Privatisasi yang Tersesat

⊆ 06.48 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 1 komentar »

Divestasi sebagai awal privatisasi BNI, menjungkal banyak perkiraan. Pertama saham BNI diobral murah. Kedua cilaka, divestasi 30% ternyata cuma meraup Rp 4 triliunan dari target Rp 8 triliun. Karena itu yang ketiga terpaksa secondary offering disiapkan. Keempat yang lebih dikhawatirkan, gagalnya target menggelapkan mata untuk lakukan apapun agar uang masuk. Jangan-jangan 70an persen saham pemerintah di BNI, bakal dikerat lagi.

Aneh, BNI bukan BUMN sakit-sakitan. Posisi bank BUMN ini, terbesar ketiga setelah Bank Mandiri dan BRI. Assetnya total Rp 175 triliun. Jaringan kantor tersebar di 972 kantor dengan 2.325 ATM. Sementara kartu kredit BNI, total dipegang 1,2 juta orang. Jumlah itu, memposisikan BNI bertengger di peringkat ke-2 pemain kartu kredit. Dengan jumlah hampir 1.000 jaringan, rencana BNI konsen di UKM bakal mendulang laba makin besar. Laba UKM ternyata memang lebih tinggi ketimbang korporat.

Tengok saja, laba Bank Danamon di kuartal pertama 2007 capai Rp 1,8 triliun. Bandingkan di kuartal pertama 2006, Danamon cuma himpun Rp 500-an miliar. Lebih dari separuh, laba itu dipasok DSP (Danamon Simpan Pinjam), microfinance-nya Danamon. Sementara Citigroup pun luncurkan Citifinancial. Satu langkah dahsyat karena perusahaan raksasa nomor wahid di dunia versi majalah Forbes ini tak tahan untuk raup laba di UKM. Dengan PT Pos, Citi Bank telah teken kontrak Juni’07 untuk seluruh Indonesia.

Terjerembabnya nilai saham BNI, ada kaitnya dengan pasar keuangan saat yang fluktuatif. Ditengarai ini berkait dengan musim libur di AS yang berakhir pada Agustus. Maka September atau selambatnya awal Oktober, pemerintah tetap akan melego Jasa Marga dan Wijaya Karya. Alasan privatisasi, jangka pendeknya cari uang untuk APBN. Jangka menengahnya benahi kinerja manajemen BUMN. Sedang jangka panjangnya, ini yang tak bakal pernah bisa dijawab. Tak terjawab, tersiratnya bukankah tersesat.

Kepentingan Permanen

Dicopotnya Sugiharto pada Mei 2007, hingga kini masih menggayutkan pertanyaan. Ada yang bilang, dia dilengser karena menolak dibilang kader sebuah partai. Padahal partai itu yang mengusung namanya untuk diterima di jajaran menteri. Alasan lain, pasar marah karena jadwal divestasi molor tanpa kepastian. Harusnya di semester I 2007, ada enam BUMN yang musti dilego (BNI, Wika, Jasa Marga, BTN, PTPN III dan PTPN IV). Alih-alih divestasi, Sugiharto malah berujar: ‘Jika untung mengapa dijual’. Arah kebijakan Sugiharto jelas. Ini yang membuat beberapa pihak meradang.

Sugiharto pun tak asal bicara. Sebab di kuartal I 2007, BUMN sanggup menyetor dividen Rp 21,4 triliun melebihi target Rp 20,8 triliun. Menurut sumber Kementerian Negara BUMN, dividen 2005 capai Rp 55,6 triliun. Naik kira-kira 5% dari 2004. Di 2006, dividen yang disetor BUMN malah naik 22%. Dirupiahkan raupannya capai Rp 68,8 triliun. Kinerja BUMN di 2006 agaknya sudah tampak lebih terbenahi. Maka tanpa dijual, toh BUMN telah pasok dana bagi APBN.

Menilik setoran dividen, jelas kerja profesional. Namun entah, ada sesuatukah hingga tetap dicopot. Kabar burung berujar, jadi menteri harus mau dong jadi ‘sapi perah’. Wallahu’alam. Jika itu benar, Indonesia memang lestari dibusuki dari dalam. Ada kepentingan permanen jangka pendek yang membalut negeri ini.


Tanpa Alasan

Bagi sebagian pihak, pelengseran Sugiharto kentalkan kesan bahwa privatisasi memang tanpa arah dan landasan yang jelas. Jika butuh dana, apakah negara lain juga tak butuh. Bila pun terpaksa dijual, di negeri lain pemerintah dipastikan tetap mayoritas atau punya bargaining kuat. Jika alasannya kinerja buruk, lho bukankah penempatan direksi BUMN lebih kental nuansa politis dan KKN. Agar bisa jadi ‘sapi perah’, bukankah memang dicari yang loyal. Dengan model fit and proper test begini, jangan harap BUMN bisa profesional. Solusinya tentu juga keliru mengobral aset negara. Apalagi seperti di zaman kolonial, yang asing dilayani habis-habisan.

