh 20 kambing. Agar benar-benar lepas dari kemiskinan, peternak harus dibantu dalam tiga putaran. Business as usual bukan. Artinya di putaran pertama, ada 20 kambing yang dijual. Putaran kedua, 20 kambing tengah digemukkan. Dan putaran ketiga, ada cadangan dana untuk 20 kambing.

Dengan kalkulasi itu, berapa jumlah peternak yang bisa dibantu? Jumlah 410 ribu ekor dibagi dengan 60. Maka diperoleh angka 6.833, yang artinya itulah jumlah peternak yang siap dibantu. Dengan tiga anak, berarti 6.833 x 5 jiwa. Maka jumlahnya mencapai 34.165 jiwa. Itulah jumlah jiwa yang lepas dari kemiskinan per sekali musim haji. Itu belum terhitung kambing yang beranak. Di samping kapitalisasi usaha tentu akan mendongkrak bisnis turunan lainnya. Artinya perputaran uang di ternak kambing yang merembet ke usaha lain, jelas punya pengaruh besar untuk mengikis kemiskinan.

Kini, entah model mana yang hendak dipilih: Tabung Haji Malaysia atau THK. Sementara kita masih berwacana, Tabung Haji Malaysia sudah melakukan dengan koordinasi, manajemen dan praktek yang melahirkan berbagai kebajikan. Sementara kita masih harap-harap cemas menunggu fatwa MUI dan para ulama, kemiskinan terus bertambah dari hari ke hari. Sudah saatnya fatwa yang hanya menggugurkan kewajiban yang individualistik, dialihkan dalam konteks sosial ekonomi. Para pengambil kebijakan pun dituntut untuk tak sekadar menganalisa dan mengatasi kemiskinan dari belakang meja.

Kita tak mau bukan kemiskinan akan jadi prahara, yang akan mencabik-cabik golongan kaya. Kita juga tak mau bukan, kemiskinan bagai api dalam sekam, mengintai untuk kemudian menyulut dan meranggaskan harmoni sosial. Kita musti berani berijtihad seperti yang tukang sol sepatu lakukan. Tanpa naik haji, dia buktikan bisa mabrurkan 600 ribu jamaah haji. Maka dam haji hanyalah denda. Hanya sekadar mengalihkan, bukan meniadakan. Maka masihkah kita enggan mengambil ibrah dari ijtihadnya tukang sol itu? Masihkah kita tak tergetar melihat kemiskinan yang telah mencapai angka 50 juta orang?

--o0o--


0 Responses to Sambil Berhaji, Atasi Kemiskinan

= Leave a Reply