Maaf, Sedekah SBY Bukan Sedekah Presiden

⊆ 09.14 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Ah, gembira sih boleh. Tapi proporsional sajalah. Meski di tahun 2006 SBY telah sisihkan zakat, tak berarti soal perzakatan Indonesia selesai. Tak percaya? Ingat saat jadi presiden, Megawati pun lakukan hal sama. Dua presiden telah berzakat terang-terangan, toh dunia perzakatan Indonesia belum berubah signifikan. Berarti ada persoalan yang tak pernah dianggap masalah. Bahwa zakat masih berkutat disekadar gugurkan kewajiban. Asal buat si miskin, bingkai charity sudah dianggap pas. Jika bukan bingkisan bagi si yatim, pastilah bagi-bagi sembako. Zakat terlanjur disederhanakan, mudah dilakukan hingga tak perlu dikelola profesional. Sungguh, paradigma tanpa secuilpun keistimewaan.

Lari di Tempat
Ibarat dalam olah raga, episode perzakatan masih lari di tempat. Untuk kebugaran sendiri, lari di tempat baik. Namun bagi masyarakat, lelahnya tak berarti banyak. Dalam zakat, lari di tempat sudah dilakukan cukup lama. Di masyarakat ditandai dengan lahirnya beragam LAZ (Lembaga Amil Zakat). Seperti YDSF (Yayasan Dana Sosial Al Falah) Surabaya, yang awalnya hanya mengelola infak di tahun 1987. DD (Dompet Dhuafa Republika) yang lahir 1993, langsung ‘tancap gas’. Inginnya ubah tradisi zakat yang terlanjur dianggap ‘kampungan’. Tahun 1997 FOZ (Forum Zakat) pun terbentuk. Forum ini musti hadir, karena problem lembaga zakat tak lagi sederhana. Sebagai tandem, IMZ (Institut Manajemen Zakat) pun dikreasi 1999, dengan tugas mendadani amil (praktisi zakat) dan lembaganya.

Beda peran tentu beda segment. Entah bagaimana asbabul wurudz-nya, berbagai lembaga telah beredar di orbit masing-masing. Di level mikro, eksisistensi LAZ makin mengakar di berbagai pelosok. Di tingkat meso, IMZ musti berbenah-benah dengan capacity buiding. Agar para amil tak nyasar sana sini, hingga bisa temukan performance terbaiknya. Sedang pada dataran makro, advokasi agaknya tepat disandang FOZ. Tanpa komando dan hirarki berbelit-belit, diam-diam strategi di lapangan telah memetakan peran fungsi dan tugas masing-masing lembaga. Masyarakat memang punya postulatnya sendiri. Lagi-lagi ini bukti, bagaimanapun masyarakat bisa arif bersikap.

Di pemerintah, BAZIS DKI Jakarta mulai terasa kiprah kelembagaannya di awal 80-an. Lantas UU nomor 38 tentang Pengelolaan Zakat disahkan tahun 1999. Setahun berikut, Presiden RI melembagakan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Saat itu pula diinisiasi Kedirekturan Pendayagunaan Zakat di bawah Dirjen Bimas Islam Depag. Di tahun 2005, disamping Direktorat Pengembangan Zakat, juga ditumbuhkan direktorat baru khusus untuk Pengembangan Wakaf. BAZ pun bermunculan, dari tingkat propinsi hingga kecamatan. Ibarat di jalan raya, weleh...weleh...weleh.., dunia perzakatan Indonesia ‘padat merayap’.
2.5% Tak Cukup
Maka di ‘padat merayap’ itulah soalnya. Sebelum macet, kendaraan tampak andal. Begitu terjebak macet, siapapun sepakat kendaraan jadi beban. Perkembangan zakat yang sudah ‘kelelahan’, ternyata posisinya masih merayap-rayap. Lihatlah, dentam zakat telah dan terus menggebyar-gebyar di beragam media. Seolah zakat telah terbangun luar biasa, namun sejatinya cuma klakson memekak di hiruk pikuk kemacetan.

