Benci Asap - Rindu Cukai: Siapa Untung?

⊆ 08.53 by SOCIAL ENTREPRENEUR | ˜ 0 komentar »

Apa beda asap rokok dan cukai rokok? Bedanya asap tak disuka, cukai siapapun suka. Apa beda Jakarta dan daerah penghasil rokok? Bedanya Jakarta terima cukai, daerah jadi asbak. Jakarta memang paling tamak di Indonesia. Sedang daerah tak bisa berkelit, tugasnya memasok apapun yang dimaui si tamak. Karena sudah kejadian, ini namanya takdir. Hanya agar nasib bisa berubah, ihtiar wajib dilakukan. Maka ‘Daerah Menuntut Bagi Hasil Cukai Rokok’. Begitu headline Kontan, 29 Juni 2007.

Jakarta memang kebangetan. Siapapun dari Sabang sampai Merauke boleh menyulut rokok, cuma seluruh cukai dihisap Jakarta. Daerah Kudus, Malang, Pasuruan dan Kediri boleh-boleh saja jadi pusat industri rokok, hanya kebijakan ada di Jakarta. Setoran cukai keempat sentra industri rokok ini tak main-main. Angkanya 86,1% dari total cukai rokok 2006, sekitar Rp 28,1 triliun. Meski setoran itu fantastik, mereka cuma bisa hisap asap saja alias tak kebagian apa-apa.

Wajar akhirnya Asosiasi Dinas Pendapatan Daerah menuntut agar RUU Cukai yang baru cantumkan bagi hasil. Alasannya jitu: Jika minya dan gas ada bagi hasil, mengapa tidak dengan cukai rokok. Kendati pembahasan di DPR cukup alot, toh itu tak lama. Hanya 2 minggu sejak diusulkan asosiasi, akhirnya pemerintah ihlas berbagi cukai. Persentase bagi hasil, berkisar antara 1 – 2% (Kontan 12 Juli 2007) Lumayan ketimbang tidak dapat sama sekali. Entah apakah ini berlaku surut, atau mulai 2007 ini.


Lima Kejanggalan
Semakin pekat asap rokok, masyarakat pun ‘gempa bumi’. Tapi semakin tinggi cukai rokok, senyumpun merekah. Perhatikan data Kontan tentang cukai rokok berikut.

Penerimaan Cukai Rokok (Dalam Rp Triliun)

  • Tahun 2002 = 23,34
  • Tahun 2003 = 26,39
  • Tahun 2004 = 29,17
  • Tahun 2005 = 33,25
  • Tahun 2006 = 38,52
  • Tahun 2007 = 53 (target pemerintah)


Data tersebut menjelaskan beberapa kejanggalan cara pandang pemerintah. Pertama pemerintah tak pernah menyoal pro dan kontra urusan rokok. Meski ada yang kontra, yang pro rokok jumlahnya jauh lebih besar. Sementara di luar negeri kepulan asap dibatasi, di Indonesia surganya. Buktinya Philip Morris yang membeli Sampoerna, malah keluarkan produk baru: Marllboro Kretek. Kedua kenapa pemerintah tak pernah menyoal rokok, sebabnya jelas cukai meruah-ruah. Yang tahun 2007, target cukai naik 50-an persen dari 2006. Usulan Menteri Keuangan agar cukai dinaikkan, ditentang banyak pihak karena mematikan banyak industri rokok kecil.

Ketiga saat pemerintah terima cukai, senyum industriawan rokok merekah. Sebab ada jaminan bisnis rokok leluasa kepakan sayap. Namun keempat saat memasukan cukai sebagai sumber APBN, pernahkah terpikir rakyat yang dulu memasok cengkeh kini tak dapat apa-apa. Petani tembakau tak dapat dibandingkan dengan cengkeh. Sebab nasib petani tembakau jauh lebih buruk. Pemerintah pun boleh berdalih, cukai rokok menjamin pembangunan. Hanya patut disimak, mandirinya petani merupakan asset yang lebih berharga.

Dengan kemandirian, siapapun dapat menata masa depan. Mereka bukanlah beban. Yang mandiri bahkan jadi mitra terbaik pembangunan. Yang mandiri pun tentu bayar pajak. Sebaliknya pembangunan makin berat bila mitranya tak mandiri apalagi miskin. Mana ada rakyat miskin bayar pajak. Sudah tak bayar pajak, malah harus terus dibantu. Dulu terbukti, cengkeh mandirikan petani. Sekarang terbukti, pembangunan belum tentu mandirikan petani. Pembangunan jadi beban karena keliru strategi.

Kelima, inilah yang ironis. Bisnis rokok makin menggila, namun tak menetes rezekinya ke rakyat. Yang ke petani cuma kepulan asap doang. Padahal tanpa cengkeh, bukan rokok namanya. Tanpa rakyat, tak ada yang beli rokok. Yang sebagian pembeli, tentu juga mereka para petani cengkeh. Sebaliknya keenam, remuknya cengkeh rakyat ternyata tak mempengaruhi industri rokok. Ada hubungan kuat, namun aneh bin ajaib tak berpengaruh pada satu pihak. Tata niaga cengkeh boleh remuk. Tetapi industri rokok sama sekali tak guncang.


