Corporate Social Responsibility: Istilah Sih Heroik
⊆ 08.42 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar » Mustajab. Bargaining power pengusaha memang mujarab. Tak lebih dari dua hari, protes para pengusaha berbuah hasil. Pansus DPR keder hingga pasal kontroversi kewajiban CSR diubah. Revisinya, CSR wajib bagi perusahaan yang berkait dengan eksplorasi sumber daya alam dan pembuangan limbah. Protes pengusaha memang bagai ‘gayung bersambut’. Sebab dalam isu CSR pemerintah sendiri tak satu kata. Departemen Hukum dan HAM ingin wajibkan CSR. Alasannya, itu sesuai usulan DPR. Namun Departemen Perindustrian justru menolak. Negara ini memang full anomali (terbalik-balik). Dephum & HAM yang harusnya dukung pengusaha karena sesuai azas kebebasan, malah wajibkan CSR. Sedang Departemen Perindustrian yang mustinya wajibkan, justru bebaskan tuntutan kewajiban.
CSR & Kemiskinan
Forum Ekonomi Dunia melalui Global Governance Initiative telah menggelar World Business Council for Sustainability Development di New York pada 2005. Salah satu deklarasi penting, disepakati bahwa CSR jadi wujud komitmen dunia usaha untuk bantu PBB realisasikan Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan utama MDGs mengurangi separoh kemiskinan dan kelaparan di tahun 2015. Patut dicatat, tujuan ini jelas mahaberat. Sebab seiring pertumbuhan dunia bisnis, mengapa kemiskinan toh malah bertambah masal dan makin akut.
Human Development Report 2005 (HDR) melaporkan, 40% penduduk dunia atau 2,5 milyar jiwa, hidup dengan upah di bawah US$ 2/hari/kapita. Total upah itu nilainya setara dengan 5% pendapatan dunia. Setiap hari, 1.200 anak-anak mati karena kelaparan. HDR pun mensinyalir, 10% orang terkaya dunia menguasai 54% total pendapatan dunia. Yang 500 orang dari 10% terkaya itu, hartanya lebih besar ketimbang kekayaan 416 juta penduduk termiskin.
Untuk kikis kemiskinan, tawaran HDR tak muluk. Melepas 1 milyar orang yang dibalut kemiskinan absolut, dibutuhkan dana US$ 3 milyar. Jumlah itu nilainya tak lebih dari 1,6% pendapatan 10% orang terkaya dunia. Cuma pendapatan, bukan kekayaan dan aset mereka yang kaya-kaya itu. Peanut bukan. Sayangnya HDR cuma mengetuk moral dan kebaikan nurani, sekadar himbauan kedermawanan dan kerelaan. Maka alih-alih tergerus, retasan kemiskinan kini terus membiakkan kemelaratan di belahan manapun jadi lebih kelam dan akut.
CSR atau CSA?
Istilah CSR, pertama kali menyeruak dalam tulisan Social Responsibility of the Businessman tahun 1953. Konsep yang digagas Howard Rothmann Bowen ini menjawab ‘keresahan’ dunia bisnis. Belakangan CSR segera diadop, karena bisa jadi penawar kesan buruk pengusaha yang terlanjur tertuduh sebagai pemburu uang yang tak peduli pada dampak pemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kendati bersahaja, istilah CSR amat marketable karena nuansa heroiknya. Melalui CSR, pengusaha tak lagi perlu diusik ‘perasaan bersalah’. Tak lagi harus tersedak atas keping kemiskinan karena ulah bisnis langsung ataupun tidak. Maka atas jasanya, Howard pun dianugerahi sebagai ‘Bapak CSR’.
Kedua, 22 asosiasi yang menolak kewajiban CSR, kebanyakan merasa tak punya soal dengan kerusakan lingkungan. Memang, harfiahnya lingkungan tak dirusak. Namun mustahilkah jika ada sebagian anggota asosiasi yang perilaku bisnisnya tak kalah buruk dengan perusak lingkungan. Bukan isapan jempol, kiprah waralaba minimarket misalnya, telah hancurkan sekian kali lipat warung-warung rakyat. Kalkulasi remuknya kapitalisasi ekonomi bagai efek kartu domino. Sebab warung-warung rakyat terima titipan kue dan lontong tetangga. Tumbangnya warung-warung rakyat, itulah pemadam rangkaian ekonomi subsisten di gang-gang sempit. Fenomena lain, saat tanggal tua ngutang ke warung. Usai gajian, belanja ke minimarket. Saat susah dan lapar ditolong warung, saat punya uang gizinya dipasok minimarket. Warung siapa yang bertahan dengan sistem pemiskinan ini: antara kebijakan pemerintah – kiprah bisnis – dan sikap masyarakat telah berpadu sempurna
Perubahan lahan jadi real estate, contoh lain, sebagian merupakan penggalan kisah yang selalu temaram bagi warga. Bukan hanya dikerjai makelar tanah dan aparat, mereka pun harus bedol desa. Artinya juga bukan hanya boyong segalanya, karena pekerjaan dan akses usaha pun musti rela dilepas. Siapkah jika pengusaha harus hengkang dari ranah bisnisnya seperti rakyat yang leluasa digusur-gusur? Lantas warga yang mendadak miskin karena kalah segalanya, etiskah hanya disantuni model karitatif? Inikah heroisme responsibility yang diusung-usung? ini market dan real estate tidak merusak lingkungan. Tetapi ekonomi rakyat bertumbangan dari hari ke hari.
Ketiga ini juga yang ironi. Jangan-jangan ada anggota asosiasi yang hidupnya selamat berkat BLBI. Jika benar alangkah tragisnya. Mereka selamat oleh government Social Responsibility (GSR) tapi terusik saat diminta sisihkan laba. Mereka marah dan lantang berteriak karena CSR, tapi lupa saat sekarat diselamatkan GSR. Mereka hanya sekadar salurkan sembako, tapi amboi lagaknya bak pahlawan. Kegiatannya cuma CSA, tapi tak risih katakan itu CSR. Negara yang menolong sekarang minta bantuan, tapi mereka tohok bahkan sambil terbahak berkata: “Pemerintah selalu tak becus urus negara”. Jika mereka hidup di zaman Soekarno, pasti mereka sudah dicap dan diadili sebagai pengkhianat bangsa.
Pebisnis yang merusak lingkungan juga setali tiga uang. Mereka sepakat bisa terima CSR sebagai kewajiban. Tapi bukan pengusaha jika tak ada syaratnya. CSR boleh wajib, asal masuk dalam cost recovery. Artinya CSR merupakan biaya investasi yang dibebankan pada pemerintah. Kendati untung tambang bergunung-gunung, mereka tetap tak rela CSR diambil dari laba. Jika tak raup untung segede-gedenya, bukan pengusaha namanya. Jika untung selalu diam-diam, bukan pengusaha namanya. Jika rugi pasti teriak-teriak dan minta difasilitasi, bukan pengusaha namanya. Persis saat dulu butuh BLBI, untuk CSR pun mereka mengadu ke Wapres RI. Sementara orang miskin yang hidupnya remuk, mengadu pada siapa?
--o0o--
0 Responses to Corporate Social Responsibility: Istilah Sih Heroik
= Leave a Reply