Perzakatan Indonesia tetap tersendat di tahap paling tradisional. Berjingkat sana sini, yang ternyata masih belum bisa lepas dari betotan ranah individual. Peringkat zakat belum naik ke kelas ‘Fiqih Sosial’ (Sofyan S. Siregar, Republika 29 Nov’06). Entah belum tahu, belum mau atau belum mampu. Atau memang tak yakin memompa zakat, agar punya peran yang lebih powerfull. Zakat yang selalu dikembalikan pada hati dan nurani masing-masing muzaki, tanpa sadar mengebiri ‘Politik Zakat’. Tanpa ‘Politik Zakat’, jangan pernah berharap bangsa ini bisa memberi masa depan bagi fakir miskin. Tanpa ‘Politik Zakat’, kekuatan zakat tetap ada namun hanya memijar bagai bohlam 5 watt.

Data World Bank bicara, 100 juta lebih orang Indonesia dipasung kemiskinan. Artinya separuh masa depan bangsa ini lenyap ditelan kemelaratan. Indonesia masuk dalam wilayah rawan. Yang menurut Sofyan Siregar, ini bukti kegagalan semua pihak. Baik pemerintah, pejabat, pebisnis, ulama, pendeta, akademisi, profesional, LSM, praktisi zakat dan sebut siapapun yang ada di Indonesia. Semua pihak gagal menahan laju pertumbuhan kemiskinan. Tapi bagi petualang politik, jumlah fakir miskin adalah peluang. Makin besar jumlahnya, makin besar kesempatan menangkan pilkada. Kecut membayangkan kekejian politisi yang gemar berkeruh-keruh, yang selalu tega berbuat nista di tiap kekeruhan.

Pertanyaannya kini, apakah disepakati bahwa Indonesia memang tengah remuk? Jika ya, ayo sudahi bersikap untuk pribadi. Juga akhiri kekhusuan ibadah, hanya demi bernikmat-nikmat sendiri. Zakat 2,5% tak lagi cukup. Mustahil bohlam 5 watt bisa atasi separuh penduduk negeri yang melarat. Coba bandingkan. Indonesia diberkahi kekayaan tiada tara. Namun mengapa terjadi kelaparan dan busung lapar. Salah satu jawabnya karena kebijakan. Kebijakan apa? Kebijakan utang, serta obral kekayaan dan aset sana sini untuk bayari utang itu. Bahkan dengan disahkan RUU Penanaman Modal 29 Maret’07, Revrisond Baswir tegaskan (Republika 9 April’07), Indonesia terjebak dalam eksploitasi bisnis multinasional asing jangka panjang. Sepertinya membangun, tapi pemiskinan justru dilakukan dengan strategi, kebijakan dan UU.

Adu argumen di meja-meja forum dan seminar, memang beda dengan praktek atasi kemiskinan di lapangan. Yang pasti, pengelolaan kekayaan ambur adul. Butuh bukti, nih dia. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2006 akhirnya diselesaikan Depkeu. Dalam LKPP, aset neraca negara tertera Rp 1.253,71 triliun. Namun total kewajiban terbilang Rp 1.318,16 triliun. Negara defisit Rp 64,45 triliun. Yang katanya masih lebih baik dibanding 2005, defisitnya capai Rp 168,92 triliun. Nah, maka jangankan zakat. Ruahan kekayaan Indonesia pun tak bisa makmurkan pemiliknya. Apalagi cuma remahan 2.5%. Nafsu boleh, tapi ukur-ukurlah. Apa sih yang bisa dilakukan bohlam 5 watt?

Sedekah Jabatan
Kini bolehlah disimpulkan. Kondisi ‘gawat darurat’ terjadi karena policy. Di tangan yang salah, kebijakan punya potensi dan terbukti destruktif. Agar kebijakan tak selalu buruk, pernahkah terbersit bahwa kebijakan pun harus disedekahkan. Sebagai muzaki, SBY sudah berzakat 2.5%. Sebagai Presiden RI, apa sedekah SBY? Inilah sedekah jabatan, yang punya kekuatan mengembalikan masa depan Indonesia. Sedekah jabatan tak kalah mulia dibanding zakat 2.5%. Bahkan barangkali maknanya lebih karena menyangkut keadilan, keberpihakan dan ‘harmoni sosial’ untuk kehidupan bangsa.