Perhatikan kekhawatiran Mahathir Muhammad: Era globalisasi perlu dihadapi dengan semangat nasionalisme yang sama kuatnya seperti saat melawan penjajahan dulu. Cara dagang Eropa beda dengan Asia. Dalam berdagang, mereka juga kerahkan tentara untuk mengamankan bisnis. Sedang kini mereka bawa globalisasi dengan konsep mereka. Bolehkah kita percaya bahwa mereka tidak akan menjajah seperti dulu?

Motif dagang hirup laba sebesar-besarnya. Dalam globalisasi, meruahnya laba agaknya tak cukup. Simak apa yang dikatakan Francois J. Grossas, Principal Investment Officer IFC (International Financial Cooperation): Dengan kepemilikan 20% di BNI, kita sudah bisa tempatkan direksi hingga bisa pengaruhi kebijakan perusahaan, terkait soal kebijakan kredit maupun isu lingkungan (Republika 26 Juli 2007). Jangan anggap remeh, IFC merupakan anak perusahaan milik World Bank. Luar biasa, Bank Dunia punya anak perusahaan. Bolehkah BI punya anak perusahaan? Pameo tempo ‘doeloe’ sudah ingatkan, ‘ada udang di balik batu’.

IFC telah ikrarkan minat berpartisipasi dalam program konsolidasi perbankan. Dalam gelontorkan kredit UKM, IFC telah gandeng BII dan Bank Danamon. Lantas IFC juga punya saham di NISP. Data riset Infobank perlu dicatat. Sebelum krisis, saham asing hanya 13%. Sekitar Mei 2007 sudah capai 44% dari total aset perbankan nasional. Dalam waktu yang sama, saham pemerintah tinggal 36%.

Agaknya data seperti ini tak pernah menyentak pemerintah. Bahkan meski pasar keuangan lesu, hingga akhir 2007 pemerintah tetap semangat selesaikan privatisasi BNI, Wika dan Jasa Marga. Coba amati. Kabarnya, kendaraan yang hilir mudik di jalan tol sekitar 400.000 buah. Andai rata-rata Rp 4.000/mobil, omzet jalan tol capai Rp 1,6 miliar/hari. Per bulan dan per tahun hitung saja. Maka bukankah Jasa Marga merupakan BUMN yang kuat dan makmur.

Jual BUMN sakit-sakitan, akal sehat terima ikhlas. Anehnya BUMN kuat dan makmur seperti Jasa Marga dijual. Sebenarnya, masih adakah akal sehat di pemerintah? Atau jual apapun itu tabiat fakir miskin. Orang jadi miskin di antaranya karena tak mampu eksplorasi diri dan peluang. Maka mengapa privatisasi dalam benak pemerintah, selalu identik dengan ‘menjual’. Kapan belinya? Harusnya Jasa Marga yang kuat dan makmur, bisa beli BNI. Atau menaruh saham untuk kelola jalan tol di luar negeri. Total BUMN yang 158, kini tersisa 139. Di tahun 2008, ada 16 BUMN yang bakal dijual. Tidakkah terpikir kapan tambahnya.

Ucapan Ho Ching, CEO Temasek Holdings, perlu dipelajari: Saya tak peduli pendapat miring banyak orang tentang diri saya sebagai CEO yang jadi isteri PM. Yang saya pedulikan adalah membuat Temasek jadi salah satu perusahaan terbesar di kolong langit ini (Kontan 24 Mei’07). Dalam sekejap, Temasek sudah lahap bank BII, bank Danamon, Indosat dan Telkomsel. Nilai bersih portofolio Temasek di Maret 2007, telah tembus angka US$ 100 miliar.

Membandingkan Temasek dengan BUMN bukan tanpa alasan. Sama-sama milik pemerintah dan sama-sama dijadikan ‘sapi perah’. Bedanya Temasek untuk rakyat Singapura, sementara BUMN tak jelas untuk siapa. Jika jelas untuk bangsa, mustahil privatisasi hanya identik diobral. Harus ada imbangan bahwa privatisasi juga adalah membeli. Jika tidak, alangkah jahatnya kebijakan saat ini. Memerangkap generasi mendatang dalam kubangan utang dan asset yang dikuasai asing.


One Response to “Privatisasi yang Tersesat”

  1. alumni STAN Says:
    privatisasi di indonesia semuanya hanya akal2lan...

= Leave a Reply