Petuah Mahathir

⊆ 07.00 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Tak banyak yang tahu. Pada 3 Mei 2007, Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh menganugerahi Doktor Honoriscausa pada Tun DR. Mahathir bin Mohamad. Bagi Mahathir, ini honoriscausa yang ke-27. Bagi lawan-lawannya, sosok Mahathir kontroversi. Bagi Malaysia, gelar ‘Bapa Pemodenan Malaysia’ tegaskan heroiknya Mahathir. Kontroversi dan pahlawan, memang beranjak dari pijakan yang mana. Meski malu-malu diakui, VOC pahlawan bagi Belanda. Bagi Indonesia jelas penjajah.

Mahathir dilahirkan pada 1925 sebagai bungsu dari 9 bersaudara. Pada usia 28 tahun, gelar dokter diraih dari University of Malaya. Usai ikatan dinas, bersama isteri dirikan Klinik Maha tahun 1957. Itulah klinik Melayu pertama di Negeri Kedah. Dari klinik ini keprihatinan Mahathir akan kondisi suku Melayu makin tak terbendung. Selama 1946-1950, opininya diterbitkkan Sunday Times dengan nama samaran C.H.E Det. Esai dan komentar tentang isu sosial ekonomi politik Melayu, juga dimuat di berbagai media seperti di The Straits Times. Berbagai tulisan itulah yang kemudian terbit jadi buku ‘Dilema Melayu’ pada 1970.


Gaya Mahathir
Pada 16 Juli 1981, Mahathir menggantikan PM Tun Hussein Onn. Era baru Malaysia disibak. Buku ‘Dilema Melayu’, jadi landasan pijak Mahathir. Dalam opening speech pada Asia Inc Forum on Leadership for Southeast Asia di Patrajaya, 9-10 Juni 2003, Mahathir menegaskan satu prinsip, yang seolah seperti mengenang saat awal memimpin Malaysia:

...if you do things that are expected of you, then that’s not a decision at all. You’re not a leader, you are just follower. As I have said, we (leaders) do not just follow. We think about doing things our own way. Like the song, ‘I did it my way’.

Ucapannya itu kental dengan gaya ‘kemahathirannya’. Sebelum jadi PM, jatidiri negarawan Mahathir telah tampak. Klinik Maha sebagai klinik Melayu pertama, tanda ke-leader-annya. Nama samaran di Sunday Times, juga taktik jitu saat banyak pendapat diberangus. Maka saat jabat PM, Mahathir tebas berbagai kendala yang menjebak kejumudan Melayu. Kekuasaan sultan pun dibatasi. Mereka tak lagi kebal hukum, juga tak lagi dapat kemudahan berbisnis. Bumi putera didorong penuh, terutama dengan dibangunnya Permodalan Nasional Berhard (PNB). Di Indonesia muncul Permodalan Nasional Madani (PNM). Sementara yang China tetap leluasa berbisnis. Keseimbangan Melayu, China dan India pun dapat dijaga.

Saat diterjang krisis 1997, Mahathir ambil kebijakan yang bertentangan dengan opini dunia. Ringgit di-fix rate-kan dengan US$. World Bank dan IMF meradang. Mahathir ditentang hebat. Timbalan PM juga tak sependapat. Anwar Ibrahim terang-terangan usul agar ringgit diambangkan. Gaya Mahathir pun bersikap. Tak boleh ada dua ‘matahari kembar’, yang akhirnya Anwar disisih. Kebijakan Mahathir terbukti antar Malaysia jadi satu-satunya negara yang paling cepat lolos dari krisis. Pulihnya Malaysia menampar habis muka IMF. Horst Kohler, yang saat itu jadi petinggi IMF memuji kebijakan Mahathir. Entah apakah ucapan Horst sesuai dengan kata hatinya.

Kebijakan fix rate, ilhami Mahathir terbitkan buku A New Deal For Asia. Bukan tanpa alasan Mahathir memulai buku ini dengan satu kata greed (licik, tamak). Kegeraman Mahathir amat tampak. Negara yang dibangun bertahun-tahun, hanya dalam waktu semalam dimentahkan oleh para spekulan. Dalam mengomentari buku itu, The Sunday Times menulis, implementasi gagasan Mahathir memperlihatkan kualitas kepemimpinannya. Kebijakan ini tidak hanya untuk Asia, tetapi juga baik diterapkan di dunia. Majalah Far Eastern Economic Review dan Asiaweek juga memuji A New Deal for Asia sebagai solusi lolos dari lubang jarum krisis.