Dalam konteks kebijakan, tiap warga negara punya hak yang sama. Maka kata adil, harus jadi penjamin agar warga bisa peroleh hak-haknya. Negara pun harus sanggup ber-nahi munkar, agar yang kuat tak semena-mena pada yang kecil. Dalam keberpihakan, negara harus berpihak pada tiga golongan, yakni kalangan fakir miskin, kalangan lemah dan kalangan mustadh’afin. Semua itu jadi koridor menuju ‘harmoni sosial’. Tanpa ‘sedekah jabatan’, mustahil zakat yang cuma 2.5% bisa atasi kemiskinan. Kebijakanlah yang dapat mengurangi fakir miskin. Maka ‘mendiamkan’ zakat hingga lemah begini, itu juga kebijakan. Namun kebijakan yang keliru.

Dengan kebijakan, posisi zakat tak lagi ‘pinggiran’. Pertama bagi policy maker, menyetarakan zakat dengan pajak bukan hal sulit. Kedua hanya kebijakan yang bisa tempatkan zakat jadi tax deductable. Benchmark-lah ke Singapura. Negara sekuler yang bebas bea impor ini, toh sama sekali tak sungkan akui zakat sebagai pengurang pajak. Lantas mengapa Indonesia tidak. Ketiga dengan kebijakan, saatnya zakat dikendalikan Departemen Keuangan.

Bicara zakat, zahirnya mengelola uang. Bicara agama, itu landasannya. Dengan di Depkeu, kekuatan negara bertambah. Ada pajak dan ada zakat. Dalam kebijakan fiskal, negara akhirnya leluasa memainkan peran zakat. Pajak pun tak lagi kesulitan alokasikan dana untuk fakir miskin. Karena fungsi zakat, memang jaminan sosial bagi fakir miskin. Dengan setaranya zakat pada pajak, ada hal lain yang selama ini ragu diterapkan bahkan oleh UU 38/1999 sekalipun. Wajib pajak yang ingkar, dikejar negara. Dalam kordinasi Depkeu, muzaki pun akhirnya tak bisa mengelak dari kewajibannya. Syaratnya, asal zakat jadi pengurang pajak. Mengurangi pajak, esensinya tak kurangi pendapatan negara. Sebab sama-sama masuk ke kas negara serta untuk kepentingan rakyat banyak.

Dengan zakat, sungguh negara ini terbantu banyak. Coba lihat. Dalam anggaran 2008, negara akan alokasikan Rp 80 triliun. Tapi astaghfirullah, 80% ditargetkan dari utang luar negeri (Republika 14 April’07). Selalu saja penyelenggaraan negara ini anomali. Zakat yang hibah untuk atasi kemiskinan diabaikan. Sementara utang yang harus dikembalikan, eeeh... malah dikejar. Atasi kemiskinkan dengan utang, jelas memerangkap bangsa ini jatuh dalam kemiskinan jangka panjang.

Maka sesungguhnya, bersyukurlah bagi yang punya jabatan. Kesempatan untuk berbuat kebajikan terbentang lebar. Agar usai pensiun tak sesal, kapan lagi sedekahkan jabatan. Buat kebijakan yang adil dan berpihak. Tak mungkin atasi fakir miskin hanya dengan mengembalikan pada moral dan kebaikan hati muzaki. Juga mustahil atasi kemiskinan dengan alokasi pajak yang jauh dari cukup. Sungguh masa depan Indonesia makin sesak. Zakat yang gratis diabaikan, sementara utang yang musti dikembalikan diburu. Benar seloroh Asmuni Srimulat: ‘Ini hil-hil yang mustahal’.

--o0o--


0 Responses to Maaf, Sedekah SBY Bukan Sedekah Presiden

= Leave a Reply