Privatisasi yang Tersesat
⊆ 06.48 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 1 komentar »Divestasi sebagai awal privatisasi BNI, menjungkal banyak perkiraan. Pertama saham BNI diobral murah. Kedua cilaka, divestasi 30% ternyata cuma meraup Rp 4 triliunan dari target Rp 8 triliun. Karena itu yang ketiga terpaksa secondary offering disiapkan. Keempat yang lebih dikhawatirkan, gagalnya target menggelapkan mata untuk lakukan apapun agar uang masuk. Jangan-jangan 70an persen saham pemerintah di BNI, bakal dikerat lagi.
Aneh, BNI bukan BUMN sakit-sakitan. Posisi bank BUMN ini, terbesar ketiga setelah Bank Mandiri dan BRI. Assetnya total Rp 175 triliun. Jaringan kantor tersebar di 972 kantor dengan 2.325 ATM. Sementara kartu kredit BNI, total dipegang 1,2 juta orang. Jumlah itu, memposisikan BNI bertengger di peringkat ke-2 pemain kartu kredit. Dengan jumlah hampir 1.000 jaringan, rencana BNI konsen di UKM bakal mendulang laba makin besar. Laba UKM ternyata memang lebih tinggi ketimbang korporat.
Terjerembabnya nilai saham BNI, ada kaitnya dengan pasar keuangan saat yang fluktuatif. Ditengarai ini berkait dengan musim libur di AS yang berakhir pada Agustus. Maka September atau selambatnya awal Oktober, pemerintah tetap akan melego Jasa Marga dan Wijaya Karya. Alasan privatisasi, jangka pendeknya cari uang untuk APBN. Jangka menengahnya benahi kinerja manajemen BUMN. Sedang jangka panjangnya, ini yang tak bakal pernah bisa dijawab. Tak terjawab, tersiratnya bukankah tersesat.
Dicopotnya Sugiharto pada Mei 2007, hingga kini masih menggayutkan pertanyaan. Ada yang bilang, dia dilengser karena menolak dibilang kader sebuah partai. Padahal partai itu yang mengusung namanya untuk diterima di jajaran menteri. Alasan lain, pasar marah karena jadwal divestasi molor tanpa kepastian. Harusnya di semester I 2007, ada enam BUMN yang musti dilego (BNI, Wika, Jasa Marga, BTN, PTPN III dan PTPN IV). Alih-alih divestasi, Sugiharto malah berujar: ‘Jika untung mengapa dijual’. Arah kebijakan Sugiharto jelas. Ini yang membuat beberapa pihak meradang.
Sugiharto pun tak asal bicara. Sebab di kuartal I 2007, BUMN sanggup menyetor dividen Rp 21,4 triliun melebihi target Rp 20,8 triliun. Menurut sumber Kementerian Negara BUMN, dividen 2005 capai Rp 55,6 triliun. Naik kira-kira 5% dari 2004. Di 2006, dividen yang disetor BUMN malah naik 22%. Dirupiahkan raupannya capai Rp 68,8 triliun. Kinerja BUMN di 2006 agaknya sudah tampak lebih terbenahi. Maka tanpa dijual, toh BUMN telah pasok dana bagi APBN.
Tanpa Alasan
Bagi sebagian pihak, pelengseran Sugiharto kentalkan kesan bahwa privatisasi memang tanpa arah dan landasan yang jelas. Jika butuh dana, apakah negara lain juga tak butuh. Bila pun terpaksa dijual, di negeri lain pemerintah dipastikan tetap mayoritas atau punya bargaining kuat. Jika alasannya kinerja buruk, lho bukankah penempatan direksi BUMN lebih kental nuansa politis dan KKN. Agar bisa jadi ‘sapi perah’, bukankah memang dicari yang loyal. Dengan model fit and proper test begini, jangan harap BUMN bisa profesional. Solusinya tentu juga keliru mengobral aset negara. Apalagi seperti di zaman kolonial, yang asing dilayani habis-habisan.
Perhatikan kekhawatiran Mahathir Muhammad: Era globalisasi perlu dihadapi dengan semangat nasionalisme yang sama kuatnya seperti saat melawan penjajahan dulu. Cara dagang Eropa beda dengan Asia. Dalam berdagang, mereka juga kerahkan tentara untuk mengamankan bisnis. Sedang kini mereka bawa globalisasi dengan konsep mereka. Bolehkah kita percaya bahwa mereka tidak akan menjajah seperti dulu?Agaknya data seperti ini tak pernah menyentak pemerintah. Bahkan meski pasar keuangan lesu, hingga akhir 2007 pemerintah tetap semangat selesaikan privatisasi BNI, Wika dan Jasa Marga. Coba amati. Kabarnya, kendaraan yang hilir mudik di jalan tol sekitar 400.000 buah. Andai rata-rata Rp 4.000/mobil, omzet jalan tol capai Rp 1,6 miliar/hari. Per bulan dan per tahun hitung saja. Maka bukankah Jasa Marga merupakan BUMN yang kuat dan makmur.
Ucapan Ho Ching, CEO Temasek Holdings, perlu dipelajari: Saya tak peduli pendapat miring banyak orang tentang diri saya sebagai CEO yang jadi isteri PM. Yang saya pedulikan adalah membuat Temasek jadi salah satu perusahaan terbesar di kolong langit ini (Kontan 24 Mei’07). Dalam sekejap, Temasek sudah lahap bank BII, bank Danamon, Indosat dan Telkomsel. Nilai bersih portofolio Temasek di Maret 2007, telah tembus angka US$ 100 miliar.
23 Desember 2007 pukul 17.50 privatisasi di indonesia semuanya hanya akal2lan...