Mahathir & Lee Kuan Yew
Setahun jelang lengser dari PM di 2003, Mahathir terbitkan buku Reflection on Asia. Judul ini cermin ketawadhuan Mahathir. Dengan puji-pujian selangit, Mahathir tak terjebak pongah. Maka bisa saja bukunya dijuduli Reflection on the World misalnya. Padahal Lee Kuan Yew telah merilis buku From Third World to First tahun 2000. Dalam buku Lee Kuan Yew itu, ada 33 testimoni pemimpin dunia. Di antaranya Kofi Annan, Margaret Thatcher, Goerge Bush, Jacques Chiraq, Helmut Kohl, Kim Dae Jung, Tony Blair, Paul Keating, Henry A. Kissinger hingga Rupert Murdoch.

Mahathir agaknya memang tak peduli dengan dunia entertain. Buku Dilema Melayu dan Reflection on Asia, juga memuat testimoni pemuka dunia. Memang ada lima komentar di Reflection on Asia, tapi itu untuk karya A New Deal for Asia. Semua komentar dari media, yakni dari The Sunday Times, The Star, Asiaweek, Far Eastern Review dan Men’s Review. Sekali lagi satu kata greed dalam memulai A New Deal for Asia, menegaskan sosok dan posisi Mahathir di mata Barat. Maka tak ada testimoni dari mereka. Dan Mahathir pun tebukti tak pernah hirau.

Dalam From Third World to First, tampak Harry, panggilan akrab Lee Kuan Yew, mengelola Singapura seperti perusahaan. Rakyat adalah karyawan. Maka tak ada demokrasi apalagi partai-partaian. Jika rakyat sejahtera, dengan sendirinya kehidupan politik berjalan baik. Sementara Mahathir harus mendorong majunya puak-puak Melayu di antara kesuksesan peranakan Tionghoa. Lee Kuan Yew suskes bawa rakyat Singapura berpenghasilan US$ 24.000/tahun. Sedang Mahathir telah ubah Malaysia dari sekadar ekspor karet dan timah, jadi negara industri modern untuk peralatan elektronik, besi baja dan mobil. Malaysia punya Proton, Singapura tidak. Malaysia pun punya Petronas, yang ekspansinya merambah negera jiran yang dikuasai Pertamina.


Orasi Honoriscausa
Saat penganugerahan honoriscausa di Universitas Syiah Kuala Darussalam, orasi Mahathir membuat jantung seolah berhenti berdetak. Maju mundurnya sebuah negara, katanya, bukan ditentukan oleh SDA. Ada negeri yang kaya SDA namun miskin. Tapi ada yang miskin SDA malah maju. Beberapa negara di gurun-gurun yang dulu miskin, kini telah berubah kaya. Mereka biayai tenaga asing eksplorasi minyak. Gedung-gedung pencakar langit pun dibangun. Namun SDM diabaikan. Mereka kaya, tapi tak maju. Kekayaan meruah-ruah, namun mengapa mereka tetap berada di negara ketiga. Hanya bangun pencakar langit, tak otomatis maju.

Mukul Asher, seorang profesor di Lee Kuan Yew Institute membandingkan pelabuhan Dubai dan Changi. Dubai dibangun jauh lebih megah ketimbang Changi. Tetapi Dubai hanya phisik saja. Sedang Changi yang kesulitan lahan, tetap lebih efisien dan efektif karena ditunjang SDM yang disiapkan. Mahathir lanjutkan, bangsa yang maju karena punya ilmu dan kecakapan. Dengan itu sumber daya diolah, kemiskinan diatasi dan negara didorong maju. Hasil penelitian bicara, maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh budaya bangsanya. Nilai hidup ini dipercayai, dipegang dan harus diamalkan. Nilai hidup itu juga akan menentukan reaksi manusia terhadap persoalan di sekelilingnya.