Tiga Mekanisme
Menurut Kontan lagi, penjualan rokok tahun 2005 capai 189 miliar batang. Tahun 2006 turun jadi 182 miliar batang. Bayangkan mana ada bisnis yang jumlah produknya bisa ratusan miliar per tahun. Usaha super raksasa, tapi enggan mandirikan petani cengkeh. Miliaran batang rokok, tentu butuh cengkeh dalam jumlah sangat besar. Namun terjungkalnya petani cengkeh karena kemelut BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh), tak menyeret industri rokok ambruk. Tata niaga perdagangan yang paradoks, amat baik namun juga sekaligus buruk.

Dalam menguak baik buruknya kepulan asap itu, setidaknya ada tiga mekanisme mustajab yang mengerat kausalitas petani cengkeh dan industri rokok. Pertama, industri rokok memiliki kebun sendiri. Hasil kebun, jadi pengaman lancarkan produk. Tapi ditinjau dari resiko, asumsi ini agaknya lemah. Kedua industri rokok memiliki sejumlah gudang. Dengan pengelolaan stock, gudang punya peran ganda. Di satu sisi, ketersediaan bahan baku cengkeh terjamin. Di lain sisi, gudang harus piawai mengatur keluar masuknya cengkeh. Gudang juga tidak perlu dimiliki sendiri. Dengan sistem sewa, industri rokok dapat memangkas high cost dan risk. Maka dengan gudang, apapun yang terjadi di perkebunan rakyat tak berimbas pada industri rokok.

Bahkan manajemen gudang, memposisikan industri rokok berlipat kekuatannya. Awalnya, fungsi gudang cuma pengaman bahan baku. Kini perannya lebih karena harus jadi penjamin ada tidaknya cengkeh. Sebab seperti kepulan asap yang buyar dihembus angin, tata niaga cengkeh benar-benar telah ambruk. Tadinya gudang hanya satu mata rantai, kini gudang jadi ‘pengatur’ tata niaga baru percengkehan. Sementara petani cengkeh terus megap-megap, gudang malah bisa hirup napas dalam-dalam. BPPC pun terbakar musnah oleh miliaran batang rokok, justru itu gudang dapat berkah karena ‘dipaksa’ ambil alih peran.

Inilah mekanisme ketiga yang luput dari perhitungan. Tata niaga cengkeh kini mutlak di manajemen gudang. Dengan kemitraan, gudang sebenarnya bisa lepas petani dari jerat ‘sekarat permanen’. Tapi dalam postulat bisnis, jelas gegabah pelihara anak macan. Pulihnya petani cengkeh, bukankah mendudukan petani punya bargaining position. Daripada jadi ancaman, toh cengkeh sudah jinak. Harganya bisa diatur, barangnya bisa dipasok kapanpun mau. Bantu petani memang ‘harus’ karena ada tuntutan CSR (Corporate Social Responsibility). Namun karena sekadar bantu dan bukan dalam urusan pemulihan, itukah CSR? Bukan, itu bukan CSR. Itu cuma sekadar CSA (Corporate Social Activity). Jadi dengan mekanisme gudang dan CSA, kejayaan petani cengkeh tinggal ‘romantisme sejarah’.

Siapa Untung?
Industri rokok kini sungguh-sungguh jadi pemeran utama. Awalnya hanya konsen di produk dan distribusi. Kini dengan gudang, bahan baku telah digenggam. Tinggal selangkah, jika retail pun digeluti, tak pelak industri rokok sempurna menguasai hulu hilir. Petani cengkeh gede-gede bo’ong. Karena tak pernah bisa menyatu, mudah dijegal BPPC. Sementara BPPC adalah satu contoh strategi anak-anak pejabat. Enggan berpeluh-peluh, akhirnya kembangkan diri jadi ahli ‘menunggu di tikungan’. Tapi tikungan selalu punya sejarah kelam. Akhirnya BPPC pun terpelanting sebelum menjejak garis finish.

Karena berangkat dari ketamakan, semangat BPPC memang rente. Sudah tamak, pengecut lagi. Tamak karena tak suka lihat petani makmur. Pengecut karena beraninya pada petani. Pada industri rokok, BPPC tak berkutik. Menang jadi arang, kalah jadi abu. BPPC ‘merenggang nyawa’, petani cengkeh ‘sekarat permanen’. Sementara industri rokok yang turut dalam pertikaian, justru muncul sebagai pemenang. Hanya dengan berjuang mengamankan stock agar produksi terjaga, industri rokok jadi penyelamat. Penyelamat siapa? Katanya ‘dunia rokok’ Indonesia. Benarkah?

--o0o--


0 Responses to Benci Asap - Rindu Cukai: Siapa Untung?

= Leave a Reply