Itulah ‘modal sosial’, yang telah hilang dari perbendaharaan. Tanpa modal sosial, masyarakat akhirnya hanyalah kerumunan bukan barisan. Masyarakat akan stabil jika budayanya sesuai untuk kestabilan. Ada masyarakat yang punya ‘budaya ganas’. Maka sebaik apapun pemerintah tentu sulit ciptakan kestabilan. Juga kepercayaan bahwa demokrasi boleh menjamin kestabilan adalah tidak benar. Pucuk pimpinan harus punya sifat-sifat mulia. Sifat ini sekali lagi amat bergantung pada nilai hidup masyarakatnya. Dalam masyarakat yang tidak berbudaya mulia, pemimpin juga tidak akan memiliki nilai itu.

Salah satu nilai hidup terpenting adalah disiplin. Tertib di segala bidang dan tertib bersikap. Disiplin bermanfaat untuk cegah manusia jadi tak tamak dan egois. Bangsa yang disiplin, akan memangkas nafsu dan kepentingan pribadi untuk patuh hukum, peraturan dan undang-undang. Memang penyalahgunaan kuasa lebih memberi kekayaan, tetapi akhirnya akan celaka. Masyarakat yang dipenuhi anggota yang tidak disiplin, tidak akan pernah maju. Yang tak disiplin, akhirnya akan menuai keburukan. Sudah tentu pula keturunan mereka akan jadi mangsa di kemudian hari, ujar Mahathir membuat kening berkerut.

Tanpa nilai yang mulia, segala ilmu dan kecakapan tidak dapat dipakai guna membangun negara. Semua disalahgunakan. Bukan menyumbang tapi menumbangkan. Itu memusnahkan negara. Satu lagi sifat yang membentuk budaya tinggi dan baik ialah perasaan malu. Jika tahu malu, tidak akan dilakukan hal buruk dan salah. Tidak akan diambil yang bukan haknya. Tak akan mencuri dan terima suap.

Jika negara ingin maju, ganti budaya konservatif dengan budaya progresif. Negara konservatif tidak suka akan perubahan. Ingin kekal dengan cara lama dan kepiawaian yang lama. Sedang budaya progresif, ingin kejar yang lebih baik. Mereka akan berusaha sepanjang masa untuk perbaiki lagi apa yang sudah dicapai. Jadikanlah sifat progresif sebagai bagian hidup, guna menyumbang kepada pembangunan negara.

Tak ada bangsa yang dijadikan Allah swt lebih unggul ketimbang yang lain. Yang ada hanyalah bangsa yang lebih rajin, lebih tekun dalam mengulangi berkali-kali sesuatu yang ingin dikuasai. Ilmu dan kecakapan melalui ulangan bertalu-talu, akan diwarisi oleh anak cucu. Anak bukan hanya mewarisi paras rupa ibu bapak, namun juga kebolehan mereka. Harus ada sekolah, bengkel latihan, institusi dan universitas. Kita antar pelatih dan pelajar ke negara asing. Tetapi tanpa budaya dan nilai hidup mulia, tanpa kesadaran akan pentingnya latihan berulang-ulang, apa saja yang disediakan tidak akan berjaya membangun negara.

Allah telah berjanji, tidak akan menolong memperbaiki nasib manusia kecuali manusia itu yang harus memperbaikinya. Tetapi apakah kita telah usahakan. Benar-benar diusahakan. Kita tahu segala yang baik datangnya dari Allah swt. Yang buruk datangnya dari diri sendiri. Jika hari ini nasib kita buruk, tentulah kita yang bersalah. Tanpa kita tahu dimana duduk kesilapan, tak akan dapat nasib diperbaiki. Kesilapan terbesar adalah budaya dan nilai hidup yang dipupuk dan diamalkan masyarakat kita. Selagi kita tidak akui bahwa yang bersalah ialah kita, selagi kita tak akui kelemahan kita berpuncak pada kita sendiri, selagi kita tidak sanggup memperbaiki diri kita, selama itulah kita akan gagal membangun negara. Tidak ada yang mudah dalam perkara ini. Yang ada hanyalah rintangan yang memerlukan disiplin, pengorbanan, nilai hidup yang mulia serta usaha yang berulang.

Gemuruh tepuk tangan akhiri orasi Mahathir. Yang tersisa tinggal renungan. ‘Oh Indonesia-ku’.


0 Responses to Petuah Mahathir

= Leave a Reply